Mellanie mencoba menegarkan dirinya sendiri. Satu demi satu, dia langkahkan kakinya yang masih bergetar menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tangisannya masih belum mereda sejak semalam. Dia tidak peduli seberapa bengkak dan merah mata miliknya. Yang dia inginkan hanyalah meluapkan rasa kehilangan itu. Berharap akan datangnya angin besar yang akan menyapu pergi rasa itu.
Semakin jauh dia berjalan memasuki rumah itu, semakin dekat dia dengan pusara kesedihannya. Langkah kakinya masih tersisa enam hingga tujuh langkah. Tapi, dari tempat dia berdiri, dia sudah bisa melihat orang yang sangat ingin ditemuinya sejak lama.
Lelaki itu terbaring di atas sebuah peti dengan pakaian jas lengkap. Mukanya tampak cerah pengaruh make-up. Kedua tangannya dilipatkan di tengah dadanya. Dan diantara tangan itu terselip sekuntum bunga mawar merah.
Butiran air mata Mellanie mengalir semakin deras. Tubuhnya bergetar dengan sangat hebat dan hampir roboh ke lantai seiring dengan dekatnya dia dengan lelaki itu.
Dia menghentikan langkahnya tepat disamping peti tersebut. Hanya hawa dingin yang dia rasakan disaat tangannya menyentuh wajah lelaki itu. Walaupun terasa dingin, namun dia tidak ingin melepaskan sentuhannya.
“Aku sudah datang, Zion.” bisiknya lembut
Semalam, sepulang dari kantor, Mellanie menerima telepon dari Tante Dian-mama Zion-mama mantan pacarnya. Dari sebelum dia menerima panggilan tersebut, dia sudah mengharapkan akan mendapat kabar baik, tapi yang didapat malahan kebalikkannya.
Zion mengalami kecelakaan dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kata terakhir yang dia ucapkan dalam perjalanan menuju rumah sakit sebelum menghembuskan nafas terakhirnya hanyalah nama “Mellanie”. Begitulah kabar yang dia terima dari tante Dian.
“Bersediakah kamu datang menemuinya untuk yang terakhir kalinya?” terdengar suara Tante Dian yang memohon dengan sepenuh hati
Tidak ada sepatah kata pun yang mampu Mellanie ucapkan. Berita yang baru didengarnya terlalu mengejutkan. Dan dia belum siap untuk menerima berita semacam itu.
“Mel…..”panggil Tante Dian dengan isakan kecil, “Ini permintaan terakhirnya.”
“Baiklah.” Hanya kata itu yang mampu terucapkan oleh bibir kecil itu
Sepanjang perjalanan, Mellanie hanya mampu menundukkan kepalanya. Sesekali dia menghela nafas yang panjang. Hatinya sudah terisi oleh ribuan jarum yang menancap tepat di tengahnya. Rasanya sakit. Sangat sakit. Karna terlampau sakitnya, hingga tidak ada satu tetes air mata pun yang mampu dia tumpahkan keluar.
“Zion.” Dia terus mengulang nama itu berulang kali.
Kisah cinta yang terajut diantara dirinya dan Zion sudah berakhir dua tahun yang lalu. Selama ini, dia berusaha untuk melupakan lelaki yang pernah menghiasi hari-harinya itu. Dengan cara terlihat bahagia dan selalu tertawa. Tapi, dirinya tahu dengan pasti, bahwa semuanya hanyalah sebuah kepalsuan.
Di lubuk hatinya paling dalam. Rasa cinta itu masih ada. Tidak berubah sedikitpun. Tapi, mengingat rasa sakit yang dialaminya, membuatnya harus berbohong pada dunia. Bahwa dia sangat membenci lelaki itu dan tidak ingin pernah melihat wajahnya lagi.
“Kau sudah datang?”
Panggilan itu membuyarkan lamunan Mellanie yang sedang berdiri memegang secangkir kopi hangat. Pandangannya masih tertuju pada halaman depan. Disana terdapat mobil birunya yang sedang terparkir dengan manisnya.
“Ya, Tante.” Sebelah tangannya sibuk menghapus air mata yang mengalir dengan sendirinya di kedua belah pipinya tanpa perintah.
Kepergian Zion sudah berlalu tiga bulan yang lalu. Namun, sepenggal kenangan yang tertinggal masih terasa segar dalam ingatan Mellanie. Dulu, sewaktu dia masih berpacaran dengan Zion. Dia sering datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Tante Dian. Kadang hanya sekedar makan malam bersama, ataupun hanya untuk menghabiskan waktu di sore hari.
“Jangan bersedih lagi. Relakanlah kepergiannya.”
Mellanie menggeleng kepalanya dengan kuat. Dirinya belum mampu merelakan kepergiaan Zion. Mungkin tidak akan pernah bisa. Rasa sesal memeneuhi setiap inchi relung hatinya. Mengapa dulu dia begitu bodoh. Tidak mau bertemu dengan Zion. Tidak mau menjawab panggilannya. Tidak mau menerima maaf dari Zion.
Tante Dian memegang bahu Mellanie dengan kedua tangannya, “Kemarilah”
Dalam pelukan itu, Mellanie dapat merasakan aroma yang biasa dia dapati dari tubuh Zion, sewaktu lelaki itu memeluknya. Dan hal itu semakin menambah kesedihannya.
“Sewaktu Tante membersihkan kamar Zion semalam, Tante menemukan sesuatu”, Tante Dian melepaskan pelukannya dan mengeluarkan sebuah buku dari balik kantong bajunya yang besar, “Ini buku yang ditulis Zion setelah kalian berpisah. Tante merasa buku ini seharusnya menjadi milikmu sekarang.”
Mellanie menerima buku itu dengan kedua tangannya. Buku itu tidak terlihat usang, tapi juga tidak terlihat baru. Kini, otaknya sibuk berputar dan berpikir. Sejak kapan Zion suka menulis.
Apalagi sebuah buku harian.
Di atas tempat tidurnya, Mellanie duduk bersila. Butuh waktu lama baginya untuk memberanikan diri membaca buku harian yang ditulis Zion. Dia takut jika tulisan yang terdapat dalam buku itu akan membuatnya semakin menyesal dan bersedih.
Baca. Tidak. Baca. Tidak. Baca. Tidak. Baca.
Pada akhirnya dia harus menetapkan sebuah pilihan. Dan pilihan yang diambilnya. Baca.
Dia memantapkan hatinya. Bersikap setegar mungkin dan tidak menangis. Tangan kanannya mulai terlihat sibuk. Membuka halaman pertama dari buku harian tersebut.
Hari ini, hari dimana dia memutuskan hubungan kami. Dari awal aku sudah menyangka bahwa akhirnya tidak akan pernah seperti yang aku harapkan. Semuanya memang salahku. Aku yang memulai perselingkuhan ini, maka aku juga yang harus menanggung semua akibatnya.
Tapi, apakah ini sepenuhnya salahku? Jika dia bisa lebih mengerti diriku. Jika dia bisa lebih memahami diriku. Jika hubungan kami bisa lebih akur. Jika kami tidak sering bertengkar. Dan jika kata “jika” itu tidak pernah hadir dalam hubungan kami, mungkin semuanya akan baik-baik saja sekarang. Mungkin perselingkuhan itu tidak akan pernah terjadi. Dan mungkin kita tidak akan berpisah hari ini.
Hari ini, aku mencoba menghubunginya. Tapi, ponselnya tidak aktif. Mungkin dia sedang menghindar dariku. Atau sedang mengunci diri di kamar dan menangis dengan kerasnya. Aku tidak mengerti. Mengapa dia selalu ada dalam pikiran setiap saat setelah kami berpisah? Apa aku telah kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupku?
Dalam hati ini tersimpan sebuah pertanyaan. Apakah aku masih mencintainya atau tidak. Aku tidak yakin. Mungkin saja cintaku padanya sudah padam dihari aku memulai perselingkuhan itu. Tapi. Ada satu hal yang tidak dapat kumengerti. Mengapa hatiku terasa sangat sakit saat melihatnya menangis di hadapanku. Seakan, aku bisa merasakan rasa kecewanya padanya. Aku bisa merasakan dirinya yang hancur saat mengetahui aku berselingkuh dengan teman baiknya. Dimanakah aku harus mencari jawaban ini?
Hari ini, sepulang dari kantor, tidak sengaja, aku singgah ke café tempat favorite kami berdua. Saat aku memasuki café tersebut, kenangan akan dirimu kembali berhembus pada diriku. Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas. Waktu yang kita habiskan bersama berada disana. Kamu selalu mengambil tempat duduk tepat di samping jendela. Aku tidak terlalu suka dengan tempat duduk itu. Aku merasa duduk di samping jendela hanya akan membuat orang yang berjalan kaki memandangmu dari luar. Dan aku tidak pernah menyukai hal itu. Sedangkan dia malah sebaliknya. Dia sangat suka memperhatikan dan diperhatikan orang. Seringkali kami bertengkar hanya karna masalah sepele seperti ini. Dan pada akhirnya, aku juga yang harus mengalah. Masih ada hal lainnya yang masih aku ingat dengan jelas, seperti, pesanannya. Dia menyukai kopi, sedangkan aku lebih menyukai teh. Setiap kali, sehabis minum kopi, dia akan mengerang kesakitan. Dokter sudah berpesan padanya bahwa lambungnya tidak tahan dengan minuman kopi, tapi dia tidak pernah mau mendengarnya. Baginya, selama dia menyukainya, rasa sakit itu sebanding. Benar-benar gadis yang aneh. Jika dilihat dari aspek ini, aku sering bertanya pada diriku sendiri. Mengapa kami bisa berpacaran? Apakah cintaku padanya saat itu hanyalah cinta sesaat atau cinta yang sesungguhnya? Aku bertanya pada diriku kembali.
Hari ini, aku melewati sebuah toko ice cream. Dan kenangan akan dirimu kembali hadir dalam benakku. Dulu, saat kami sedang berkencan, dia selalu menyuruhku mengantarnya pulang dengan berjalan kaki. Aku tidak pernah mengerti wanita seperti apa dia itu. Kadang aku merasa sangat mengenalnya, tapi ada sisi lain darinya yang membuatku seolah asing. Jika mengingat mantan pacarku yang lain selain dia. Semua mantan pacarku akan merasa terhina jika aku mengantar mereka pulang dengan taxi, disaat mobilku sedang masuk bengkel. Tapi, dia beda. Disaat mobilku terparkir di arena V.I.P, kamu malah menyuruhku mengantarmu pulang dengan berjalan kaki dan menyuruhku kembali sendirian mengambil mobilku di tempat parkir. Aku tidak pernah bisa menebak dirimu.
Saat aku bertanya padamu, mengapa kamu tidak mau aku antarkan pulang dengan mobil, kamu hanya akan menjawab, “Aku merasa berjalan kaki lebih romantic daripada duduk di mobil”
Aku tidak tahu apakah aku harus marah, kesal atau tersenyum padamu. Sikapmu itu membuatku pusing. Namun sikapmu itulah yang membuatku semakin ingin memilikimu untuk selamanya.
Dan sampai detik ini, aku baru sadar bahwa aku telah kehilanganmu untuk jangka waktu yang cukup lama.
Hari ini, hujan turun dengan derasnya. Suara halilintar yang menggelegar itu kembali membuatku teringat padamu. Setiap kali, halilintar menjerit dengan kerasnya, maka dia akan berlari kencang kearahku dan memelukku dengan erat. Ada kadang kalanya, aku harus duduk berjam-jam disampingnya hanya untuk menunggu dirinya terlelap dalam mimpi. Ahhhh….. Mengapa selalu saja ada hal yang membuatku bisa teringat kembali padamu? Aku ingin menghapus dia dari ingatanku. Supaya, hati ini tidak akan pernah merasa hampa dan kosong. Entah mengapa dia tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam ingatanku. Setiap kali aku mengingatnya, maka aku akan tersenyum sendirian. Hari yang pernah kulalui dengan dia tidaklah terlalu lama. Hanya sekitar setahun. Namun, entah kenapa selepas dia pergi, rasanya aku ingin kembali masa itu. Hari dimana ada dia dan aku. Bersama.
Hari ini, aku ada janji makan malam dengan Cherie, seorang wanita yang sedang dekat denganku akhir ini. Dia sangat pengertian dan memahami. Aku selalu merasa sangat nyaman berada di dekatnya dan berbincang selama berjam-jam. Maka dengan berani, aku mengajaknya kencan malam ini. Aku mengajaknya ke restaurant dimana pertama kali aku berkencan dengan dia. Aku rasa aku sudah gila. Memilih tempat yang jelas-jelas bisa membuatku teringat akan dia. Aku berusaha keras untuk tetap fokus pada Cherie. Namun, semuanya sia-sia. Saat melihat Cherie berbicara, aku seakan melihat dia. Cara makan Cherie yang selalu memotong steak menjadi bagian kecil, baru menyuapkannya ke dalam mulut, sangatlah mirip dengan dia.
Dan yang paling parah. Saat aku ingin memanggil namanya, kata yang keluar dari bibir ini hanyalah namamu.
Apakah ini berarti aku tidak akan pernah bisa melepaskan dia dari diriku? Aku harus mencari jawaban itu sekarang. Jawaban dari pertanyaan yang terus menghantuiku siang dan malam. Jawaban dari pertanyaan yang terus membuntutiku sepanjang waktu.
Hari ini, aku menemukan jawaban itu. Akhirnya. Aku menemukannya. Aku menekan nomor teleponnya, tapi saat nada panggilan pertama terdengar. Aku menutupnya kembali.
Hari ini, aku kembali meneleponnya. Rasa rindu dalam hatiku sudah hampir meledak. Tidak sejak aku berpisah dengannya hari itu. Jika dihitung, rasanya sudah lima tahun aku tidak melihatnya. Dan rasa rindu itu sudah kupupuk selama itu juga.
Aku ingin bertemu dengannya, tapi dia menolak. Baginya semua sudah berakhir sejak lama dan tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Saat aku kembali membuka suara, dia menutup teleponnya.
Apakah sungguh sudah tidak ada kesempatan untuk mendapatkannya kembali?
Aku hanya ingin memberi tahunya bahwa aku sudah menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini. Dan jawaban itu aku temukan saat dia tidak disiku.
Sebuah kenyataan bahwa aku mencintainya lebih dari yang pernah aku bayangkan selama ini. Dihari dia melangkah pergi dari hadapanku, aku merasa seluruh duniaku hanya terisi oleh dirinya.
Entah sejak kapan, hati ini kuberikan padanya. Aku ingin mengambil hati ini kembali. Tapi, dia tidak ingin kembali padaku. Mungkin perkataan ini hanya dapat aku sampaikan lewat buku ini, bahwa sampai detik ini, aku masih sangat mencintainya.
Jika aku dapat bertemu dengannya sekali lagi, aku bersedia untuk menukarnya dengan apapun. Termasuk dengan jiwaku ini. Asalkan aku dapat melihatnya sekali lagi. Merasakan hangat tubuhnya dalam pelukanku. Melihat senyumannya yang selalu mewarnai hari-hariku.
Memberitahukan pada seluruh dunia bahwa,
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Mellanie menutup buku harian itu. Dia tidak sanggup untuk terus membaca tiga kata terakhir yang menghiasi hampir puluhan halaman dalam buku tersebut.
Dia memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Seakan kepalanya itu akan jatuh dan hancur berkeping-keping jika tidak dipegangi. Dari kepalanya, tangannya bergerak kea rah dadanya.
Di bagian itu, dia merasakan sakit yang lebih hebat daripada sakit kepalanya.
Seminggu sudah berlalu sejak dia memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca buku harian Zion. Tapi, dirinya merasa penasaran dengan lembaran terakhir yang Zion tulis dalam buku tersebut. Maka, dia kembali menenangkan hatinya dan kembali membuka halaman terakhir buku itu.
Akhirnya aku mengerti bagaimana sakitnya rasa ditinggalkan oleh seseorang yang sangat kamu cintai. Aku mengerti perasaan dia sekarang. Maka mulai hari ini aku berjanji pada diriku sendiri. Aku tidak akan pernah menelepon dia lagi. Aku akan membiarkannya melanjutkan hidupnya. Dimana dia akan merasa lebih bahagia tanpa kehadiranku.
Aku juga mempelajari sesuatu hari ini. Jika kamu mencintai seseorang. Relakanlah orang itu pergi. Karna jika orang itu bahagia maka kamu juga akan bahagia. Selama dia bahagia disana, maka aku juga akan bahagia disini.
Mellanie menutup buku itu dengan perasaan bahagia. Dia tidak merasa sedih lagi. Tidak ada tetes air mata yang dia mengalir dari matanya lagi. Karna pada akhirnya dia juga mempelajari sesuatu.
Sebanyak apapun kesedihan yang dia tumpahkan. Sebanyak apapun air mata yang dia jatuhkan. Semuanya tidak akan pernah membawa Zion kembali.
Seperti kata Zion, “Jika kamu mencintai seseorang. Relakanlah orang itu pergi.”
Itulah yang akan dilakukan Mellanie sekarang. Merelakan kepergian Zion. Dan memulai hari barunya dengan perasaan bahagia. Hanya dengan begitu, Zion akan merasa bahagia disana.
0 comments:
Post a Comment