Untuk kesekian kalinya, Rara memeluk kedua lututnya. Menyandarkan kepalanya diatas dan menghela nafas yang panjang. Perlahan, tetesan bening itu kembali mengalir di kedua pipinya dan membasahi kedua lutut dan baju kemeja putihnya. Sedetik kemudian, dia memejamkan matanya. Mencoba untuk menghentikan air mata yang tidak kunjung berhenti.
Rara merasa dirinya sangatlah lelah. Salah. Bukan dirinya tapi hatinya. Dan kelelahan itu sudah terlalu menghinggapinya, hingga dia tidak dapat mengingat bagaimana rasanya tertawa ataupun tersenyum. Beberapa kali dia mencoba untuk tersenyum pada dirinya sendiri melalui kaca kecil di kamarnya, namun yang ada hanyalah perasaan seperti meminum sirup yang terasa seperti air tawar. Tidak ada rasa manis, juga tidak ada rasa pahit.
Desahan nafas panjang nan berat kembali terdengar. Kalinya ini, desahan itu terdengar lebih lama dari yang pertama kali. Seakan, dia sedang bernegosiasi dengan dirinya sendiri bahwa semua ini sudah cukup.
Sudah cukup dengan perasaan sakit yang memuakkan ini.
Sudah cukup dengan tangisan yang hanya membengkakkan matanya.
Sungguh sudah cukup.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Rara membangkitkan dirinya dari ruang tamu menuju dapur. Sebenarnya, dia tidak merasakan lapar sama sekali, tetapi sudah dua hari ini dia tidak memakan apapun. Jika diteruskan, tidak baik untuk kesehatannya sendiri. Selain itu, dia juga membutuhkan tenaga untuk menjalani hari-hari berikutnya.
Saat hendak memasak mie instan, salah satu masakan yang paling dikuasainya, terdengar suara ketukan pintu dari depan. Rara melirik jam dinding yang tersembunyi di ujung lorong dapur kecilnya. Sudah jam 10 malam. Siapa yang akan datang bertamu pada jam segini. Tidak mungkin kedua orangtuanya. Jika mereka ingin datang mengunjunginya, pasti akan memberitahu lewat telepon.
Lalu dia teringat sesuatu. Hal yang paling ingin dilupakannya. Kebiasaan yang tidak ingin diingatnya lagi. Rara diam membeku. Tidak tahu harus mengambil tindakan apa. Membukakan pintu dan mempersilakan tamu itu masuk atau berpura-pura bahwa rumah sedang dalam keadaan kosong. Tapi, lampu di ruang tamu masih menyala, tidak mungkin tamu itu percaya bahwa rumah sedang ditinggal pemiliknya.
Kepanikan mulai melanda Rara. Dia tidak ingin menghindar, tapi bertemu juga bukan jalan terbaik. Ketukan kembali terdengar untuk kedua kalinya. Kali ini, nafas Rara mulai naik turun tidak beraturan. Dia mengigit bibirnya dan berjalan mondar mandir. Bagaimana ini?
“Ra, kau di dalam kan.” terdengar suara bass seorang lelaki yang lebih menyerupai teriakan dari depan pintu, “Buka pintunya, Ra.”
Belum selesai tamu itu berbicara, pintu sudah terbuka. Dari balik pintu, Rara berdiri mematung. Dia tidak tahu apa yang sedang merasukinya hingga kedua tangannya begitu berani untuk mengambil tindakan sendiri, membukakan pintu pada orang yang paling tidak ingin ditemuinya. Setidaknya untuk beberapa saat ini.
“Bagaimana kabarmu?” lelaki itu kembali berbasa basi sambil tersenyum kaku dan mimik mukanya sedang memberitahukan bahwa dia tidak nyaman dengan suasana berbicara sambil berdiri di ambang pintu.
“Masuklah.” Rara menggerakkan kepalanya sedikit ke belakang, sebelah tangannya membiarkan pintu rumahnya terbuka lebih lebar.
“Kau yakin ingin membiarkanku masuk?” lelaki itu bertanya dengan hati-hati.
“Aku yakin banyak yang ingin kau bicarakan, bukan?” Rara balas bertanya, “Jika tidak, untuk apa kau datang.”
“Sebenarnya” lelaki itu berdeham beberapa kali, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.
Beberapa tumpukan undangan bewarna emas tersusun rapi di dalam sebuah tas plastik bewarna bening. Rara bisa merasakan nafasnya sedang berhenti dan jantungnya berdetak seratus kali lebih cepat dari biasanya. Dia mengepalkan kedua tangannya, menahan rasa sakit yang sedang menyerang dan mencabik relung hatinya.
“Ra,” panggil lelaki itu dengan lembut, “Apa kau baik-baik saja?”
Sebuah anggukan cepat dijadikan jawaban untuk membalas pertanyaan lelaki itu, “Jangan khawatir aku baik-baik saja.”
“Sebenarnya semua ini belum terlambat. Jika kau ingin kita kembali, aku akan kembali padamu dalam detik ini juga. Dan pernikahan kita tidak perlu dibatalkan.” lelaki itu berusaha menggenggam tangan Rara, namun segera ditepisnya.
“Tidak ada gunanya bagiku untuk mempertahankanmu di sisiku, jika dari pertama kali dihatimu tidak pernah ada tempat untukku.” Rara menatap tajam ke dalam kedua bola mata lelaki itu, “Aku tidak ingin menghabiskan seluruh hidupku dengan seseorang yang tidak pernah mencintaiku.”
“Aku…Aku…” lelaki itu mencoba untuk membela diri, membersihkan diri dari semua tuduhan Rara yang tidak beralasan, tapi dia tidak sanggup, karna memang itulah kenyataannya.
“Tidak usah menjelaskannya padaku. Aku mengerti.” Rasa perih karna menahan air mata membuat Rara mengepalkan tangannya semakin kuat, “Aku sudah mengerti semuanya, saat aku melihat caramu menatap dan memeluk wanita itu. Kau sangat mencintainya kan.”
Lelaki itu tidak berani menatap langsung pada mata Rara, bahkan dia lebih memilih untuk diam. Penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah menyakiti wanita yang hampir menjadi calon istrinya itu. Jika ingin disalahkan, dari awal dialah yang paling bersalah. Memberikan sebuah janji yang tidak dapat dipenuhinya.
“Kakakku seorang yang sangat beruntung bisa mendapatkan seorang suami yang begitu baik dan pengertian sepertimu. Sayangnya, aku tidak seberuntung kakakku.” Sebuah senyuman dipaksakan Rara untuk menghiasi wajahnya yang hampir kehilangan kendali untuk menahan air mata, “Jangan mengorbankan kebahagiaanmu hanya demi janjimu pada kakakku sebelum dia meninggal. Selama empat tahun ini, aku sungguh berterima kasih padamu. Kau sudah menjagaku, selalu berada di sampingku, selalu mendengar keluh kesahku yang tidak penting hingga ketiduran. Aku sungguh bahagia bisa melewati hari-hari itu denganmu.”
Detik itu juga, Rara kehilangan pertahanan dirinya untuk tidak menangis. Airmata tidak berhentinya mengalir di kedua pipinya yang kini kemerah-merahan akibat menahan tangisan. Lelaki itu juga sudah tidak sanggup untuk tidak memeluk Rara, menyuruhnya jangan menangis lagi dan menenangkannya dalam pelukan hangat seperti yang biasa dia lakukan jika Rara sedang bersedih.
“Mungkin aku tidak pernah mencintaimu, tapi kau tahu dengan pasti aku sangat menyayangimu melebihi siapapun di dunia ini termasuk kakakmu.” Lelaki itu berbisik diantara helaian rambut yang menutupi telinga Rara.
“Jika kau memang begitu menyayangiku, pergilah. Tinggalkan aku sendiri dan jangan pernah kembali lagi. Karna aku sanggup tanpamu.”
***
Empat tahun yang lalu,
Di sebuah kamar rumah sakit, seorang wanita dengan kepala ditutupi topi hasil rajutan tangan, terbaring lemas. Wajahnya terlihat pucat dan badannya kurus ceking. Di sampingnya berdiri seorang gadis berumur sekitar 19 tahun dan seorang dokter muda yang ahli dalam penyakit kanker, terutama kanker otak.
“Ra, kakak haus. Bisa tolong belikan teh hangat di kantin bawah?” pinta wanita itu dengan lembut sambil tersenyum.
Rara mengangguk cepat dan segera berlari keluar dari ruangan. Beberapa detik kemudian, wanita itu menggenggam tangan dokter yang sedang membelai lembut kepalanya, “Aryo, kau tahu dengan pasti bahwa aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi.”
Aryo menggelengkan kepalanya, “Jangan berkata seperti itu. Kau akan sembuh dan kita akan memiliki banyak anak dan menjadi sebuah keluarga yang sangat berbahagia.”
“Kau seorang dokter, seharusnya kau tahu dengan pasti bagaimana kondisiku. Semakin hari tubuhku semakin lemah. Aku tidak sekuat yang kau pikirkan, Yo.” wanita itu mengambil nafas sejenak kemudian melanjutkan,”Sebelum aku pergi, berjanjilah padaku bahwa kau akan menjaga Rara seperti kau menjagaku.”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Aryo. Dokter itu hanya terdiam dan membelai lembut kepala istrinya berulang kali.
“Aryo.” seru wanita itu, “Berjanjilah padaku. Kau akan menjaga Rara seumur hidupmu. Sebagai seorang kakak, aku bisa merasakan bahwa dia juga menaruh perasaan yang lebih padamu, bukan hanya sekedar perasaan adik pada abang ipar.”
Aryo tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menjawab. Dia merasa permintaan istrinya terlalu berlebihan dan tidak mungkin untuk dilakukannya.
“Jika kau berjanji, maka aku akan bersedia untuk mendonorkan jantungku pada Lea. Aku pernah melakukan tes darah dan jantungku cocok untuk dicangkokkan pada Lea.”
Mendengar nama Lea, Aryo mematung. Tangannya berhenti membelai kepala istrinya dan pandangannya segera dialihkan pada titik lain, “Jangan membahas tentang dia lagi.”
“Kau masih mencintainya, kan. Bahkan setelah kau menikah denganku, kau tetap mencintainya.”
“Jangan berbicara sembarangan.” Bentak Aryo.
“Aku tidak berbicara sembarangan. Memang itu kenyataannya. Bahkan cintamu padanya melebihi cintamu padaku.”
Tiba-tiba wanita itu batuk tidak henti-hentinya karna terlalu emosi dalam berbicara. Aryo membantunya menuangkan segelas air putih dan mengelus punggungnya untuk tidak tersedak sewaktu meminumnya, “Istirahatlah. Kau sudah menguras banyak tenaga hari ini.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya, “Berjanji padaku dulu.”
Aryo menghela nafas, “Aku tidak mengerti. Mengapa aku bisa menikahi seorang istri yang segitu keras kepalnya sepertimu.”
“Ayo, berjanjilah padaku.” rengek wanita itu sambil menarik lengan baju Aryo.
“Baiklah. Aku berjanji padamu akan menjaga Rara seumur hidupku. Apakah kau bahagia sekarang?”
“Sangat.”
0 comments:
Post a Comment