Monday, February 27, 2012

Struggle

There will be a time when I missed everyone that ever stayed around me.  Hugged me with their warmth.  Cuddled me with their silliness.  Cared me with their kindness.  Heart me without any reason.


And when I stuck in the line between past and future, I stopped the time by myself.  Regretting every decisions that I ever made.  Then, I let the tears falling apart. 


I stared at the sky as the wind whispered its wishes.  I closed my eyes and pretended that I'm okay.  I should be okay.


Dragged myself out from the comfort zone was not the most difficult thing, but, it was not as easy as what people's talk.  I was survived in the way I am not used to be.  Struggled from anything that I hate the most till I have to live with that.


Life never flat.  
Life never easy.
And life never always about happy ending.

Saturday, February 4, 2012

Asa Penantian

Kau bertanya padaku, “Pernahkah kau merasa bersalah telah menghianati cintaku?”
Aku terdiam seribu bahasa.  Tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun.  Karna tidak ada jawaban yang dapat aku berikan.
Lalu aku mengembalikan pertanyaanmu dengan pertanyaanku, “Apa kau merasa aku telah menghianati cintamu?”
Kali ini, kau pun terdiam.  Tidak tahu harus menjawab apa.  Wajahmu terlihat pucat seakan kau terkejut dengan pertanyaan barusan yang kuajukan.  Mungkin, kau tidak pernah berpikir bahwa aku akan bertanya seperti ini padamu.
Aku sungguh tidak tahu sebenarnya kesalahan terletak padaku atau padamu.  Atau, mungkin pada kita berdua.
Kau meninggalkanku dalam kesendirian tanpa pesan apapun.  Membiarkanku menghitung hari dalam penantian.  Menangis bermandikan kesunyian malam.  Memupuskan cinta yang terus aku percayai.
Lalu, dia datang.  Menawarkan segala kehangatan yang kuinginan.  Tangan besar nan kokoh yang kurindukan.  Pelukan erat yang selalu kunantikan.  Akhirnya, aku menemukan kebahagiaanku.  Akhirnya, hari-hari dalam penderitaan dalam penantian tak berujung telah berakhir.  Aku menemukan kembali arti hidup di dalam dirinya.
Tiba-tiba kau kembali.  Mencercaku dengan segala makian yang tidak dapat kuhitung.  Menghinaku dengan segala perbuataan yang sama sekali tidak kulakukan.  Kau meminta pertanggung jawaban untuk sesuatu yang telah kau tinggalkan tanpa jejak.
Lalu, bagaimana harus aku menjawabmu.  Bagaimana harus aku mempertanggung jawabkan cinta yang pernah ada diantara kita.
Cinta itu masih ada.  Tidak berubah.  Hanya saja kelelahan dalam diriku telah membekukannya.  Mengambil kemudi hati dan memutarnya pada haluan cinta lainnya yang dengan setia menungguku.
Kalau sudah begitu, siapa yang dapat disalahkan?
Kau yang berlalu tanpa jejak.  Atau.  Aku yang memutuskan untuk berhenti menunggu.  Atau mungkin dia yang menawarkan cinta lain kepadaku?

Sunday, January 1, 2012

Hujan

Pada rintik - rintik hujan, aku mengeluh
Mengapa ia menyembunyikan matahari di balik awan hitam
Menggantikan kehangatan dengan tiupan angin piluh
Membiarkan dentingan masa lalu menghampiri lintasan waktu


Pada derasnya hujan, aku berteriak
Membiarkan seluruh emosi terlontar keluar dari dalam diri
Melepaskan rasa sakit akan kehilangan untuk sejenak
Menghitung hari dimana ada aku tanpa kamu di sisiku

Tuesday, December 27, 2011

Musim Dingin


Hembusan angin sore membuyarkan lamunanku.  Menguap sudah mimpi-mimpi di alam kenyataan.  Memaparkanku pada kesakitan tiada akhir.  Suatu kebenaran yang harus kuakui. 
Bahwa kau tidak pernah menganggap aku ada.

Bagiku, bersamamu seperti salju di musim dingin.  Kadang terasa begitu indah, membuatku tidak ingin melewatkannya.  Walaupun, aku mengerti konsekuensi untuk menikmatinya.  Bahwa dia akan membawakan kedinginan pada diri mungilku.  Rasanya tidak mungkin aku bertahan pada suhu udara di bawah minus.  Namun, nyatanya aku berusaha bertahan dan melawan. 
Hanya untuk satu alasan. 

Karna aku begitu menyukai musim dingin.  Seperti aku yang dengan bodohnya terperangkap oleh gombalan cintamu.  Mencintaimu tanpa mempedulikan perkataan orang-orang di sekitarku.  Mempertaruhkan kebahagiaan seumur hidupku bahwa kau mungkin akan berubah dan bertahan di sisiku.
Nyatanya, aku salah. 

Kau tidak pernah berubah.  Bukan karna tidak mungkin.  Namun, kau sendiri yang tidak ingin berubah.  Bagimu, ada atau tidak adanya diriku hanya ibarat hembusan angin di sore hari.  Akan berlalu saat musim berganti.  Menghilang tanpa meninggalkan jejak. 
Dan kau tidak pernah merasakan arti dari sebuah kehilangan.

Kadang, aku berkata pada diriku sendiri.  Aku pasti bisa melewati hari-hari sulit ini.  Sehari demi sehari dan hanya hasil nihil yang kudapatkan.  Kau tidak pernah menguap sedikitpun dari pemikiranmu.  Bahkan selalu hadir dalam setiap gerak langkahku.

Jika, aku memohon, apakah kau bersedia untuk mengabulkannya?
Jika aku terus melangkah, apakah kau bersedia untuk memperlambah langkahmu supaya aku dapat menyejajarkan langkah kita?

Pertanyaan demi pertanyaan bodoh selalu hadir menyusup ke dalam pikiran.  Dan kau tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan tersebut.  Hanya ada aku yang berusaha menenangkan jiwa sendiri.  Menemukan jawaban atas pertanyaanku, walaupun semua kebohongan belaka.
Kurasa sudah waktunya untuk melepaskanmu.  Mempertahankanmu tidak membuatku bahagia, tidak juga membuatmu tidak akan pergi.  Kau hanya bersikap seolah kau ada disana, tetapi tidak pernah ada saat kubutuhkan.
Lalu, apalah arti kehadiran semu tanpa kasih yang kuinginkan darimu?

Akhirnya aku mengerti.  Melepaskanmu mungkin jalan terbaik.  Membiarkanmu menguap bersama embun di pagi hari.  Dan aku akan mulai belajar untuk menyukai musim lainnya selain musim dingin.

Saturday, December 24, 2011

Wedding Dress


Suara dentingan bel di pintu masuk membuyarkan konsentrasi Elva.  Wanita bertubuh mungil, rambut sebahu tersebut sedang menyiapkan gaun pengantin pelanggannya.  Sebuah long dress berbentuk kembem dengan pita besar menghiasi bagian belakang.  Menjuntai dari pinggang hingga menyentuh permukaan lantai.
Gaun pengantin tersebut sudah hampir selesai pembuatannya.  Hanya tinggal dipoles sedikit jahitan renda di bagian pinggul.  Walaupun pengerjaan setiap gaun dilakukan oleh Elva sendirian dalam waktu singkat, para pelanggan selalu merasa puas dengan hasilnya.
Maka dari itu, tidak heran jika toko baju pengantin yang berada di pusat kota.  Diantara jejeran butik-butik baju ternama mendapatkan kesan tersendiri di mata para pengunjung ataupun orang-orang yang melewatinya.
Elva menyunggingkan senyuman ramah saat melihat seseorang melangkah masuk ke dalam toko yang baru dibuka satu tahun lalu.  Senyuman selalu membuatnya terlihat ramah di mata setiap pengunjung.  Dan hal tersebut bisa menjadi salah satu kunci kesuksesan toko miliknya.
Seorang wanita muda berparas manis melangkah masuk.  Sendirian tanpa ada yang menemani.  Dari arah tempat Elva berdiri, dia berkata, “Selamat datang.  Ada yang bisa saya bantu?”
Wanita muda tersebut mengangkat tangan kanannya, “Nanda.”
“Elva.” balasnya, menghentikan kesibukkan tangannya dan membalas jabatan tersebut.
“Aku mendapat rekomendasi teman bahwa kau dapat membuatkan gaun pengantin sesuai keinginan pelanggan.”
“Di toko ini, anda dapat memesan gaun pengantin yang sudah tersedia.” Elva menunjuk ke arah depan, dimana sederet panjang gaun pengantin tergantung di dalam lemari kaca bening, “Ataupun memesan gaun pengantin sesuai konsep anda.”
“Aku menginginkan sebuah gaun pengantin sederhana, tetapi dapat memancarkan kebahagiaan pemiliknya.  Sebuah gaun yang membuat setiap tamu memusatkan pandangannya padaku.” cerita Nanda mengikuti Elva ke dalam kantor.
Elva mempersilahkan Nanda duduk di atas sofa panjang bewarna putih di dalam ruangan yang tidak terlihat seperti kantor sama sekali.  Ruangan tersebut lebih tepat diberi sebutan studio. 
Karna di dalamnya hanya terdapat sebuah sofa panjang, sebuah meja kecil tempat meletakkan vas bunga dan beberapa kertas HVS yang berserakan diatasnya.  Sementara ruang kosong lainnya diambil ahli oleh manekin-manekin yang berbalut gaun pengantin jadi, setengah jadi ataupun gaun pengantin yang baru akan dibuat.
Dengan cekatan, Elva menggambar sebuah sketsa diatas selembaran HVS.  Dan sketsa gaun pengantin tersebut selesai dalam kurun waktu sepuluh menit.
“Bagaimana dengan sketsa ini?  Apakah anda menyukainya?” tanya Elva, menyerahkan kertas HVS dari tangannya pada Nanda.
Anggukan wanita tersebut memberikan jawaban puas atas hasil kerja Elva.  Dia terlihat bahagia dengan mata berbinar-binar.
“Aku menyukainya.  Aku menginginkan gaun pengantin sesuai sketsa ini saja.” Seru Nanda, menyerahkan kembali sketsa pada Elva.
“Baiklah.  Datanglah seminggu kemudian untuk fitting.” Elva memberitahu sambil mengantarkan Nanda ke arah depan tokonya.
“Terima kasih, Elva.  Kau perancang pertama yang dapat memberikan gaun pengantin yang kuinginkan.” Nanda memberikan pelukan singkat sembari kembali tersenyum bahagia.
“Sudah kewajibanku.” Elva tersipu malu atas sanjungan Nanda, “Anda datang sendirian?  Tidak bersama calon suami anda?”
“Dia menunggu di luar.” Nanda menunjuk ke arah seorang lelaki yang terlihat sibuk berbicara dengan ponsel di tangannya.
Senyuman di bibir Elva perlahan memudar seiiring dengan gerakan lambat memutar lelaki tersebut ke arahnya.  Bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya.  Perasaan dikhianati, benci, marah bercampur menjadi satu dalan seruan gemuruh hatinya.
Tanpa terasa, bulir-bulir airmata mengenang di balik ekor matanya.  Menunggu aba-aba pemiliknya untuk bergulir turun.  Namun, sebelum bulir-bulir air mata mengalir turun, Elva segera menyekanya.  Berharap Nanda tidak menyadari perubahan air mukanya.
“Sampai jumpa minggu depan.” Nada-nada getir menyertai lambaian tangan Elva pada Nanda yang kini berlalu di balik daun pintu.
Saat itu juga, Elva roboh ke lantai.  Tubuhnya bergemetar hebat menahan nangis.  Bahkan, dia hampir tidak dapat merasakan tubuhnya sendiri.  Seakan rasa sakit mengikat seluruh anggota tubuhnya.
Dia menangkupkan wajahnya ke dalam kedua lututnya.  Kedua tangannya terlingkar erat memegangi kedua lutut tersebut.  Air mata mengalir turun tidak henti.  Sesekali, sesengukan terdengar diantara tangisannya.
Mengapa harus dia?
***

Sekitar satu jam-an, Elva menghabiskan waktu untuk memperbaiki sketsa hasil rancangannya siang ini.  Pemilihan materi pun dilakukan dengan teliti.  Berbagai aksesoris tambahan disiapkan di meja lain.  Untuk memudahkannya sewaktu menjahitkan berbagai tambahan aksesoris ke atas permukaan gaun buatannya.

Merasa sedikit terganggu dengan rambut sebahu miliknya, Elva segera mengikatkan tinggi-tinggi rambutnya ke atas.  Hal yang tidak pernah lagi dilakukannya sejak kepergiaan Michael.  Dan, tiba-tiba saja, sepotong kenangan itu kembali hadir.
Saat itu, Michael menatapnya lekat-lekat untuk beberapa saat.  Tidak bersuara ataupun bergerak.  Elva mengeritkan dahinya, bingung.  Lalu dengan penasaran dia bertanya, “Kenapa menatapku seperti itu?   Ada yang salah dengan penampilanku?” Elva melihat ke arah pakaiannya, mencoba menemukan keanehan yang telah menyita perhatian Michael.
Lelaki itu hanya menggeleng pelan, “Tidak ada yang salah.  Kau terlihat cantik sekali saat mengikat seluruh rambutmu ke atas.  Aku menyukainya.  Lain kali, jika sedang bersamaku, ikatlah rambutmu.”
Elva tertawa lebar.  Tidak menyangka Michael dapat mengatakan hal menggelikan seperti itu.

Sekarang, dia merindukan perkataan itu.  Sangat merindukannya.  Terkadang, perkataan orang ada benarnya.  Kebahagiaan selalu datang dari hal kecil.  Dan saat kebahagiaan menghampirimu, kau harus memegangnya erat-erat.  Karna kau tidak pernah tahu kapan dia akan melarikan diri dari genggaman hatimu.
Elva menggelang pelan kepalanya.  Berusaha menghilangkan potongan kenangan masa lalu yang menyakitkan tersebut.  Dengan memokuskan diri pada pekerjaannya, Elva mengguting material kain yang telah dipilihnya menjadi dua bagian.  Lalu, tanpa membuang waktu, dia mulai membentuk guntingan mengikuti potongan sketsa yang telah digambarnya diatas karton.
Disaat dia telah selesai menggunting setiap potongan kain sesuai bentuk sketsanya, potongan kenangan lain kembali menghampirinya.

Waktu itu, senja sedang menghiasi keadaan langit di luar sana.  Hembusan angin sepoi dapat menidurkan setiap orang yang dibelainya.  Elva membaringkan kepalanya di salah satu sisi bahu Michael.  Keduanya sedang menikmati keindahan senja kota, ditemani secangkir kopi susu hangat.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Michael, meletakkan cangkir kopi di meja kecil di hadapannya.
“Aku sedang memikirkan betapa bahagianya aku jika dapat melewati waktu seperti ini, setiap harinya bersama denganmu.” Elva meneguk sekali kopi susunya.
“Kalau begitu, menikahlah denganku.  Maka kita dapat melewati waktu seperti ini, bersama selamanya.” Michael berkata dengan nada lembut, tidak terlihat bercanda sama sekali.
Elva menegakkan kepalanya.  Mengalihkan pandangannya ke arah Michael.  Dari tatapan matanya, dia terlihat bahagia sekaligus ragu.  Selama mereka berpacaran, Michael tidak pernah menyinggung masalah pernikahan.  Baginya asalkan dapat bersama, sudah lebih dari cukup.  Tidak perlu mengikatkan diri pada tali pernikahan.
“Kau sangat pandai bercanda.” ucap Elva kemudian, berusaha tertawa untuk menutupi kekagetannya.
“Aku serius, Elva.  Mungkin ini bukan lamaran terbaik yang pernah kau dengar.  Tapi, aku bersungguh-sungguh.  Menikahlah denganku.” Michael mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik kantong kecil kemeja yang terletak di bagian samping dadanya.
Elva menatap Michael tidak percaya.  Walaupun begitu, dia telah menyediakan jawabannya.

Buliran demi buliran air mata mengalir turun mengikuti irama tangan Elva yang sedang berusaha menyatukan potongan demi potongan kain.  Dilihat dari keahlihannya dalam menjahit gaun pengantin, bukanlah mustahil untuk menyelesaikan sebuah gaun dalam waktu semalaman.  Hanya dalam waktu beberapa jam, bagian atas dari gaun pengantin Nanda telah selesai. 
Waktunya untuk menjahitkan bagian ekor gaun pengantin beserta aksesoris lainnya untuk memperindahkan keberadaan gaun tersebut.  Masih berperasaan gundah, Elva berusaha menjahit bunga-bunga kecil dari materi berbahan renda. 
Siapa yang dapat menyangka bahwa ternyata dia membuatkan gaun pengantin untuk wanita yang akan menikahi mantan calon suaminya.  Elva yakin tidak ada wanita lain di dunia ini yang sebodoh dirinya.
Dan kehadiran potongan kenangan lainnya juga tidak mau kalah untuk meramaikan pikiran Elva.

Tidak lama setelah lamaran Michael, pertengkaran demi pertengkaran kecil mulai menghiasi hari-hari mereka.  Dimulai dari kesibukkan masing-masing hingga perbedaan pendapat yang tidak pernah muncul sebelumnya.
Perang dingin pun berkumandang diantara mereka.  Perang dingin paling parah dalam sejarah hubungan mereka.  Tidak berbicara berhari-hari.  Tidak mengabari keadaan masing-masing, menjadi pihak dari kedua belah pihak.  Hingga akhirnya, Michael memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka.  Saat itu juga, Elva merasakan hatinya hancur berkeping-keping.
Dengan segala cara, dia berusaha memohon Michael untuk tidak membatalkan pernikahan mereka.  Dia berusaha memberikan berbagai solusi untuk menyelesaikan perang dingin diantara mereka.  Bahkan Elva bersedia mengalah setiap kali mereka bertengkar.
Namun, permasalahannya bukan terletak pada Elva.  Melainkan Michael.  Pertengkaran dingin selama berhari-hari membukakan mata Michael bahwa hubungan mereka telah mencapai tahap dingin.  Cinta telah meninggalkan hatinya tanpa dia sadari. 

Elva mencampakkan gunting dari tangannya ke atas lantai.  Dia berteriak histeris.  Merasa kecewa, dikhianati oleh seseorang yang telah berjanji akan membahagiakannya seumur hidupnya.  Dia menjambak sendiri rambut dengan kedua tangannya.  Berharap bahwa dia akan segera terbangun dari mimpi buruk.  Berharap bahwa Michael masih bersamanya.  Berharap bahwa pernikahannya mereka tidak pernah dibatalkan.
Lalu, potongan kenangan paling terakhir menunjukkan diri.

Beberapa minggu setelah mereka berpisah, Michael memberitahu Elva bahwa dia akan pindah kerja ke negara lain.  Dia berharap Elva dapat menemukan kebahagiaannya sendiri.
“Kenapa kau harus begitu padaku?  Bukankah selama ini kita bahagia?  Bukankah selama ini kita selalu berbaikan setela bertengkar?  Mengapa harus berpisah kali ini?  Mengapa harus membatalkan pernikahan kita?” Elva menangis terisak, berharap masih sempat meluluhkan hati Michael untuk tidak membatalkan pernikahan mereka.
“Aku minta maaf.”
“Jangan hanya meminta maaf.” Elva berteriak, “Berikan aku satu alasan.  Mengapa harus membatalkan pernikahan kita?”
“Aku telah mengkhianatimu.  Aku memiliki orang lain dihatiku.”
Pengakuaan tersebut terdengar seperti musik bunuh diri bagi Elva.  Sejak percakapan terakhir tersebut, mereka kehilangan kontak.

Elva menghembuskan nafas panjang saat gaun rancangannya terpajang indah di salah satu manekin di hadapannya.  Gaun renda dihiasi pita menjuntai indah ke lantai.  Sedangkan bagian atasnya diberikan sedikit sentuhan gaya Yunani. 
Akhirnya, gaun pengantin tersebut berhasil diselesaikannya.  Butuh kekuatan lebih untuk menjahit setiap potongan demi potongan kain.  Butuh keberaniaan besar untuk menghadapi kenyataan bahwa gaun pengantin tersebut bukan dibuat untuk dirinya sendiri.
Memang benar, Elva telah mengganti hasil rancangan yang ditunjukkan pada Nanda siang ini.  Dia telah membuat sebuah gaun pengantin berdasarkan suara hatinya.  Sebuah gaun pengantin impian yang ingin dikenakannya saat bersanding dengan Michael di pelaminan.
Sebuah masa depan yang tidak akan pernah tercapai.
***
Seminggu kemudian, Nanda menepati janjinya.  Wanita itu mendatangi Elva pada sore hari, disaat toko mulai sepi pengunjung.  Namun, kali ini dia tidak sendirian.  Seseorang juga ikut menemaninya.  Dan disaat Elva selesai memakaikan gaun pengantin rancangannya pada Nanda, seorang lelaki berjalan mendekati mereka berdua.
Michael tertengun, tidak percaya pada pandangannya.  Ternyata dunia begitu sempit.  Namun, dia tidak menunjukkan reaksi lainnya selain seulas senyum tipis.
“Lama tidak berjumpa” ucap Michael seakan sedang berjumpa dengan sahabat lama.
“Lama tidak berjumpa.” Balas Elva, tersenyum sebelum kembali berkata, “Selamat atas pernikahanmu.”
Mencintai seseorang tidak harus memilikinya.  Selama orang itu berbahagia, maka kau juga akan berbahagia.  Elva telah mengerti maksud dari perkataan tersebut.  Dan dia merestui pernikahan Michael dan Nanda.
Dia yakin, Michael juga akan merestuinya saat dia menemukan kebahagiaannya sendiri.  Di masa mendatang.


Monday, December 5, 2011

Not A Love Story





Sayup-sayup, terdengar derik daun pintu terbuka.  Detik itu juga, aku berharap bahwa orang yang membuka pintu tersebut adalah kamu.  Tapi, harapan itu menguap seketika, sesaat setelah Ray mengangkat sebelah tangannya, tersenyum singkat padaku.
Sedikit ragu, dia berjalan mendekati posisi dimana aku menyandarkan diri.   Tubuhku diam mematung.  Hanya melalui ekor mata, aku meneliti setiap langkah kaki Ray yang semakin lama semakin memperpendek jarak diantara kami. 
Sebelum sebelah tangan Ray menggapai pundak yang mematung sejak semalam.  Seperti raga tanpa jiwa, aku segera membuang pandangan lebih jauh.  Membiarkan pikiranku melayang, menembus keluar sisi jendela bening berkabut atas embun pagi yang belum mongering.
Secara tidak langsung, aku sedang memberitahu Ray bahwa aku sedang ingin sendiri.  Tidak ingin diganggu.  Kepergianmu secara sepihak masih belum dapat kuterima sepenuhnya.  Aku ingin berteriak, menolak keputusan yang masih belum bisa diterima akal sehatku.
“Aku membawakan bubur kepiting kesukaanmu.  Makanlah selagi panas.” Ray berucap lembut menatap lekat padaku.
Aku bergeming.  Berharap Ray menghilang seketika itu juga.  Bukannya aku tidak mengharapkan kehadirannya.  Bukannya aku tidak berterima kasih atas segala perhatiannya.  Bukannya aku tidak dapat merasakan cintanya yang bertepuk sebelah tangan padaku.
Hanya saja, orang yang ingin kulihat saat ini.  Suara yang ingin kudengar saat ini bukanlah suara Ray.  Aku menginginkanmu disini bersamaku.  Berdiri di posisi tempat Ray berpijak sekarang.  Memegang kukuh pundakku dan menyesali setiap keputusan yang telah kau ucapkan semalam.
Jika saja kau memohon padaku detik ini juga.  Aku tidak keberatan untuk melupakan ciuman antara kamu dan Rere di antara lorong sepi kantor.  Aku juga tidak keberatan menutup sebelah mata atas puluhan hubungan gelapmu di belakangku.  Aku sama sekali tidak keberatan kau menduakan cintaku. 
Asalkan kau selalu kembali padaku.  Pada akhirnya kau memilih aku sebagai tempat labuhan terakhir.  Hanya sesederhana itu.  Aku tidak meminta lebih.  Namun mengapa kau tidak dapat menyanggupinya?
Gerakan tubuh Ray menarik kembali diriku yang termenung tidak jelas.  Memikirkan segala kemungkinan bahwa kau akan kembali padaku.  Seperti masa-masa sebelumnya.  Karna dalam hati aku selalu yakin, bahwa kau akan kembali padaku.
“Tidak ada gunanya memikirkan Dean.  Dia tidak akan pernah kembali.” ucapan Ray mengiris setiap lapisan hatiku tanpa ampun.  Tanpa menyisakan secelah ruang untuk menyembuhkan kepedihan tersebut.
“Dia selalu kembali padaku.  Kali ini, aku yakin, dia juga akan kembali.  Aku hanya perlu menunggunya.” Aku menjawab yakin.  Namun, kenyataannya aku tidak yakin sama sekali.
Kalimat terakhir yang kamu ucapkan sebelum menutup pintu masih tergiang jelas di telingaku.  Kamu mengatakan bahwa, “Aku mencintainya.”
Kata yang tidak pernah kau ucapkan sekalipun padaku selama kebersamaan enam tahun kita.  Kata yang sangat ingin kudengar setiap kali kau membelai lembut rambutku.  Menarikku ke dalam pelukan hangatmu.  Mendaratkan sebuah ciuman nakal pada bibirku.
Dan saat kau mengatakan bahwa, “Aku mencintainya”, sebagian diriku berkata bahwa semuanya sudah berakhir.  Namun, sebagian diri lainnya masih bersikukuh bahwa kau akan kembali.
“Dean sudah memutuskan untuk menikahi Rere.  Dia telah menceritakan segalanya padaku.  Selama ini, perasaan yang dia rasakan padamu bukanlah cinta.  Dia hanya tidak dapat melepaskanmu karna merasa berhutang padamu.  Kau terlalu baik padanya.”
“Sudah cukup.  Hentikan omong kosongmu.  Dean tidak mungkin setega ini padaku.  Aku tahu dia…….dia…….mencintaiku.” kata terakhir itu tidak dapat kuucapkan.  Tidak peduli seberapa keras aku mencoba.
Ray menatap nanar padaku.  Digerakkan sebelah tangannya, memegang wajahku dan memutar pandanganku hingga bertemu dengan pandangannya, “Di saat seseorang menemukan cinta sejatinya.  Dia harus mengambil keputusan.  Memilih jalan terbaik bagi dirinya.  Dan Dean memilih untuk meninggalkanmu.  Dia berharap kau dapat menemukan orang yang dapat mencintaimu dengan sepenuh hati, Nadia.”
Ray terhenti, tidak melanjutkan perkataannya.  Menunggu bagaimana reaksiku.  Tetapi, aku hanya mematung.  Menatap kosong ke dalam bola mata kecoklatan milik Ray.  Tatapan matanya selalu terasa teduh.  Memberikan perasaan bahwa aku dapat berlindung di dalamnya.  Bahwa setiap kali aku bersamanya, aku tidak akan merasakan kesedihan.  Hanya aka nada kebahagiaan.
“Selama ini aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Nadia.  Aku selalu menunggu dengan sabar di sampingmu.  Berharap bahwa suatu hari kau akan melihat ke arahku.  Memberiku kesempatan untuk membahagiakanmu.” Ray mengucapkan setiap kata tersebut dengan sunggh-sungguh.  Aku dapat merasakannya. 
Namun, masalahnya bukan terletak padanya.  Masalahnya terletak padaku.  Tidak peduli seberapa besar cintanya padaku, aku tetap tidak dapat membalas perasaannya. 
“Aku mencintai Dean.” ucapku datar, tanpa belas kasih.
Kemudian, aku kembali memutar badanku ke samping.  Menelungkupkan wajahku ke dalam lipatan kedua lututku.  Aku tidak sanggup menatap tatapan kecewa milik Ray.  Aku tidak bermaksud untuk menyakitinya.
Namun, jika aku tidak tegas, pada akhirnya aku dan Ray akan berakhir seperti hubungan aku dan kamu.  Dan, aku tidak ingin kejadian itu terulang untuk kedua kali.  Karna aku tidak ingin menyakiti seseorang seperti Ray.
Bukankah hidup ini lucu?  Aku mencintai seseorang yang mencintai orang lain.  Sementara orang yang mencintaiku harus menerima kenyataan bahwa aku mencintai seseorang.

Wednesday, August 24, 2011

Choice


We have to make a choice for everything happening in the world.
Just like a love possible going to disappear.
The only way you can do is to forget her/him
or let her/him to forget you