Waktu yang berlalu tidak dapat diprediksi. Kadang, dalam situasi tertentu, waktu akan terasa berjalan lebih lambat dari biasanya dan begitu pula sebaliknya. Bagi Fiona, lebih baik waktu berjalan cepat daripada lambat.
Karna waktu yang berjalan lambat hanya akan terus mengingatkannya pada Arif. Seseorang yang telah menjadi bagian paling penting dalam hidupnya. Jika tidak, bagaimana mana mungkin dia akan merasa begitu terpukul dan kehilangan dengan kepergian Arif yang mendadak tanpa sepenggal pesan apapun.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun. Perlahan, tapi pasti, sedikit demi sedikit, Fiona berhasil mengeluarkan Arif dari hati dan pikirannya. Walaupun belum sepenuhnya, setidaknya, kini hidupnya kembali berjalan dengan teratur.
Dia sudah tidak terbangun sepanjang malam hanya untuk menunggu email ataupun panggilan chatting. Dia juga sudah tidak berdiri semalaman di depan balkon dan menatap langit. Menunggu bintang jatuh dan membuat permohonan.
“Fio.” Panggil Lara, salah seorang temannya sejak masuk bangku kuliah.
“Yaa.” Jawab Fiona, menghentikan langkahnya.
Semula dia berencana untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen paling killer sekampus di perpustakaan. Tepat sebelum dia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, Lara memanggilnya.
“Tadi pagi, Pak Andika menyuruhku untuk memberitahukan bahwa ada yang mau dia bicarakan padamu. Kau disuruh ke kantornya sehabis kelas ini.”
“Sekarang?” Fiona melirik jam tangannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Biasanya jam segini Pak Andika pasti sudah pulang. Dosen yang satu ini hanya bekerja sebagi dosen part-time di kampusnya dan hanya mengajar mata kuliah di pagi hari.
“Iya. Kau cepat ke kantornya. Aku akan menunggumu di kantin. Jika kau sudah siap, kau bisa menjumpaiku di kantin dan kita bisa pulang barengan.” Usul Lara.
“Sebaiknya kau pulang duluan. Masih ada hal yang harus kukerjakan setelah ini.” dengan halus Fiona menolak ajakan Lara.
Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah ratusan kali dia menolak ajakan dari Lara ataupun teman yang lainnya. Dia membatasi diri dalam bergaul dengan siapapun. Tidak ingin jatuh ke lobang yang sama dan kembali kehilangan.
Baginya lebih baik menjaga jarak kedekatan dengan seseorang. Supaya jika seseorang itu meninggalkannya kelak, seperti apa yang Arif lakukan padanya, dia tidak akan merasakan siksaan dari kehilangan itu.
Setelah mengetuk beberapa kali, Fiona membuka pintu kantor dosennya dan melonggokkan kepalanya ke dalam.
“Bapak memanggil saya?” tanyanya dengan sikap sopan.
“Iya. Silakan masuk dan duduk. Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kamu.”
“Ada masalah apa, Pak?” Fiona mengambil duduk tepat di depan Pak Andika.
“Begini. Ada seorang mahasiswa yang mau melanjutkan studinya di kampus kita. Selama ini, dia kuliah di Aussie. Namun, karna ada masalah pribadi, dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Masalahnya, dia tidak ingin mengulang dari awal. Jadi, Bapak mau meminta tolong supaya kau mau membantunya dengan beberapa ketinggalannya.”
Fiona mengangguk mengerti. Sebenarnya dia ingin menolak, tapi merasa segan. Karna Pak Andika adalah seorang dosen yang sangat baik. Maka rasanya sangatlah tidak nyaman jika harus menolak permintaan sederhana seperti itu.
“Siapa namanya, Pak?”
“Namanya…….
“Arif.”
Jawaban yang berasal dari seseorang di belakang Fiona membuatnya terkejut dan segera membalikkan badannya untuk memastikan siapa yang sedang berbicara.
Seseorang itu kemudian melanjutkan, “Kurasa aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi kan, Fio.”
“Jadi kalian sudah saling mengenal?” tanya Pak Andika dengan nada senang
“Iya, Pak. Kami teman sekelas sejak SMP.”
“Bapak senang mendengarnya.” dosen tersebut lalu mengalihkan pandangannya dari Arif menuju ke arah Fiona.
Sementara itu, Arif tersenyum lebar pada Fiona, seakan tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya. Seakan dia tidak pernah pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
“Tidak ada yang ingin kau sampaikan padaku?” kata Arif, kali ini dia tersenyum jail dan bergerak mendekat ke tempat duduk Fiona.
Fiona membeku. Tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutnya. Hatinya masih terlalu shock dengan semua yang baru terjadi. Dan dia belum bisa menerima semuanya. Dengan cukup kasar, dia membalikkan kembali kepala dan badannya menghadap ke arah Pak Andika.
“Saya tidak punya waktu. Mohon Bapak mencari orang lain saja. Permisi.”
Fiona bangkit dari duduknya, melewati Arif tanpa sekalipun menatapnya dan berjalan keluar seakan cowok itu tidak pernah ada disana. Seakan semua ini hanyalah mimpi.
Ini pasti mimpi!
Seperti biasanya. Sehabis bubaran kelas, Fiona pasti segera menghabiskan waktu di tempat kesukaannya dari segala sudut kampusnya, perpustakaan. Di sana dia mendapatkan ketenangan dan kedamaian yang dia butuhkan untuk mengerjakan segala tugas dari para dosen killer. Yang biasanya selalu memberi tugas segunung dan menyuruh mereka untuk mengumpulkannya kembali dalam waktu 2 hari.
Selain itu, dia juga senang mendengarkan musik kesukaannya di Ipod. Membiarkan dirinya terlelap selama satu dua jam. Rasanya lebih nyaman tertidur di dalam perpustakaan daripada di kamarnya sendiri.
Dan siang itu, dia kembali terlelap. Diantara tumpukan buku-buku tebal yang berserakkan di salah satu meja besar persegi panjang. Letaknya berdekatan dengan dua buah jendela besar yang menghadap ke taman kampus.
“Hoooaaammmm.” Fiona menutup mulutnya dengan salah satu tangannya yang masih tergeletak bebas di meja, sementara tangan yang lain menjadi bantalan untuk kepalanya.
Beberapa dia mengerjapkan matanya. Setelah memperoleh kesadaran penuh, hal pertama yang dilihatnya, langit di luar sana yang mulai berubah warna. Dari warna biru muda ke warna jingga kemerah-merahan.
Hal ini menandakan bahwa hari sudah sore dan sudah saatnya dia pulang ke rumah. Segera dibereskan semua buku-buku yang masih terbuka dan terhampar di hadapannya. Namun, sebuah tas ransel coklat yang tergeletak di samping kursinya membuyarkan segalanya.
Beberapa buku yang berada di tangannya jatuh ke lantai. Hatinya berdegup dengan kencang. Dan tanpa sadar dia berjalan mundur beberapa langkah ke belakang. Dia masih belum menyadari bahwa ada seseorang berdiri memunggunginya.
“Aucch…” Fiona menjerit terkejut saat punggungnya bersentuhan dengan seseorang.
Dia membalikkan badannya. Dan ini semua bukan mimpi.
0 comments:
Post a Comment