Aku kembali menatap ke arah jendela yang terlihat tepat di hadapan mataku. Di luar sana, hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan beranjak pergi. Perlahan, suara halilintar menyelingi. Membuat suasana yang dingin ini semakin terasa kelam.
Saat salah satu pelayan di café ini menghampiriku, aku tersenyum padanya. Dia bertanya apakah aku ingin menambah pesanan karna setengah jam lagi last order. Aku menggelengkan kepala dengan pelan dan membalas bahwa aku akan pergi dalam waktu beberapa menit lagi.
Sebenarnya, aku tidak punya alasan khusus. Mengapa setiap kali hujan turun, aku selalu memilih café ini untuk menghabiskan waktu. Terkadang hanya sebentar, terkadang dalam kurun waktu beberapa jam.
Mungkin sebagian dari diriku ini mengharapkan kehadiran dia. Seseorang yang kujumpai beberapa tahun yang lalu. Jika kau bertanya padaku, apakah aku mengenalnya, maka aku akan menjawab tidak.
Itulah yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Kami hanya pernah menghabiskan waktu bersama selama berjam-jam pada hari itu saja.
Saat hujan turun dengan derasnya.
Waktu itu, hari masih sore. Sekitar pukul tiga sore. Aku memang meminta izin pulang kantor lebih awal saat itu. Aku merasa sedikit tidak enak badan. Namun, baru beberapa langkah aku lalui, hujan menghujamiku tanpa rasa ampun.
Membuatku terpaksa memasuki sebuah café mungil di sudut jalan. Dengan enggan, aku menghabiskan waktu menunggui hujan reda sembari menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang kubawa pulang. Meja berukuran persegi dengan taplak meja biru muda berenda terlihat penuh. Beberapa dokumen, agenda serta laptop kesayanganku memenuhi setiap inchi dari meja itu.
Bahkan saat pelayan yang melayaniku datang membawakan pesananku, aku hanya tersenyum malu padanya. Karna tidak ada tempat kosong yang tersisa. Hingga pada akhirnya, dia merapatkan sebuah meja lagi yang terlihat di sudut café.
Aku mengucapkan terima kasih sembari menyuruhnya menaruh pesananku di meja yang satu lagi. Dalam waktu beberapa jam ke depan, aku tenggelam dalam pekerjaanku. Hingga seseorang membuyarkan seluruh konsentrasiku.
Dia bertanya padaku apakah dia boleh duduk di salah satu kursi yang ada di hadapanku, karna seluruh kursi ataupun meja yang tersedia di café ini sudah terisi penuh. Dengan sekali pandang, aku menyapukan tatapanku pada seluruh isi ruangan. Yang memang pada kenyataannya kini sudah dipenuhi orang-orang yang sama denganku, menghindari hujan.
Aku mempersilahkannya duduk, lalu kembali pada pekerjaanku. Suasana menghening sesaat. Sebelum pada akhirnya, dia membuka pembicaraan dengan bertanya apa yang sedang kukerjakan.
Aku hanya menjawab sekedarnya. Dan entah bagaimana dan dimulai darimana, aku-dia, terlibat pembicaraan yang cukup panjang. Kami terlihat seperti dua orang yang bersahabat baik sejak lama.
Bercerita seakan begitu banyak cerita yang harus diceritakan pada satu sama lain. Sesekali bercanda seakan bumbu itu diperlukan dalam pembicaraan kami yang tidak terkesan berat sedikitpun. Bahkan kami tidak kehabisan topik pembicaraan.
Dengan mudahnya, kami berganti dari satu topik ke topik yang lain. Tanpa sungkan kami menyambungi kalimat, perkataan satu sama lain. Tertawa dan saling mengejek tanpa ada tidak enak. Bahkan kami sempat bercanda dengan beberapa kesamaan yang kami miliki.
Caramel macchiato. Buku sastra. Cuaca mendung berawan. Musik jazz.
Dan pertemuan singkat itu harus kami akhiri saat seorang pelayan memberitahukan bahwa café akan segera ditutup dalam kurun waktu lima belas menit. Serentak, kami menatap ke arah jam tangan masing-masing yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Waktu yang panjang akan terasa begitu singkat. Saat kamu menghabiskannya dengan orang yang tepat, suasana yang mendukung serta pembicaraan yang tak kunjung berakhir. Berharap bahwa waktu akan berbaik hati dan berjalan lebih lambat dari yang seharusnya.
Jujur saja, disaat dia melambaikan tangannya padaku dan masuk ke dalam taksi, aku merasa sedikit kehilangan. Aku tidak tahu dimana kantornya. Apa pekerjaannya. Bahkan yang paling parah, aku tidak bertanya siapa namanya.
Namun, aku merindukannya.
Aku berdiri dan berjalan ke kasir untuk membayar. Di luar sana, hujan sudah tidak selebat tadi, tapi tetap saja keadaan langit tidak dapat membuatku menerka apakah hari sudah beranjak dari sore ke malam.
Aku kembali tersenyum kecil sebelum beranjak keluar dari café tersebut. Dengan lambat, aku membuka payung besarku. Berharap bahwa dia akan berjalan datang dari tikungan jalan dan melemparkan sebuah senyuman hangat padaku. Bertanya bagaimana kabarmu dan mengajakku untuk menemaninya hingga hujan benar-benar reda.
Terkadang, saat kamu terlalu merindukan seseorang, tidak peduli seberapa sedikit waktu yang tersisa. Seberapa kecil kesempatan yang ada, kamu tidak akan pernah berhenti berharap. Pada sebuah keajaiban yang mungkin saja terjadi di dalam setiap detik selama harapan itu masih ada.
Mungkin aku terlalu banyak berharap pada pertemuan yang tidak disengajai. Percakapan yang menghangatkan hati di dingin menyergap. Perkenalan yang tidak membutuhkan nama. Semua hanya terjadi pada saat itu.
Saat hujan turun.
0 comments:
Post a Comment