Hari yang berlalu terasa begitu cepat. Kadang aku merasa seakan aku sedang berlomba marathon. Dan lawanku adalah waktu.
Dia berlari terlalu cepat. Sekuat apapun aku mengejarnya, tidak ada celah sedikitpun untuk menggapainya. Bukannnya aku tidak berusaha.
Tapi, pada akhirnya dia selalu menjadi pemenangnya. Dan aku hanya bisa melihatnya berlalu.
Hari berganti hari. Musim berganti musim. Bahkan tahun pun telah berganti. Hanya aku seorang disini yagn tidak berganti.
Kadang aku juga merasa bahwa setiap orang berubah. Bergerak mengikuti waktu.
Hanya menyisahkan aku seorang diri. Tersesat. Terhalang. Tidak dapat berjalan maju. Juga tidak ada jalan untuk berjalan mundur ke belakang.
Dan penyebabnya adalah kau. Jika kau mendengar jawaban ini, mungkin kau akan menertawakanku. Karna telah membuat keputusan paling bodoh seumur hidupku. Yaitu memutuskan hubungan denganmu tanpa alasan yang jelas.
Awalnya aku merasa bahwa hanya dengan melihatmu bahagia. Aku akan merasa bahagia juga. Bukankah jika mencintai seseorang seharusnya begitu?
Ternyata aku salah. Hanya orang munafik yang akan berkata
begitu. Dan aku termasuk di dalamnya.
Saat melihatmu mulai membangun hidupmu kembali. Berusaha untuk bangkit dari kesedihanmu. Perlahan menemukan kembali kebahagianmu. Apalagi saat melihatmu bersama seseorang jauh disana.
Pada saat itulah aku menyesal.
Orang itu seharusnya aku. Menemanimu kemanapun kau pergi. Mendengarkan keluh kesalmu yang cukup membosankan. Menunggumu untuk memelukku dengan erat. Menggenggam tanganmu dengan erat di keramaian.
Kenapa aku harus melepaskanmu padahal aku sangat mencintaimu. Kenapa aku berpikir bahwa perpisahan adalah keputusan yang tepat? Bodohnya aku. Benar-benar sangat bodoh.
Kini, harus kuakui bahwa aku menyesal. Melihatmu bahagia tidak membuatku bahagia juga. Melihatmu bahagia hanya membuatku semakin merasa sedih dan menyesal. Melihatmu bahagia hanya membuatku tidak dapat berjalan ke depan dan tidak mungkin untuk berjalan mundur ke belakang.
Kini, tanpa sengaja kita bertemu disini. Tempat pertama kali kita bertemu. Kebetulan yang sangat tidak terduga. Kebetulan yang terlalu kebetulan.
Saat aku menatap ke dalam kedua bola matamu yang selalu menghanyutkanku. Aku baru menyadari bahwa aku sangat merindukanmu. Aku ingin memelukmu dan memintamu untuk kembali kepadaku. Tapi aku tahu semuanya tidak mungkin.
Karna tangan yang kau gandeng sekarang bukanlah tanganmu, melainkan tangannya. Ada saat dimana aku ingin bertanya padamu,
[i]Apakah kadang kau memikirkanku? [/i]
[i]Apakah kau menghabiskan waktu seperti saat aku denganku? [/i]
[i]Apakah kau mencintainya seperti kau mencintaiku?[/i]
[i]Apakah kau merasa sedih saat kau tidak bersamaku?[/i]
Dan aku sangat mengharapkan bahwa kau akan menjawab bahwa kau sangat tidak bahagia. Dan mungkin kau akan berpaling kembali kepadaku.
Namun, kenyataan yang terpampang di hadapanku tidaklah begini.
“Bagaimana kabarmu.” Kau bertanya padaku dengan nada lembut dan penuh perhatian seperti dulu.
Aku hanya tersenyum. Terlalu takut jika aku menjawab maka aku tidak akan bisa menahan air mata ini.
“Apakah kau melewati hidupmu dengan baik?” kau kembali bertanya. Bisa kurasakan bahwa kau sangat mengharapkan sebuah jawaban keluar dari mulut mungilku.
Aku menganggukkan kepala dengan cepat, supaya kau tidak melihat bahwa aku telah menjatuhkan dua tetes air mata ke bawah.
“Apa kau bahagia?”
Kumohon! Jangan bertanya lagi. Cepatlah berlalu dari hadapanku.
Aku sudah tidak dapat menahan bendungan air mata yang tertahan di pelupuk matanya. Jangan biarkan aku menangis di hadapanmu. Aku tidak ingin kau melihat sisi lemahku. Tidak untuk sekarang.
Kau mulai berjalan mendekat, sementara salah satu tanganmu melepaskan gengaman tangannya. Gerak-gerikmu menunjukkan bahwa kau ingin menggapaiku yang berdiri tidak terlalu jauh dari hadapanmu.
Aku merasa sedikit senang. Setidaknya aku tahu bahwa kau masih mengkhawatirkanku. Di hatimu masih tersisa tempat untuku. Walaupun tidak seluas dulu.
Kau berdiri tepat di hadapanku. Sebelah tanganmu mulai menangkup wajahku yang pucat. Kau menatapku dengan tatapan yang seakan berbicara bahwa,[i] “Aku mengkhawatirkanmu. Kemana kau selama ini? Apakah kau baik-baik saja?”[/i]
Aku sudah tidak dapat menahan airmata ini. Dan semuanya aku tumpahkan dengan memeluk erat dirimu. Aku tidak ingin melepaskan pelukan ini. Aku tidak ingin berpisah denganmu lagi. Tapi apakah itu mungkin?
“Dre” dia, yang bersamamu, memanggilmu dengan nada cemas.
Kau bahkan tidak menolehkan kepalamu dan tetap membiarkanku memeluk erat dirimu.
“Dre” dia kembali memanggilmu dan mulai berjalan kearah kita.
Kurasa sudah saatnya aku pergi. Aku sudah cukup puas dengan apa yang kualami hari ini. Aku sudah cukup bahagia mengetahui bahwa masih ada cinta yang tersisa untukku. Semuanya sudah cukup. Kurasa kini saatnya bagiku untuk benar-benar melepaskanmu.
Kulepaskan pelukanku segera berlalu dari hadapanmu. Kau ingin mengejarku tapi dia menahanmu.
“Apa yang sedang kau lakukan?” dia membalikkan badanmu dan bertanya dengan nada cemas. Tidak ada sedikit nada marah pun dalam perkataannya.
Kau tidak menjawab dan kembali membalikkan badanmu. Sayangnya, aku sudah tidak ada disana.
***
Pada waktu yang sama. Di sebuah rumah sakit. Para suster sibuk memanggil dokter yang bertugas menangani pasien kamar VIP 2. Pasien tersebut sudah mengalami koma selama tiga bulan sejak melakukan operasi tumor di otaknya.
“Dok, jantung pasien berhenti berdetak.” Dengan panik salah seorang suster berteriak.
“Siapkan peralatan.” Perintah sang dokter.
Dengan sigap dokter itu meletakkan alat pacu jantung di bagian dada sang pasien. Beberapa kali jantung pasien itu dikejutkan supaya kembali berdetak.
Namun, hasilnya sia-sia.
Sebelum para suster menutup wajah pasien dengan selimutnya. Mereka melihat bahwa wajah pasien itu terlihat seakan sedang tersenyum, padahal di kedua belah matanya meneteskan air mata.
Sepertinya pasien tersebut pergi dengan bahagia, tanpa penyesalan.
Friday, February 26, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment