“Kau baik-baik saja?” seseorang itu tidak lain adalah Arif.
Fiona lebih memilih untuk diam dan memungut buku yang terjatuh ke lantai.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Arif lagi sambil membantu Fiona.
Tetapi, dengan kasar, Fiona menepis tangannya dan member isyarat dengan bahasa tubuh bahwa dia-bisa-melakukan-semuanya-sendiri.
“Apa kau marah padaku?” kali ini Arif kelihatan sudah kehilangan kesabaran dengan sikap bisu Fiona yang menganggap dia tidak ada.
Masih dengan ekspresi yang sama, Fiona memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya dan berjalan melewati Arif dengan sikapnya yang sangat dingin. Dalam hati, Fiona terus meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi. Yang harus dilakukannya sekarang hanyalah segera pulang dan tidur.
Sebelum dia berjalan lebih jauh, Arif menahan lengan kirinya.
“Kenapa kau bersikap begitu dingin padaku? Apa kau tidak merindukanku? Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan padaku? Bukankah kita sahabat? Mengapa sekarang ini kau menganggapku seolah aku ini tidak ada?”
Pertanyaan beruntun dari Arif membangkitkan rasa sakit, marah dan sedih dalam hati Fiona. Dengan kesal, dilemparkan dua buku tebal yang sedang dipegangnya.
“Kau bertanya seakan tidak ada masalah yang terjadi. Kau sangat ingin dengar apa yang sedang kurasakan? Baiklah aku akan menjawab. Ya. Benar. Aku marah. Bukan hanya marah, tapi sangat marah padamu. Kau bilang kita sahabat? Biarkan aku bertanya padamu, apakah seorang sahabat akan meninggalkan sahabatnya yang lain tanpa sepenggal pesan? Apa ini yang dilakukan oleh seorang sahabat?” Fiona sudah tidak mampu membendung amarahnya, “Jika seorang sahabat seperti itu, maka aku tidak memerlukan sahabat ini. Jadi aku mohon jangan berbicara denganku lagi. Jika kau melihatku, anggaplah aku ini tidak ada. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama padamu.” Fiona menghirup nafas panjang sebelum melanjutkan, ”Karna di duniaku, sudah tidak tercantum namamu lagi.”
Airmata mengalir perlahan dari kedua pelupuk mata Fiona, sesaat setelah dia membalikkan badannya dan berjalan pergi.
Satu kali merasakan kehilangan rasanya sudah cukup.
Malamnya, Fiona kembali duduk termenung di balkon kamarnya. Kegiatan seperti ini sudah jarang dia lakukan sejak berbulan-bulan yang lalu. Namun sepertinya kejadian hari ini secara tidak langsung membangkitkan semua kenangan pahit di masa lalu.
Fiona kembali mendekap kedua lututnya dan menyandarkan kepalanya pada kedua lengannya. Setiap helaan nafas yang dia hembuskan terdengar berat dan sedih. Dia sungguh tidak tahu apa yang dia lakukan sore ini benar atau salah.
Di satu sisi dia ingin memeluk Arif dan bertanya mengapa dia meninggalkannya selama setahun ini. Tapi, di sisi lain, dia tidak ingin terlalu banyak berharap. Mungkin saja lain kali, cowok itu akan kembali meninggalkannya.
Dia tidak butuh seorang sahabat yang akan meninggalkannya secara tiba-tiba. Dia tidak butuh seorang sahabat yang selalu membuatnya menunggu setiap malam. Dia juga tidak butuh seorang sahabat yang tidak bisa menepati janjinya.
Tapi, apakah rasa yang selama ini dia tujukan pada Arif murni hanya perasaan sebagai seorang sahabat? Atau ada perasaan lebih?
Fiona menggeleng kepalanya dengan kuat. Menepiskan setiap kemungkinan yang ada.
Dia kembali mengangkat kepalanya dan menatap langit. Hari ini, lagi-lagi, langit tidak berbintang.
“Apakah akan ada bintang jatuh hari ini?” Fiona bertanya pada dirinya sendiri dengan nada tidak pasti.
Pasalnya, sudah hampir setahun belakangan ini, walaupun langit tidak berbintang, tapi dia tidak pernah melihat bintang jatuh.
“Mungkin saja ada. Aku bisa menemanimu menunggu bintang jatuh.” Terdengar suara yang berasal dari balkon sebelah.
Fiona segera mencari pemilik suara tersebut. Lagi-lagi, dia dikejutkan oleh kehadiran Arif.
“A.. apa yang sedang kau lakukan disana?” tanya Fiona dengan sedikit tergagap.
“Menemanimu menunggu bintang jatuh.” jawab cowok itu dengan enteng.
“Tapi, bagaimana kau bisa sampai disana?” Fiona berdiri dan berjalan mendekat ke arah pembatas balkonnya dengan balkon sebelah.
Arif menunjukkan tangannya ke arah sebuah tangga yang sedang tergantung di bagian depan balkon, “Aku memanjat.”
“Apa kau sudah gila? Apa yang harus kulakukan jika kau terjatuh dan terluka? Kenapa kau tidak pernah berubah dari dulu? Selalu melakukan perbuatan yang konyol.” Gerutu Fiona sambil memicingkan matanya.
“Dan perbuatan konyol itu hanya aku lakukan untuk menghiburmu.”
Jawaban dari Arif sempat membuat Fiona terdiam untuk beberapa saat. Arif kembali memanjat dan melompati dinding pembatas dari balkon sebelah ke balkon kamar Fiona.
“Apa kau masih marah padaku?”
Fiona mendengus kesal, tapi tidak menjawab. Dia kembali mengambil duduk di sudut balkon dan memandangi langit. Sementara, dengan bebal, Arif mengambil tempat duduk tepat di sampingnya.
“Maafkan aku karna aku menghilang secara mendadak setahun ini. Tapi, aku mempunyai alasan tertentu.”
Dengan cepat, Fiona bertanya, “Alasan apa?”
“Aku sedang memberi waktu pada diri kita masing-masing.”
“Memberi waktu?” Fiona memberikan ekspresi bingung terhadap perkataan Arif, “Waktu untuk apa?”
Kini, Arif mendongakkan kepalanya keatas dan menatap langit yang tidak berbintang, “Masih ingatkah kau saat kita mengucapkan permohonan bersama disaat bintang jatuh?”
Fiona mengangguk dan kembali menunggu perkataan Arif selanjutnya.
“Saat itu, aku memohon supaya kau bisa sedikit, hanya sedikit saja merasakan bahwa perasaanku selama ini sebenarnya lebih dari perasaan sebagai seorang sahabat.”
Fiona terlihat terkejut, tetapi, Arif tetap melanjutkan, “Aku menyukaimu sejak, aku tidak tahu sejak kapan. Aku hanya tahu bahwa semakin hari rasa suka dan sayangku semakin bertambah. Tapi, kau tidak pernah menyadarinya. Kau terus menyebutku sebagai seorang sahabat terbaikku dan hatiku terluka. Aku tidak ingin menjadi sahabat terbaikmu. Aku ingin menjadi seseorang yang lebih dari seorang sahabat bagimu. Tidakkah kau mengerti?” Arif menatap langsung ke dalam kedua bola mata gadis yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
Fiona tidak tahu apa yang hendak dia katakan. Ada rasa bahagia yang menyelinap ke dalam hatinya, tapi ada juga rasa terkejut. Dia hanya bisa membisu seperti patung dan melihat ke arah Arif tanpa sekalipun mengerjapkan matanya.
Arif kembali melanjutkan, “Kepergianku hanya untuk memastikan, apakah kau bisa hidup bahagia tanpaku?”
Fiona menjawab dengan tegas, “Aku tidak bisa. Tidakkah kau sadar bahwa aku pernah berkata padamu bahwa kaulah bintangku dan aku tidak tahu bagaimana rasanya jika suatu hari kau tidak bersamaku? Sebenarnya saat itu, aku sedang menunjukkan perasaanku padamu. Tapi kau ini memang bodoh. Tidak bisa menangkap sinyal yang sedang kuberikan padamu.”
Kali ini, Arif yang terkejut dengan perkataan Fiona. Dia sedang berusaha untuk mencerna setiap kata yang sedang diucapkan oleh gadis yang sedang duduk di sampingnya.
“Jadi, maksudmu, kau juga menyukaiku?” pertanyaan Arif hanya dijawab oleh Fiona dengan sebuah anggukan, “Tapi bukankah kau selalu bilang bahwa aku ini sahabat terbaikmu?”
“Itu karna aku merasa kau tidak pernah menganggap diriku lebih dari seorang sahabat. Maka bagiku, selama kau selalu berada di sampingku, sebagi seorang sahabat pun, aku sudah sangat puas.”
Untuk sesaat, suasana berubah menjadi hening. Arif dan Fiona saling menatap satu sama lain. Kemudian, keduanya memecah keheningan dengan tawaan yang keras. Mereka menertawakan diri masing-masing yang sudah bersikap bodoh selama ini.
Seandainya mereka berterus terang dari awal, mungkin akhir cerita yang bahagia ini tidak harus tertunda hingga setahun kemudian. Jika saja mereka bisa membaca isi hati masing-masing dengan lebih baik, mungkin mereka tidak harus merasakan sakit yagn tidak semestinya harus mereka rasakan.
Tidak lama kemudian, langit yang gelap dipenuhi dengan hujan bintang jatuh yang berlangsung selama satu menit. Dengan cepat, mereka menutup kedua mata mereka dan kembali membuat permohonan.
“Apa yang kau minta?” tanya Arif penasaran saat Fiona baru saja membuka matanya dan tersenyum sendiri.
“Rahasia.” Fiona meniru gaya Arif yang dulu.
Arif kembali mengacak rambutnya dan merangkulkan sebelah tangannya ke pundak Fiona dan menarik badan gadis itu merapat ke dirinya.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Aku janji.” Arif mempererat rangkulannya.
Fiona hanya kembali mengangguk kecil dan menyandarkan kepalanya pada bahu Arif. Dalam hati dia berkata, “Aku hanya meminta supaya kau selamanya tetap menjadi bintangku. Karna langit tidak akan pernah lengkap tanpa kehadiran sang bintang.”
0 comments:
Post a Comment