Wednesday, December 2, 2009

Malaikat Kematian

Aku melihatnya.
Dia yang sangat ditakutkan oleh orang.
Dia yang sangat tidak ingin ditemui oleh orang.
Dia yang sangat dibenci oleh orang.
Disini.  Di rumah sakit ini.  Di kamar ini.  Di tempat tidur ini.  Di mata ini.
Akhirnya.  Aku melihatnya juga.
Akhirnya.  Dia datang untukku. 


Disana.  


Tepat disebelah pintu kamarku.   Dia berdiri.  Dengan memakai jaket  bewarna hitam yang terjuntai hingga menutupi kakinya.   Matanya tertuju  ke dalam ruangan kamarku.  Walaupun ada banyak orang yang sedang mengelilingiku, tapi aku tahu pandangannya hanya tertuju padaku. 
Hanya padaku.  Bukan pada yang lain.
Karna alasan kedatangannya hanyalah demi diriku. 
Dengan perlahan, dia melangkahkan kakinya, memasuki ruangan kamarku.  Langkahnya terdengar tegas dan mantap.


Tap.  Tap.  Tap.  Tap.


Dengan suara langkah kaki seperti itu, dia berjalan hingga dirinya kini berdiri tepat di samping tempat tidurku.  Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa takut padanya.  Aku tidak ingin melihatnya.  Aku tidak ingin bertemu dengannya.  Aku ingin dia pergi dari kamarku.
Tapi.  Semua itu tidak mungkin.  Karna dia tidak akan pergi dari sini, sebelum tugasnya dilaksanakan. 


“Kau tahu.  Sekarang sudah waktunya.” Dia menatapku dengan kedua bola matanya yang jernih tapi memberi kesan menakutkan


“Tidak bisakah kau memberiku sedikit waktu lagi?” Aku memohon dengan suara serak yang hampir tidak terdengar


“Maaf, tapi aku tidak bisa.”


“Aku mohon, berilah aku sedikit waktu lagi.  Satu tahun.  Tidak.  Satu bulan.  Tidak.  Satu minggu.  Tidak.  
Satu hari.  Aku mohon.  Berilah aku waktu lagi.”


Aku memohon dengan hati yang tulus, berharap, dia akan mengabulkan permohonanku.


“Kau tahu maksud kedatanganku?”


Aku mengangguk pelan, sambil meneteskan air mata.
“Dan kau tahu bahwa aku tidak akan pergi dari sini sebelum aku menjalankan tugasku.”


Aku kembali mengangguk.


“Jadi, tidak ada gunanya kau memohon padaku, karna sekarang sudah saatnya.”


“Satu jam.  Aku mohon.  Berilah aku waktu satu jam.  Setelah itu, aku akan mendengarkan semua perkataanmu.”


Dia tidak segera menjawab.  Dia memutar bola matanya ke atas dan kebawah sebelum akhirnya dia menjawab, “Baiklah.  Hanya satu jam.  Tidak Lebih.”


“Terima kasih.  Terima kasih.”


Aku terus mengucapkan kata-kata itu berulang kali, hingga aku tidak menyadari bahwa dia sudah kembali ke tempatnya.  


Disana.  Tempat semulanya.  Di samping pintu kamarku.
Dan, dia kembali menatapku dengan tatapan dingin miliknya, seakan ingin memberitahuku bahwa, dia akan berada disana dan menungguku.


Aku mengalihkan pandanganku darinya  ke arah kedua orangtuaku dan keluarga besarku.  Dengan sekuat tenaga, aku berusaha mendudukkan badanku yang sangat lemah ke belakang.  Kedua orangtuaku yang melihat hal itu segera membantuku.


“Apa kau haus?  Apa kau lapar?  Apa kau ingin ke kamar mandi?  Apa kau perlu sesuatu?”
Mereka mengerumuniku dengan pertanyaan yang sama selama sebulan belakangan ini, setiap kali aku mendudukkan badanku.  Biasanya aku akan meminta makan dan minum.  Namun kali ini tidak.  Aku tidak ingin meminta itu semua.


“Aku hanya ingin bicara.”
Semuanya berdiri mendekat ke samping kiri dan kanan tepi ranjangku.  Mereka menunggu akan apa yang hendak aku bicarakan.  Lebih tepatnya, apa yang ingin aku sampaikan.


“Aku……….Aku………”
Mengapa rasanya sangat susah untuk mengucapkan kata itu?  Mengapa rasanya hatiku sedang ikut menangis bersama dengan kedua bola mataku?
Semua yang berada di ruangan kamarku terkejut melihat diriku yang menangis dengan tiba-tiba.


“Ada apa sayang?  Apa yang ingin kau katakan” dengan lembut mama membelai  rambutku 
Aku berusaha mengendalikan perasaan dan emosiku.  Tidak banyak waktu yang tersisa. 


“Aku mencintai kalian semua. “ akhirnya kata itu terucapkan juga, sebelum semuanya membalas, dengan buru-buru, aku kembali melanjutkan, “Aku tahu, waktuku sudah tidak banyak lagi.  Bila……bila suatu saat nanti, aku pergi.  Pergi jauh dan  meninggalkan kalian semua, aku ingin memohon satu hal.  Dan aku berharap kalian bisa mengabulkan permohonan terakhirku.  Bisakah kalian berjanji padaku.”


Ada beberapa dari mereka menganggukkan kepalanya.  Sedangkan yang lain berkata, “Ya” atau, “Baiklah.”
Aku tersenyum lega dan kembali melanjutkan kalimatku yang belum selesai, “Aku ingin kalian mengantarku dengan senyuman, bukan tangisan.”


Kedua orang tuaku ingin memprotes dengan apa yang sedang kubicarakan.  Aku tahu mereka ingin mengatakan bahwa aku akan segera sembuh dan berkumpul dengan semuanya, tapi aku tidak ingin mereka melarikan diri seperti apa yang sedang coba kulakukan sekarang. 


Karna waktuku sudah tidak banyak lagi.


“Kalian sudah berjanji.” Aku menegaskan, sebelum kubiarkan mereka membantuku membaringkan badanku kembali


Dia kembali berjalan ke arahku.  Berdiri di tepi tempat tidurku, diantara kerumunan keluarga besarku.


“Sudah waktunya.  Apa kau sudah siap?” 


Aku menganggukkan kepalaku, “Aku sudah siap.”


“Mari kita pergi sekarang.” Dia menjulurkan tangannya untuk meraih salah satu tanganku dan mengenggamnya dengan erat.


Sudah waktunya.  Aku tidak dapat melarikan diri lagi.  Dia sudah mendapatkan dirinya.  Tidak ada waktu yang tersisa lagi.


Dalam genggaman tangannya yang dingin, aku berjalan mengikuti dirinya yang sedang membimbingku berjalan ke dalam suatu lingkaran lubang hitam.


Sebelum sempat aku melangkah ke dalam lubang itu, aku kembali bertanya, “Bagaimana aku harus memanggilmu?”


Dia berbalik menghadapku, menarik nafas yang panjang dan mengeluarkan sayap-sayapnya yang bewarna hitam.


“Kau bisa memanggilku malaikat kematian.”  

0 comments:

Post a Comment