Ada kalanya seseorang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan. Saat otak menolak untuk menerima kebenaran yang terlalu kejam, disaat itulah sisi otak yang lain menciptakan suatu khayalan yang diyakini sebagai kebenaran sejati sebagai alibinya.
Dan jalan keluar dari dunia khayalan itu hanyalah dengan menyadarkan diri sendiri bahwa sudah saatnya untuk bangun.
Hari ini, langit memperlihatkan keangkuhannya dalam kegelapan, tanpa bulan dan bintang sebagai pendamping. Perlahan, rintikan demi rintikan gerimis mulai menghujani tanah yang masih kering. Semakin lama rintikan hujan yang turun pun semakin deras. Sesekali diselangi suara halilintar yang cukup memecahkan telinga.
Di balik jendela kamarnya, Selva duduk termangu memandangi peristiwa alam yang sedang terjadi di luar sana. Sebagian badannya disandarkan pada sofa berwarna putih yang dibuat khusus di dekat jendela. Pandangan matanya menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Dan hal itu cukup mengganggunya hingga dia belum terlelap pada jam 11 malam.
Ketukan ringan pada pintu kamar, membuyarkan lamunan Selva.
“Belum tidur, Sel?” tanya Dara, kakak sulung Selva yang berjalan mendekat dan membawakan segelas susu coklat hangat.
“Untukku?” balas Selva tanpa menjawab pertanyaan Dara dan segera meneguk segelas susu coklat itu.
“Tidurlah lebih awal. Bukankah besok kita ada janji dengan Dokter Steve?”
Selva meletakkan gelas yang sudah kosong di samping meja kaca di dekat sofa, “Mengapa aku harus selalu menemui Dokter Steve itu? Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu bertanya hal yang aneh, seakan aku ini mengalami kelainan jiwa. Aku ini masih waras, Kak. Kenapa mama menyuruh kakak membawaku kesana? Apa ada yang salah denganku? Bukankah aku baik-baik saja?” nada bicara Selva berubah menjadi tinggi, bahkan wajahnya sedikit kemerahan karna emosi yagn sedang bergemuruh dalam dadanya.
Dia tidak habis pikir, mengapa beberapa bulan belakangan ini, tepatnya dua minggu ini, setiap dua hari sekali dia harus menemui Dokter Steve, yang pekerjaannya adalah seorang psikiater. Padahal selama ini dia merasa dia tidak sakit, tidak bertingkah aneh, juga tidak terlihat seperti orang yang sedang mengalami depresi berat.
“Maksud mama dan kakak bukan begitu. Hanya saja, selama ini kamu terlihat jarang bisa tertidur lelap. Mungkin setelah berbicara sedikit dengan Dokter Steve, kamu bisa merasakan baikan. Bukankah kamu sendiri yang bilang, setelah meminum obat dari Dokter Steve, hatimu bisa terasa lebih tenang sebelum tidur?”
Selva terdiam. Dia tahu, tidak ada gunanya membalas semua perkataan kakaknya ataupun mamanya, jika mamanya juga berada disana. Mereka akan menggunakan seribu alasan cara untuk menyakinkannya bahwa semua itu demi kebaikkannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia merasa ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang sedang ditutupi semua orang, termasuk teman baikknya.
Dan semua itu berlangsung semenjak kecelakaan yang dia lewati dua bulan lalu di jalan tol. Saat itu dia sedang bersama pacarnya, Andre. Mereka baru saja pulang dari pesta ulang tahun seorang teman dalam keadaan sedikit mabuk. Kecepatan mobil mereka di jalan tol cukup tinggi, bahkan pada saat tikungan, mereka tidak mengurangi sedikitpun kecepatannya. Hingga akhirnya, mereka tidak sempat mengelak saat mobil mereka melaju cepat dan menabrak tikungan trotoar di jalan tol.
Namun, seingat Selva, tidak ada luka serius yang mereka alami. Hanya beberapa luka ringan di kepala dan tangan. Mungkin luka Andre lebih parah, kepalanya mengeluarkan darah cukup banyak. Tapi, setelah dirawat di rumah sakit beberapa hari, luka Andre mulai sembuh dan diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit.
Selva menarik nafas panjang, kembali memalingkan kepalanya menghadap ke arah jendela. Apakah karna kecelakaan itu, setiap malam, tidurnya selalu tidak tenang dan mengalami mimpi buruk?
“Sel, tidurlah. Sudah malam.” bujuk Dara, menarik sebelah lengan Selva dan menuntunnya berjalan ke arah tempat tidur.
Setelah memastikan bahwa Selva sudah meminum obat yang diberikan Dokter Steve dan tertidur lelap, Dara mematikan lampu kamar dan berjalan keluar. Sesaat sebelum dia menutup pintu kamar, dia bergumam pelan pada dirinya sendiri, “Kakak berharap kamu bisa segera bangun dari mimpi buruk ini.”
***
Baru dua jam Selva terlelap dalam tidurnya yang cukup nyenyak, suara halilintar di luar sana kembali berdendang dengan suara memekakkan telinga. Gadis mungil itu terloncat bangun dari tidurnya. Perasaan takut tersirat dengan jelas pada raut wajahnya yang pucat dan jantungnya yang berdetak tidak beraturan. Beberapa keringat dingin menetes di pundaknya.
Dengan setengah hati, dia menyeret selimut yang menutup seluruh badannya ke samping. Rasanta jika sudah terbangun seperti ini, dengan sekuat apapun dia mencoba, tidak mungkin baginya untuk kembali terlelap dalam jangka waktu yang dekat. Dan kembali pada kebiasaannya. Jika sudah terbangun karna mimpi buruk ataupun suara halilintar, dia akan meringkukkan badannya di atas sofa dekat jendela. Memandang ke luar jalanan yang basah oleh hujan. Membiarkan keheningan malam menemaninya.
Sambil bersandar pada kedua lutut yang ditekuknya, Selva mengambil ponsel dari samping meja. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada pesan baru di kotak masuk. Lalu, ponsel itu dilemparkannya dengan kesal ke arah tempat tidur.
Sudah dua minggu ini, Andre tidak memberi kabar. Bahkan setiap kali ditelepon, yang menjawab hanya kotak suara. Sudah puluhan pesan Selva kirimkan dan ratusan pesan dia tinggalkan di kotak suara Andre. Namun, sang pemilik tidak sekalipun membalasnya.
Terakhir kali Selva bertemu Andre, pada saat Andre sedang menunggu bis di halte. Lelaki itu selalu lupa membawa payung, padahal sekarang ini sedang musim hujan. Dan setiap kali itu juga, Selva akan membawakan payung dan membiarkan Andre mengantarkannya hingga ke rumah.
Jarak antara rumahnya dan rumah Andre hanya terpaut tiga jalan. Kadang, jika Andre tidak ada meeting di kantor, dia akan menunggu Selva di halte bis dan bersama-sama pulang ke rumah. Membicarakan hal-hal sederhana dan tidak penting. Bercanda tawa dengan segala sesuatu yang mereka temui di sepanjang perjalanan pulang mereka.
Selva mendekap erat kedua lututnya. Setiap kali dia memikirkan tentang Andre, entah mengapa hatinya seperti ada sedang teriris pisau. Rasanya sangat menyakitkan. Hingga dia kesulitan bernafas dan tidak dapat menahan air matanya. Sebuah perasaan seakan dia tidak dapat bertemu dengan Andre lagi.
Kamu kemana, Dre? Aku merindukanmu.
***
Beberapa saat kemudian, ponsel yang dilemparkan Selva ke atas tempat tidur berdering. Gadis itu segera berdiri dan berjalan ke arah tempat tidur untuk melihat siapa yang meneleponnya subuh begini. Apakah Andre?
Saat melihat nama yang tertera di layar ponsel, Andre, Selva tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Dengan segera dia menjawab panggilan itu. Rasa kesal dan marah yang disimpannya menguap sudah entah kemana.
“Halo, Dre. Kamu lagi dimana?” Selva bertanya dengan nada riang sambil menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur.
“Aku lagi di halte bus. Baru selesai meeting.” Suara Andre yang bass terdengar cukup lelah di seberang sana. Beberapa kali dia menghela nafas yang panjang dan berat.
“Di halte bus? Kamu lupa membawa payung lagi?” Selva membangkitkan badannya dan berjalan kembali ke arah jendela.
Hujan di luar sana masih belum reda. Malahan semakin deras. Beberapa kali Halilintar memperlihatkan cahayanya walaupun tidak berseru dengan kuat. Namun, Selva memiliki perasaan bahwa ini akan menjadi hujan yang panjang.
“Tadi pagi, aku terburu-buru ke kantor. Bisakah kamu membantu membawakan payung untukku? Aku mohon.” kini suara di seberang sana terdengar dengan nada memelas.
Selva memutar kedua bola matanya keatas dan kebawah. Salah satu kebiasaannya jika sedang berpikir. Malam sudah larut. Dan jika dia keluar sekarang, pasti akan dimarahi Dara. Namun, dia tidak peduli. Rasa rindu yang sedang bergemuruh dalam dadanya memberikan kekuatan berlipat ganda untuk mengantarkan payung pada Andre. Dan dia sudah bertekad.
“Aku akan segera kesana sekarang.”
0 comments:
Post a Comment