Di sudut ruangan café, di dekat jendela, Dhea dan Angga duduk berhadapan. Jika diperhatikan dengan seksama semuanya masih sama seperti lima tahun yang lalu. Saat pertama kali mereka berkencan.
Tempat duduk yang selalu sama setiap kali mereka datang. Lagu mellow yang selalu menjadi teman setia. Menu pesanan yang tidak pernah berubah. Kegiatan masing-masing yang sama monotonnya dengan perputaran bumi mengelilingi matahari. Namun, ada yang berubah.
Raut wajah mereka tidak lagi terlihat berbinar saat memandangi satu sama lain. Tidak ada senyuman. Tidak ada percakapan kecil. Seakan mereka hanyalah dua orang asing yang duduk bersama di satu meja. Tidak ada yang tahu dengan pasti, kapan tepatnya perubahan ini terjadi.
“Ga, aku ingin bicara.” seru Dhea memulai pembicaraan. Tangan kirinya sibuk mengaduk segelas kopi di hadapannya yang masih mengepulkan asap.
“Apa?” balas Angga cuek tanpa menghentikan gerakan jarinya dari ketikan di keyboard laptop.
“Aku tidak suka jika kau mengerjakan sesuatu saat sedang berbicara denganku.” Dhea terlihat mulai kesal dengan sikap Angga yang seakan tidak menghargai keberadaannya.
“Aku juga tidak suka dengan cara bicaramu yang suka membentak.” Tangannya berhenti mengetik, lalu laptop didepannya ditutup dan kini bergeser ke samping.
Dhea menghela nafas, “Aku merindukan masa-masa dulu kita, Ga. Di saat kita masih bisa bercanda tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak penting. Setidaknya kita masih berkomunikasi.”
Angga menolehkan kepalanya menatap ke luar jendela. Telinganya masih mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Dhea. Hanya saja, dia sudah tidak sanggup lagi untuk menatap ke dalam mata wanita itu. Ada perasaan bersalah dihatinya.
“Banyak perubahan yang terjadi akhir ini. Apakah kau menyadarinya?” Dhea melanjutkan, “Kau telah berubah, begitu juga dengan aku.”
“Aku tahu. Aku juga menyadarinya, hanya saja aku tidak tahu bagaimana membicarakannya denganmu. Kau tahu, setiap kali kita bertemu, aku selalu sibuk dengan tugasku dan kau selalu sibuk dengan bukumu.” Akhirnya Angga memutuskan untuk angkat bicara.
Memang sudah saatnya bagi mereka untuk bicara dari hati ke hati. Supaya segalanya menjadi jelas dan tuntas. Sehingga di kemudian hari tidak ada pihak yang akan terluka lebih dalam.
“Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kalinya kita berbicara lebih dari lima menit.” Ucapan terakhir Dhea lebih terdengar seperti bisikan pada dirinya sendiri. Dia berhenti mengaduk gelas kopinya dan menyandarkan diri ke belakang sofa sambil melipat kedua tangannya. Lalu, dia kembali melanjutkan, “Apakah hubungan ini masih bisa disebut hubungan?”
Pertanyaan Dhea sempat membuat Angga tersentak beberapa detik. Dengan perlahan, dia menatap ke arah Dhea. Berharap untuk menemukan secercah harapan disana. Sayangnya harapan itu telah redup. Kini, dia yakin bahwa cinta telah meninggalkan hatinya tanpa berpamit, “Mungkin sudah saatnya hubungan ini kita akhiri.”
Suasana hening untuk beberapa saat. Dhea membalas tatapan Angga dengan tatapan tidak percaya. Namun, dengan segera dia mendapati bahwa sebagian besar hatinya merasa lega saat mendengar perkataan tersebut. Hatinya yang tercuri telah berpulang pada tempatnya. Dengan mantap tanpa keraguan sedikitpun dia membalas, “Ya, sudah saatnya kita mengakhiri hubungan ini.”
Keduanya tersenyum lebar satu sama lain. Ada perasaan aneh yang menyusup diantara relung hati mereka. Seperti dua ekor burung yang terlepas dari sangkar emas dan siap menempuh hidup baru di luar sana.
Saat cinta pergi, dia selalu meninggalkan jejaknya. Kenangan indah untuk dikenang.
0 comments:
Post a Comment