Thursday, February 12, 2009

Gadis Hujanku

Aku mengerang kesakitan.  Ketendangkan kedua kakiku dengan sekuat tenaga ke segala arah.  Tadinya hanya dua orang yang memegang kedua tangannya.  Sekarang, kulihat dua orang itu bertambah menjadi empat orang.

“Lepaskan aku.”  Aku meronta dengan sekuat tenaga

Aku tidak mengerti.  Mengapa mereka memegangku dengan kuat.  Bahkan salah seorang dari mereka sedang memegang sebuah benda yang bentuknya kecil dan mengeluarkan beberapa tetes cairan diujungnya yang tajam.
Saat benda kecil itu menembus ke dalam kulitku, aku mengerang.  Sesekali, aku berontak, ingin melepaskan diri.

“Lepaskan aku.” Aku menjerit.

Tapi, mereka menganggapku seolah aku ini tidak ada.

“Apa yang sedang kalian lakukan padaku?  Lepaskan aku.”  Aku kembali menjerit dengan suara yang lebih keras.

Namun, tidak ada yang bergeming sedikitpun mendengar suara jeritanku.  Seakan, mereka sudah terbiasa.

“Masukkan dia ke dalam kamarnya.  Ingat!  Kalian harus lebih sering mengawasinya.  Jangan sampai dia kabur lagi.”

Samar-samar, kudengar orang yang sedang memegang benda kecil-yang membuatku kesakitan setengah mampus, berpesan pada semua orang yang berada di ruangan itu.

Lalu, aku tidak ingat lagi.  Kepalaku terasa berat.  Kedua kelopak matanya tidak sanggup kubuka.   Aku tertidur.  Untuk jangka waktu yang cukup lama.


Aku bangun.  Hal pertama yang kulihat.  Putih.  Seluruh ruangan berwarna putih.  Tempat apa ini?  Mengapa aku bisa berada disini?   Sejak kapan aku dikurung di dalam ruangan sempit ini?  Dan sejak kapan mereka mulai menyiksaku dengan benda kecil itu?

Sial!!.  Aku tidak bisa mengingatnya.  Setiap kali aku mencari jawabannya, hanya sakit kepala dasyat yang menghampiriku.  Dan saat hal itu terjadi,  mereka-orang-orang yang juga berpakaian putih secara keseluruhan  akan kembali memegangku dan kejadian tadi kembali berulang.

Sia-sia.   Mencari jawaban akan pertanyaanku hanya akan membuang waktuku.  Kuputuskan untuk tidak berusaha lagi.
Dengan tenaga yang masih tersisa, aku berusaha membangunkan diriku yang sedang berbaring.  Badanku terasa lemas.  Untuk menegakkan badan, butuh waktu yang cukup lama.

 Tik….Tik….Tik…..

Dari luar jendela yang tertutup jerali besi, aku bisa mendengar suara hujan yang mulai membasahi tanah.  Akhirnya hujan datang juga.  Sudah hampir sebulan ini aku merindukan datangnya hujan.
Karna saat hujan datang, dia juga akan datang.

Gadis hujan.  Aku menyebutnya begitu.  Dia hanya akan muncul disaat matahari menghilang entah kemana berganti dengan segumpalan awan hitam yang memulai kegiatan menangisnya.

Ahhhh.  Aku rindu padanya.  Terakhir kali aku bertemu dengannya saat aku masih belum berada di tempat ini.  Saat itu aku baru saja kehilangan kedua orang tuaku karna………

Karna…….Aku tidak bisa mengingatnya.  Aku hanya tahu bahwa mereka tergeletak tidak bergerak di ruang tamu.  Cairan pekat bewarna merah berceceran dimana-mana.  Banyak orang berkata bahwa pemandangan itu sangat mengerikan, tapi tidak bagiku.

Aku menyukai cairan bewarna merah pekat itu.  Keliatan sangat indah dimataku.  Lalu, beberapa orang berseragam datang dan mengikat tanganku dengan besi bulat yang bolong ditengahnya.   Aku dibawa ke sebuah tempat yang dipenuhi puluhan orang berseragam, tapi aku tetap tidak mengerti mengapa mereka kelihatan sangat emosian saat berbicara denganku.

Setiap pertanyaan yang mereka lontarkan, aku hanya bisa menjawab “tidak tahu”, karna aku memang tidak tahu apa yang sudah terjadi.

Disaat aku dibawa keluar dari tempat itu, banyak orang yang berteriak padaku.  Bahkan ada beberapa orang yang melemparku dengan benda-benda keras.  Cahaya terang serta para orang yagn sibuk bertanya segera mengerumuniku.  Tapi. Aku hanya bisa tersenyum dan melambai pa da mereka.

Kini, aku sudah duduk bersampingan dengan gadis hujanku.  Aku bercerita banyak tentang diriku selama berada disini.  Sejak dulu, aku tidak mempunyai teman.  Kata mereka aku aneh.  Tapi, aku tidak mengerti apa yang aneh dariku.  Aku memiliki dua mata, satu hidung, satu mulut, rambut dan segalanya.  Tidak ada yang aneh padaku.

Namun, mereka selalu menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan.  Kadang aku membenci tatapan itu.  Dan mulai saat itu, aku berkenalan dengan gadis hujan.  Setiap kali aku sedang sedih, gembira ataupun ada masalah, aku akan bercerita padanya.  Dia akan sabar menemaniku dan mendengarkan ceritaku.

Hanya satu hal yang tidak kusuka darinya.  Dia suka sekali menghilang bersamaan dengan berhentinya hujan.  Padahal ada kalanya aku belum siap bercerita.

“Apa kau betah disini?” dia bertanya padaku.

Udara mulai terasa dingin dan hujan yang turun semakin lama semakin deras.  Aku memeluk erat diriku.  Aku menggigil kedinginan dengan pakaian putih tipis yang melekat di tubuhku.

“AKu benci tempat ini.  Bisakah kau membawaku keluar dari sini?”

“Saatnya akan tiba.  Kau harus sedikit bersabar.”

Aku tersenyum padanya.  Jika dia sudah berjanji, dia pasti  akan menepatinya.  Seperti waktu dulu, saat aku mengatakan bahwa aku tidak menyukai kedua orang tuaku.  Mereka suka mengurungku di kamar dan tidak membiarkanku keluar rumah.  Dan, hasilnya sekarang aku bebas.  Aku tidak perlu bertemu dengan mereka lagi.

“Tapi, kapan?  Aku tidak suka tempat ini.  Tidak bisakah kau membawaku bersamamu?”

Dia menggeleng pelan, lalu kembali tersenyum padaku.

“Kau harus bersabar.  Aku pasti akan mengeluarkanmu dari sini.”

Dari kejauhan, sekelompok orang berpakaian putih berlari kearahku dan gadis hujan.  Aku hanya bisa menghela nafas berat.

“Mereka sudah datang.  Pasti aku akan kembali dibawa ke ruangan sempit itu dan disiksa dengan benda kecil itu lagi.  Aku membenci mereka.  Tidak mudah bagiku untuk keluar dari ruangan itu.”

Aku merasakan ada tepukan ringan dibahu kananku.

“Kembalilah dulu.  Aku akan menemuimu di waktu hujan berikutnya.”

Saat aku membalikkan kepalaku untuk memandangnya, dia sudah tidak berada disana.  Dia menghilang entah kemana, seperti biasanya.

Kubiarkan sekelompok orang berpakaian putih itu memegang kedua tanganku dengan erat, menariknya ke belakang dan mengikatnya dengan kain bewarna putih.

“Jangan biarkan dia lolos lagi.” Kata salah seorang dari mereka

“Baik, Pak.” Yang lain menjawab serempak

“Dia pasien jiwa yang sangat berbahaya.  Kalian harus berhati-hati dalam menghadapinya.  Hindarkan semua benda tajam dari pandangannya.  Sudah banyak orang yang dibunuhnya.  Kedua orang tuanya, seorang polisi yang menginterogasi dirinya dan seorang pegawas kamar yang baru saja dibunuhnya untuk bisa keluar dari kamar.”

Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka katakan.  Tapi mereka kembali menatapku dengan tatapan itu.  Yang bisa kulakukan hanya tersenyum.

Gadis hujanku akan segera menjemputku.