Tidak ada alasan khusus, mengapa aku bisa sangat menyukai kopi. Sebagian orang menyukainya karena mereka menganggap minuman ini bisa membuat mata mereka lebih fit dalam beraktivitas. Ada juga yang berkata bahwa kopi bagus untuk pertumbuhan otak manusia.
Benarkah semua itu? Satu-satunya kenyataan yang kutahu tentang kopi hanyalah minuman kental itu dapat membuatku bertahan, bergadang semalam menyelesaikan semua pekerjaan yang kubawa pulang ke rumah.
Ada satu hal yang sangat pasti tentang kopi bagiku. Aku menyukainya karena aromanya. Lembut, menusuk, tapi selalu dapat merangsang otak kanan dan kiriku serta menyegarkan hati dan pikiran. Tapi. Biarpun aku sangat sangat menyukai kopi. Aku termasuk pemilih dalam mengkomsumsinya.
Aku tidak terlalu suka kopi pekat nan hitam. Akan terasa lebih pas jika dicampur sedikit creamer dan satu sendok gula. Aku juga tidak terlalu suka kopi yang dicampur dengan susu. Seakan kopi itu kehilangan wajah aslinya. Bukan berarti aku tidak pernah meminum kopi yang pekat nan hitam dan yang dicampur susu. Hanya saja jarang, sangat jarang.
Dari sekian banyak coffee shop di kota ini. Hanya ada satu café yang membuatku betah dan tidak berpindah ke lain cafe.
“Cofe”, kepanjangan dari Coffee Café.
Dari namanya saja, sudah bisa ditebak bahwa café ini berhubungan dengan segala jenis kopi. Memang sedikit terdengar seperti surganya para penggila kopi, seperti diriku ini. Suasana kopi-kopian di café itu sangatlah terasa. Dari aroma ruangan, cat dinding, perabot hingga desain, semuanya berhubungan dengan kopi.
Belum lagi hiasan-hiasan kecil dan gantungan kecil di depan pintu, semuanya menggunakan biji kopi. Orang yang merumuskan ide ini pastilah sangat kreatif. Karena biji kopi selain dijadikan hiasan dan gantukan, juga bisa digunakan sebagai pengharum ruangan.
Kadang, ada kalanya aku ingin bertemu dengan pemilik café ini. Berkenalan dengannya dan bercerita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kopi. Kami bisa menjalin tali perteman atau berbagi tips tentang kopi. Mungkin.
Namun, setiap kali aku menyatakan keinginanku untuk bertemu sang pemilik café, jawaban yang kudapat hanyalah dia sedang tidak ada di tempat atau dia belum datang.
“Pagi sekali hari ini.” sapa salah seorang pelayan yang kukenal, bernama Maria.
Maria sudah bekerja disana sejak café itu dibuka. Dialah orang yang selalu mencatat pesananku. Hingga, aku merasa, dia sudah hafal benar dengan pesananku. Hanya saja demi ke-etisan profesinya, dia selalu menanyakan pesananku terlebih dahulu sebelum memesankannya ke dapur untukku.
“Iya. Hari ini aku bangun cukup pagi. Jadi, sekalian saja mampir pagian kesini dan mengisi perut sebelum berangkat ke kantor.”
Dia menganggukkan kepalanya. Lalu kami berbicara untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia beranjak ke dapur dan membawakan pesananku.
“Secangkir kopi untukmu dan sepiring roti bakar.” Maria meletakkan secangkir kopi panas itu dengan sangat hati-hati.
“Apakah kopi ini…….?” Aku menggantungkan kalimatku
“Ya. Seperti biasa, dari pengagum rahasiamu.”
Aku menghela nafas, tapi ada disertai sebuah tawaan. Akan berlangsung sampai kapankah hadiah kopi dari pengagum rahasia?
Semuanya dimulai sejak minggu kedua, aku menginjakkan kaki ke dalam café ini. Saat itu, aku mulai mendapatkan rasa betahku pada café itu. Pada minggu pertama aku hanya kesana dua kali. Namun, pada minggu kedua, aku menambah intensitas kunjunganku menjadi empat kali.
Aku cukup terkejut, saat sang pelayan-Maria, membawakan segelas kopi untukku, sebelum aku sempat memesan. Awalnya kukira Maria sudah menghafal pesananku, karna rasanya yang pas. Sedikit creamer dan satu sendok gula.
Tapi, semua terkaanku ternyata salah besar. Aku mengetahui kebenarannya, saat hendak membayar di kasir, penjaga kasir mengatakan padaku bahwa secangkir kopi itu hadiah untukku dari seseorang.
Aku berpikir. Pastilah orang yang menghadiahkan kopi ini memiliki indra pengecap yang sama denganku. Atau, jangan-jangan. Dia seorang psycho yang selama ini mengikutiku dan mengawasi setiap gerak gerikku.
Awalnya, aku merasa cukup aneh sekaligus takut akan tawaran kopi gratis tersebut. Bisa jadi, ada orang yang membenciku dan menghadiahkan kopi racun padaku. Tapi, semua kecurigaan itu menghilang tergantikan oleh kebiasaan baru. Secara tidak sadar, aku selalu menunggu secangkir kopi itu setiap harinya.
“Apa kamu tidak ingin tahu siapa yang menjadi pengagum rahasiamu?” Maria kembali bertanya, seusai melayani pengunjung lainnya.
“Apa kau tahu siapa orangnya?”
Maria menggeleng pelan, “Yang mengetahui hal ini hanya Manager kami, tapi dia tidak pernah mau memberitahukannya ketika aku bertanya.”
Aku meletakkan kembali cangkir kopi itu ke tempatnya. Lalu mendongakkan kepalaku menghadap Maria, “Tidak apa-apa. Jika orang ini memang ingin bertemu denganku, pastilah dia akan menemuiku. Mungkin belum waktunya bagi kami untuk bertemu.”
Maria kembali menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat. Entah karena dia setuju dengan pendapatku, atau dia hanya ingin menyenangiku.
“Aku harus pergi sekarang.” Aku meyerahkan selembar lima puluh ribuan ketangan Maria, “Sisanya sebagai tips menemaniku ngobrol.”
Kugantungkan tas channel bewarna hitam yang baru kubeli minggu lalu ke samping bahuku. Berdiri dengan perlahan dan melangkahkan kaki keluar dari café tersebut. Jam tangan yang berada di tangan kananku menunjukkan bahwa jika aku tidak sampai kantor dalam waktu 15 menit, maka aku akan terkena denda.
Seharusnya, aku tidak berbicara panjang lebar dengan Maria. Seharusnya aku melahap sarapanku lebih cepat. Karena sibuk menyalahkan diri sendiri, aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedang berada di depanku. Dengan kecepatan berjalanku yang setengah berlari, rasanya tidak mungkin untuk tidak menyenggol orang tersebut.
Dugaanku kali ini tepat. Orang itu terdorong ke belakang. Begitu juga denganku.
“Maafkan aku.” Aku membungkukkan badanku berkali-kali.
“Tidak apa-apa.” Dia membalas, kemudian melanjutkan langkahnya
Aku mengerutkan keningku. Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang itu. Tapi, yang tidak dapat kuingat, kapan dan dimana.
Sunday, February 28, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment