Monday, February 15, 2010

Langit, Bulan dan Bintang

Malam ini.  Langit bertaburan bintang.  Seakan mereka sedang berkomplot untuk menyerang sang bulan yang tertutup oleh kabut malam.  Bintang dan bulan.  Keduanya memiliki posisi yang sama penting di hati langit.


Namun, ada kalanya sang bintang lenyap tak berbekas.  Digantikan bulan yang bersinar dengan cahaya kemenangan.  Di lain waktu,  sang bulan menghilang dalam kabut malam.  Bertukar posisi dengan bintang yang memenuhi ruang kosong di langit.


Tanpa bulan dan bintang pun, langit tetap bersikap angkuh dalam kegelapan malam.  Pertanyaannya adalah, ‘Apakah bulan dan bintang  saling menghindari satu sama lain?  Atau langit tidak bisa mempertemukan mereka berdua pada malam yang sama?’


***


Aku dan dia bersahabat sejak kami masih duduk di bangku sekolah menegah.  Tidak ada yang lebih mengerti diriku daripada dia.  Bahkan pacarku sendiri pun tidak memahami diriku seperti dia.


Dia bisa menebak apa yang ada dalam isi kepalaku.  Dia bisa membaca isi hatiku.  Bahkan dia juga tahu apa yang aku inginkan pada saat tertentu.  Sampai ada saat dimana aku merasa.   Dia adalah aku dan aku adalah dia.  


Kami seperti potongan puzzle yang saling melengkapi satu sama lain.  Mungkin aku tidak memahami dirinya seperti dia memahami diriku.  Namun, aku selalu ada disana disaat dia membutuhkan seseorang.  Aku selalu menjadi sandaran bagi dirinya saat dirinya sedang rapuh.


Dan ketergantungan ini terus berlanjut hingga suatu hari, dia mengajakku bertemu di taman belakang, tempat rahasia kami sejak masih bersekolah.


“Kurasa sudah saatnya kita menghentikan kebersamaan ini.” Dia berucap dengan mimik wajah yang setenang air tanpa riak.


“Maksudmu?”


“Kita harus berhenti bertemu dan berbicara mulai saat ini.  Pacarku selalu cemburuan saat melihat aku berbicara atau bertemu denganmu.”


Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya.  Apakah benar yang sedang dia katakana barusan?  Aku sangat berharap bahwa dia sedang bercanda atau sedang mengerjaiku.  


Kutepuk pundaknya dengan keras dan memaksakan suara tawa yang keras.
“Sudahlah.  Aku tidak akan termakan tipuanmu kali ini.  Sudah basi.”


“Aku tidak sedang bercanda.  Aku serius.  Pacarku menyuruhku untuk memilih dia atau kamu.  Kau tahu, aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin bagiku untuk melepasnya.  Jadi….”


Aku terdiam sejenak, tapi mulutku segera mengambil alih, “Jadi kau ingin putus hubungan denganku?”


Sekarang, gantian dia yang terdiam.  Aku juga terdiam.  Tidak tahu apa yang harus kukatakan.  Dulu, disaat pacarku cemburu dan memojokkanku pada situasi seperti ini, pada akhirnya, aku tetap memilih dia.  


Karna bagiku dia lebih penting dari siapapun.  Walaupun aku sangat mencintai pacarku, namun aku tidak mungkin bisa hidup tanpa dia disisiku.  Tapi, kenapa saat situasi ini berbalik, dia tidak mengambil keputusan yang sama denganku?


Kenapa?  Pertanyaan itu terus berteriak dalam kepalaku.  
Semakin lama, semakin keras.


Dia berdiri, menatapku dalam hitungan detik, lalu berjalan pergi.  Aku terus menatap punggung dia, yang semakin lama, semakin jauh, lalu menghilang.


Apakah aku sudah kehilangan dia?


***


Waktu silih berganti.  Tanpa terasa dua tahun pun telah berlalu tanpa kehadirannya di kehidupanku.  Ada kalanya aku bisa sangat merindukan dia, ingin bertemu dengannya dan bercanda tawa seperti dulu.  Tapi, aku tahu semuanya sudah tidak mungkin sekarang.


Dia lebih memilih pacarnya, daripada sahabatnya.
Namun, takdir memang sulit untuk ditebak.  Kadang dia akan membuatmu diam tanpa kata dengan apa yang akan kau hadapi selanjutnya.


Pada suatu sore, aku kembali pergi ke taman dimana cerita antara aku dan dia berakhir.  Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung.  


Tanpa dia aku tetap bisa bertahan hingga hari ini.  Tanpa dia aku tetap bisa melanjutkan hidupku seperti biasa.  Mungkin ada ataupun tanpa dia, aku tetap baik-baik saja.


Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari belakang.  Aku tidak menoleh, karna tanpa melihat pun, aku sudah tahu siapa yang datang.


“Kau masih sering kemari?” dia bertanya


“Kadang-kadang.” Balasku singkat


“Bagaimana keadaanmu?”


“Baik.”


Aku mulai merasa bosan dengan semua basa-basi ini.  Aku berdiri, menatapnya sejenak, lalu meninggalkan dirinya disana.  Sama seperti yang dia lakukan padaku, dulu.


“Mungkinkah bagi kita untuk terus seperti dulu?  Aku merasa tanpa kau, aku bukanlah aku.”


“Bukankah kau bilang kau mencintai pacarmu dan lebih memilih dirinya daripada sahabatmu ini?” aku mulai kehilangan kesabaran.  Ingin rasanya aku meluapkan semua amarah yang tertahan di hati ini.


“Memang.  Namun, kau juga sama pentingnya bagiku.  Walaupun bulan dan bintang tidak bisa akur.  Walaupun langit boleh kehilangan bulan dan bintang.  Tapi bulan tidak boleh kehilangan langit.  Karna tanpa langit, bulan tidaklah berarti.”


Aku berbalik dan tersenyum padanya.


Akhirnya dia mengerti tentang kisah bulan, bintang dan langit.

0 comments:

Post a Comment