Tuesday, August 24, 2010

Rasa yang Tertinggal ( FIN )


Di sudut ruangan cafĂ©, di dekat jendela, Dhea dan Angga duduk berhadapan.  Jika diperhatikan dengan seksama semuanya masih sama seperti lima tahun yang lalu.  Saat pertama kali mereka berkencan.
Tempat duduk yang selalu sama setiap kali mereka datang.  Lagu mellow yang selalu menjadi teman setia.  Menu pesanan yang tidak pernah berubah.  Kegiatan masing-masing yang sama monotonnya dengan perputaran bumi mengelilingi matahari.  Namun, ada yang berubah.
Raut wajah mereka tidak lagi terlihat berbinar saat memandangi satu sama lain.  Tidak ada senyuman.  Tidak ada percakapan kecil.  Seakan mereka hanyalah dua orang asing yang duduk bersama di satu meja.  Tidak ada yang tahu dengan pasti, kapan tepatnya perubahan ini terjadi.
“Ga, aku ingin bicara.” seru Dhea memulai pembicaraan.  Tangan kirinya sibuk mengaduk segelas kopi di hadapannya yang masih mengepulkan asap.
“Apa?” balas Angga cuek tanpa menghentikan gerakan jarinya dari ketikan di keyboard laptop.
“Aku tidak suka jika kau mengerjakan sesuatu saat sedang berbicara denganku.” Dhea terlihat mulai kesal dengan sikap Angga yang seakan tidak menghargai keberadaannya.
“Aku juga tidak suka dengan cara bicaramu yang suka membentak.” Tangannya berhenti mengetik, lalu laptop didepannya ditutup dan kini bergeser ke samping.
Dhea menghela nafas, “Aku merindukan masa-masa dulu kita, Ga.  Di saat kita masih bisa bercanda tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak penting.  Setidaknya kita masih berkomunikasi.”
Angga menolehkan kepalanya menatap ke luar jendela.  Telinganya masih mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Dhea.  Hanya saja, dia sudah tidak sanggup lagi untuk menatap ke dalam mata wanita itu.  Ada perasaan bersalah dihatinya.
“Banyak perubahan yang terjadi akhir ini.  Apakah kau menyadarinya?” Dhea melanjutkan, “Kau telah berubah, begitu juga dengan aku.”
“Aku tahu.  Aku juga menyadarinya, hanya saja aku tidak tahu bagaimana membicarakannya denganmu.  Kau tahu, setiap kali kita bertemu, aku selalu sibuk dengan tugasku dan kau selalu sibuk dengan bukumu.” Akhirnya Angga memutuskan untuk angkat bicara.
Memang sudah saatnya bagi mereka untuk bicara dari hati ke hati.  Supaya segalanya menjadi jelas dan tuntas.  Sehingga di kemudian hari tidak ada pihak yang akan terluka lebih dalam.
“Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kalinya kita berbicara lebih dari lima menit.” Ucapan terakhir Dhea lebih terdengar seperti bisikan pada dirinya sendiri.  Dia berhenti mengaduk gelas kopinya dan menyandarkan diri ke belakang sofa sambil melipat kedua tangannya.  Lalu, dia kembali melanjutkan, “Apakah hubungan ini masih bisa disebut hubungan?”
Pertanyaan Dhea sempat membuat Angga tersentak beberapa detik.  Dengan perlahan, dia menatap ke arah Dhea.  Berharap untuk menemukan secercah harapan disana.  Sayangnya harapan itu telah redup.  Kini, dia yakin bahwa cinta telah meninggalkan hatinya tanpa berpamit, “Mungkin sudah saatnya hubungan ini kita akhiri.”
Suasana hening untuk beberapa saat.  Dhea membalas tatapan Angga dengan tatapan tidak percaya.  Namun, dengan segera dia mendapati bahwa sebagian besar hatinya merasa lega saat mendengar perkataan tersebut.  Hatinya yang tercuri telah berpulang pada tempatnya.  Dengan mantap tanpa keraguan sedikitpun dia membalas, “Ya, sudah saatnya kita mengakhiri hubungan ini.”
Keduanya tersenyum lebar satu sama lain.  Ada perasaan aneh yang menyusup diantara relung hati mereka.  Seperti dua ekor burung yang terlepas dari sangkar emas dan siap menempuh hidup baru di luar sana.
Saat cinta pergi, dia selalu meninggalkan jejaknya.  Kenangan indah untuk dikenang.




Sunday, August 22, 2010

Rasa yang Tertinggal - Teaser


“DHEA”

Aku selalu menyukai suasana seperti ini.  Keadaan yang tenang, suasana yang mendukung, background lagu yang mellow dan kamu yang duduk di depanku.  Rasanya dengan semua ini sudah sangatlah cukup untuk membuatku tersenyum seharian.  Seakan kebahagiaan di seluruh dunia sedang berada dalam genggaman tanganku.
Memandangi wajahmu yang serius mengerjakan kesibukanmu sendiri di depan laptop sembari menyeruput secangkir kopi panas mampu membuatku tersenyum tidak jelas.  Entah karna tampangmu yang serius itu terlihat lucu di depan mataku.  Atau aku yang sudah kehilangan kewarasanku.  Dan saat kau mencuri pandang kearahku, walaupun kau mengira aku tidak bakalan mengetahuinya, aku dapat merasakan seakan perutku dipenuhi ribuan kupu-kupu yang sedang menari.  
Apakah ini yang mereka bilang jatuh cinta?  Kalau begitu, aku akui, aku kalah.  Kau sukses telah mencuri hatiku.  Kau yang selalu sibuk dengan laptopmu.  Kau yang jarang berbicara denganku.  Kau yang tidak romantis.  Kau telah menang mencuri pergi hatiku.  Tidak hanya setengah, tetapi seluruh hatiku. 
Dulu, ya, dulu. Aku sangat yakin dengan cinta ini. 
Sekarang.  Aku bimbang. 
Apakah cinta ini masih sama dengan cinta yang kurasakan padamu lima tahun yang lalu?
Aku tidak yakin pada diriku.
               

***



“ANGGA”

Aku tidak pernah bisa mengerti apa yang sedang dipikirkan wanita yang sedang duduk di depanku ini.  Tanpa dia sadari, aku selalu mencuri pandang kearahnya dan mendapati bahwa dia sedang memandang kearahku, sementara kedua tangannya memegang sebuah buku.
Apakah aku yang sedang dia pandangi, atau buku ditangannya yang sedang dia baca?  Pernah terlintas beberapa kali di benakku untuk bertanya padanya, tapi aku takut jika aku bertanya, maka dia tidak akan pernah memandangku dengan tatapan seperti itu lagi.  Dan aku tidak ingin kehilangan pandangan itu.
Mungkin ini kedengarannya lucu.  Tapi, aku sangat menyukai tampangnya yang sedang memandangiku.  Seakan dialah malaikat yang diturunkan dari langit untukku.  Kedua bola matanya yang bening, bibirnya yang mungil serta kedua pipinya yang temben selalu membuatku ingin mencuri pandang kearahnya, walaupun pekerjaan di depan laptopku ini sedang bertumpuk dikejar deadline.
Ada saat dimana mata kami bertemu pada satu titik dengan tidak sengaja.  Dan pada saat itu, irama hati dalam dadaku selalu berdetak tidak karuan.  Apakah ini yang mereka sebut dengan rasanya jatuh cinta?
Kalau begitu, aku telah jatuh cinta padanya.  Aku sangat berharap dia menjadi pelabuhan terakhir dalam hidupku.  Menemani sepanjang hari di sampingku, seperti saat ini.  Walaupun aku selalu sibuk dengan pekerjaan kantorku baik di hari kerja maupun hari libur.  Walaupun kami jarang berbicara satu sama lain, tapi hanya dengan bersamanya, aku merasa puas.    
Tapi, entah sejak kapan getaran cinta itu berhenti.  Dadaku tidak lagi berdetak kencang setiap kali aku menatapnya.  Aku tidak pernah lagi mencuri pandang ke arahnya.  Dan keberadaannya di sampingku sudah tidak penting lagi. 
Seakan cinta telah pergi meninggalkan hati ini.

Thursday, August 19, 2010

Cerita Pada Waktu Hujan - Bagian Kedua (Final)



Sudah hampir setengah jam Selva menunggu sendirian di halte bus.  Hujan yang turun pun tidak lagi memperdulikan dirinya.  Bahkan angin malam menghembuskan dinginnya dengan kejam.  Sesekali Selva menggosokkan sebelah tangannya yang masih bebas ke arah lengan yang lain.  Sementara tangan yang lain memegang payung dengan erat supaya tidak terbang terbawa angin.


Lalu, dikeluarkan ponsel dari dalam saku celana panjangnnya.  Berkali-kali dia menelepon Andre, tapi tidak sekalipun lelaki itu menjawab.  Dan setiap kali Selva mendengar rekaman untuk memintanya meninggalkan pesan, dia mematikan panggilan.


Kamu dimana, Dre?


Selva mendudukkan badannya diatas sebuah bangku panjang bewarna biru di halte bus tersebut.  Tidak ada tanda bahwa dia akan segera pulang ke rumah sebelum bertemu dengan Andre.  Payung bewarna biru muda yang dipegangnya sedari tadi diletakkan di sampingnya.  Kedua lututnya dilipat.  Dan kepalanya ditelengkupkan diantara kedua lututnya.


Sebenarnya Selva tidak ingin menangis.  Namun, ada sesuatu dari dalam dirinya yang mendorongnya untuk menangis.  Perlahan tangisan itu pun semakin keras dan semakin keras.  Dia tahu dia sedang terjerumus ke dalam sebuah lobang yang sangat besar. 


Semua orang ingin menolongnya, tapi tidak dengan dirinya sendiri.  Dirinya merasa lebih nyaman berada di dalam lobang besar nan gelap itu daripada menghadapi kenyataan yang sangat menyakitkan. 


Di ujung jalan seorang wanita berlari kecil dengan memegang sebuah payung.  Sekujur tubuh bagian belakangnya basah akibat percikan hujan sewaktu berlari.  Wanita itu memperlambat langkahnya saat menggapai halte bis. 


“Sel……Selva…..” panggil wanita itu sambil mengguncang badan adiknya.


Selva mendongakkan kepalanya keatas, melihat ke dalam kedua bola mata Dara.  Tidak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan.  Melalui tatapan Selva pada dirinya, Dara bisa merasakan apa yang sedang dirasakan adiknya.  Rasa sakit yang teramat sangat akan kehilangan seseorang yang sangat dicintai.


Ada pemikiran kecil yang menghampiri pikirannya.  Apakah Selva sudah mengingat semuanya?  Apakah Selva sudah tahu bahwa Andre…..


“Bolehkah aku berhenti menemui Dokter Steve?” Selva bertanya secara tiba-tiba dengan semangat sambil menghapus air mata dari kedua pipinya.


Dara tersentak dengan pertanyaan mendadak itu.  Dia tidak mampu mencerna dengan baik maksud di balik pertanyaan itu.  Hingga akhirnya dia hanya berdiri dan terdiam untuk waktu yang cukup.


Melihat tidak ada tanggapan apapun dari kakaknya, Selva kembali melanjutkan, “Aku merasa semakin sering aku menemui Dokter Steve, maka bayangan Andre semakin menjauh dariku.  Mungkin Andre merasa cemburu karna aku sering bertemu dengan Dokter Steve.  Ya, pasti begitu.  Pasti dia sedang cemburu makanya dia tidak menelepon ataupun mencariku.  Dia…..”


Sedikit demi sedikit Dara mulai memahami inti dari perkataan Selva.  Dia mencoba memotong perkataan adiknya sebelum pembicaraan itu berubah menjadi pembicaraan yang tidak masuk akal.  Sudah saatnya untuk mengakhiri sandiwara ini.  Walaupun kenyataan yang akan dia katakan nantinya dapat menyakiti hati Selva.  Baginya lebih baik menyakitinya sekarang daripada membiarkan Selva menyakiti dirinya seumur hidup.


Harapan seorang kakak sangatlah sederhana.  Hanya ingin melihat adiknya tertawa setiap menit, bukan membiarkannya menangis setiap detik.


“Andre sudah mati.” Dengan segala kebulatan tekad dalam hati, Dara memberitahukan kebenaran yang disembunyikan oleh semua orang selama ini,” Dia sudah mati dua bulan yang lalu karna kecelakaan di jalan tol itu.  Kau ingin membohongi dirimu sendiri hingga berapa lama?” tanya Dara yang sudah tidak mampu mengendalikan emosinya, “Aku sudah tidak tahan lagi, Sel.  Kau tahu betapa sakitnya hatiku setiap kali aku melihatmu mencuri menangis setiap malam?  Berlagak seakan Andre masih hidup setiap harinya?  Bercerita tentang dirinya seakan dia masih bersama kita?  Dan setiap kali hujan, kau selalu membawakan payung dan menunggunya di halte bis hingga pagi.  Kenapa harus membohongi dirimu sendiri, padahal jauh di lubuk hatimu yang paling dalam kau tahu Andre sudah meninggal?”


Selva tercengang.  Dia tidak pernah menyangka bahwa kakaknya mampu mengeluarkan kata-kata seperti peluru yang menembus tepat di hulu hatinya.  Dia ingin menyangkal bahwa Andre sudah tiada.  Bahwa semuanya hanyalah kebohongan yang dikarang kakaknya.  Sayangnya, dia tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun.  Karna itulah kebenaran yang sedang ditutupi dirinya sendiri.


Selama ini dia mengarang kebenaran lain untuk menutup kebenaran sejati.  Bahwa Andre selamat dari kecelakan di jalan tol.  Nyawanya berhasil diselamatkan di rumah sakit, padahal kenyataannya Andre meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.


Dia juga selalu menciptakan keadaan dimana Andre masih bersamanya.  Setiap pagi meneleponnya untuk mengucapkan selamat pagi.  Setiap siang tidak pernah lupa mengingatkannya untuk makan siang.  Dan Setiap malam menyanyikan sebuah lagu yang mengantarkannya ke alam mimpi.


Semua itu dilakukan diri Selva hanya untuk mengelabui alam bawah sadarnya bahwa Andre sudah pergi untuk selamanya.  Dia tidak keberatan hidup dalam kebohongan ini seumur hidupnya asalkan Andre selalu bersamanya.


“Sadarlah, Sel.  Andre sudah tiada.  Kakak mohon sadarlah.” Dara mengguncang pelan bahu Selva hingga akhirnya dia memeluk erat diri adiknya yang sedang duduk seperti patung dengan tatapan kosong.


  “Kak…” Selva memanggil Dara dengan suara yang sangat pelan, “Aku rela kehilangan semua hal di dunia ini.  Tapi, aku tidak bisa dan tidak boleh kehilangan Andre.  Tidak boleh, Kak.”


Perlahan setetes demi setetes air mata Selva mengalir dari pelupuk matanya, “Aku rela hidup dalam kebohongan ini.  Sungguh.  Jadi kumohon jangan pernah membangunkanku.  Aku tidak akan sanggup hidup dengan perasaan sesakit ini.  Rasanya lebih baik aku mati daripada harus menghadapi kenyataan itu.”


Dara memperat pelukannya pada Selva.  Mungkin untuk saat ini Selva belum siap untuk keluar dari dunia khayalannya.  Tapi, dia yakin dengan segenap hatinya bahwa suatu saat nanti Selva akan meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan itu dan kembali pada dirinya dan dunia ini.


Hari itu akan segera tiba.           

Wednesday, August 18, 2010

Cerita Pada Waktu Hujan - Bagian Pertama




Ada kalanya seseorang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan.  Saat otak menolak untuk menerima kebenaran yang terlalu kejam, disaat itulah sisi otak yang lain menciptakan suatu khayalan yang diyakini sebagai kebenaran sejati sebagai alibinya. 
Dan jalan keluar dari dunia khayalan itu hanyalah dengan menyadarkan diri sendiri bahwa sudah saatnya untuk bangun.

Hari ini, langit memperlihatkan keangkuhannya dalam kegelapan, tanpa bulan dan bintang sebagai pendamping.  Perlahan, rintikan demi rintikan gerimis mulai menghujani tanah yang masih kering.  Semakin lama rintikan hujan yang turun pun semakin deras.  Sesekali diselangi suara halilintar yang cukup memecahkan telinga.

Di balik jendela kamarnya, Selva duduk termangu memandangi peristiwa alam yang sedang terjadi di luar sana.  Sebagian badannya disandarkan pada sofa berwarna putih yang dibuat khusus di dekat jendela.  Pandangan matanya menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.  Dan hal itu cukup mengganggunya hingga dia belum terlelap pada jam 11 malam.

Ketukan ringan pada pintu kamar, membuyarkan lamunan Selva. 

“Belum tidur, Sel?” tanya Dara, kakak sulung Selva yang berjalan mendekat dan membawakan segelas susu coklat hangat.

“Untukku?” balas Selva tanpa menjawab pertanyaan Dara dan segera meneguk segelas susu coklat itu.

“Tidurlah lebih awal.  Bukankah besok kita ada janji dengan Dokter Steve?”

Selva meletakkan gelas yang sudah kosong di samping meja kaca di dekat sofa, “Mengapa aku harus selalu menemui Dokter Steve itu?  Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu bertanya hal yang aneh, seakan aku ini mengalami kelainan jiwa.  Aku ini masih waras, Kak.  Kenapa mama menyuruh kakak membawaku kesana?  Apa ada yang salah denganku?  Bukankah aku baik-baik saja?” nada bicara Selva berubah menjadi tinggi, bahkan wajahnya sedikit kemerahan karna emosi yagn sedang bergemuruh dalam dadanya.

Dia tidak habis pikir, mengapa beberapa bulan belakangan ini, tepatnya dua minggu ini, setiap dua hari sekali dia harus menemui Dokter Steve, yang pekerjaannya adalah seorang psikiater.  Padahal selama ini dia merasa dia tidak sakit, tidak bertingkah aneh, juga tidak terlihat seperti orang yang sedang mengalami depresi berat.

“Maksud mama dan kakak bukan begitu.  Hanya saja, selama ini kamu terlihat jarang bisa tertidur lelap.  Mungkin setelah berbicara sedikit dengan Dokter Steve, kamu bisa merasakan baikan.  Bukankah kamu sendiri yang bilang, setelah meminum obat dari Dokter Steve, hatimu bisa terasa lebih tenang sebelum tidur?”

Selva terdiam.  Dia tahu, tidak ada gunanya membalas semua perkataan kakaknya ataupun mamanya, jika mamanya juga berada disana.  Mereka akan menggunakan seribu alasan cara untuk menyakinkannya bahwa semua itu demi kebaikkannya.  Namun, jauh di lubuk hatinya, dia merasa ada sesuatu yang aneh.  Ada sesuatu yang sedang ditutupi semua orang, termasuk teman baikknya.

Dan semua itu berlangsung semenjak kecelakaan yang dia lewati dua bulan lalu di jalan tol.  Saat itu dia sedang bersama pacarnya, Andre.  Mereka baru saja pulang dari pesta ulang tahun seorang teman dalam keadaan sedikit mabuk.  Kecepatan mobil mereka di jalan tol cukup tinggi, bahkan pada saat tikungan, mereka tidak mengurangi sedikitpun kecepatannya.  Hingga akhirnya, mereka tidak sempat mengelak saat mobil mereka melaju cepat dan menabrak tikungan trotoar di jalan tol.

Namun, seingat Selva, tidak ada luka serius yang mereka alami.  Hanya beberapa luka ringan di kepala dan tangan.  Mungkin luka Andre lebih parah, kepalanya mengeluarkan darah cukup banyak.  Tapi, setelah dirawat di rumah sakit beberapa hari, luka Andre mulai sembuh dan diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit.

Selva menarik nafas panjang, kembali memalingkan kepalanya menghadap ke arah jendela.  Apakah karna kecelakaan itu, setiap malam, tidurnya selalu tidak tenang dan mengalami mimpi buruk? 

“Sel, tidurlah.  Sudah malam.” bujuk Dara, menarik sebelah lengan Selva dan menuntunnya berjalan ke arah tempat tidur.

Setelah memastikan bahwa Selva sudah meminum obat yang diberikan Dokter Steve dan tertidur lelap, Dara mematikan lampu kamar dan berjalan keluar.  Sesaat sebelum dia menutup pintu kamar, dia bergumam pelan pada dirinya sendiri, “Kakak berharap kamu bisa segera bangun dari mimpi buruk ini.”

***

Baru dua jam Selva terlelap dalam tidurnya yang cukup nyenyak, suara halilintar di luar sana kembali berdendang dengan suara memekakkan telinga.  Gadis mungil itu terloncat bangun dari tidurnya.  Perasaan takut tersirat dengan jelas pada raut wajahnya yang pucat dan jantungnya yang berdetak tidak beraturan.  Beberapa keringat dingin menetes di pundaknya.

Dengan setengah hati, dia menyeret selimut yang menutup seluruh badannya ke samping.  Rasanta jika sudah terbangun seperti ini, dengan sekuat apapun dia mencoba, tidak mungkin baginya untuk kembali terlelap dalam jangka waktu yang dekat.  Dan kembali pada kebiasaannya.  Jika sudah terbangun karna mimpi buruk ataupun suara halilintar, dia akan meringkukkan badannya di atas sofa dekat jendela.  Memandang ke luar jalanan yang basah oleh hujan.  Membiarkan keheningan malam menemaninya.

Sambil bersandar pada kedua lutut yang ditekuknya, Selva mengambil ponsel dari samping meja.  Tidak ada panggilan masuk.  Tidak ada pesan baru di kotak masuk.  Lalu, ponsel itu dilemparkannya dengan kesal ke arah tempat tidur.

Sudah dua minggu ini, Andre tidak memberi kabar.  Bahkan setiap kali ditelepon, yang menjawab hanya kotak suara.  Sudah puluhan pesan Selva kirimkan dan ratusan pesan dia tinggalkan di kotak suara Andre.  Namun, sang pemilik tidak sekalipun membalasnya.

Terakhir kali Selva bertemu Andre, pada saat Andre sedang menunggu bis di halte.  Lelaki itu selalu lupa membawa payung, padahal sekarang ini sedang musim hujan.  Dan setiap kali itu juga, Selva akan membawakan payung dan membiarkan Andre mengantarkannya hingga ke rumah.

Jarak antara rumahnya dan rumah Andre hanya terpaut tiga jalan.  Kadang, jika Andre tidak ada meeting di kantor, dia akan menunggu Selva di halte bis dan bersama-sama pulang ke rumah.  Membicarakan hal-hal sederhana dan tidak penting.  Bercanda tawa dengan segala sesuatu yang mereka temui di sepanjang perjalanan pulang mereka.

Selva mendekap erat kedua lututnya.  Setiap kali dia memikirkan tentang Andre, entah mengapa hatinya seperti ada sedang teriris pisau.  Rasanya sangat menyakitkan.  Hingga dia kesulitan bernafas dan tidak dapat menahan air matanya.  Sebuah perasaan seakan dia tidak dapat bertemu dengan Andre lagi.

Kamu kemana, Dre?  Aku merindukanmu.

***

Beberapa saat kemudian, ponsel yang dilemparkan Selva ke atas tempat tidur berdering.  Gadis itu segera berdiri dan berjalan ke arah tempat tidur untuk melihat siapa yang meneleponnya subuh begini.  Apakah Andre?

Saat melihat nama yang tertera di layar ponsel, Andre, Selva tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya.  Dengan segera dia menjawab panggilan itu.  Rasa kesal dan marah yang disimpannya menguap sudah entah kemana.

“Halo, Dre.  Kamu lagi dimana?” Selva bertanya dengan nada riang sambil menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur.

“Aku lagi di halte bus.  Baru selesai meeting.” Suara Andre yang bass terdengar cukup lelah di seberang sana.  Beberapa kali dia menghela nafas yang panjang dan berat.

“Di halte bus?  Kamu lupa membawa payung lagi?” Selva membangkitkan badannya dan berjalan kembali ke arah jendela. 

Hujan di luar sana masih belum reda.  Malahan semakin deras.  Beberapa kali Halilintar memperlihatkan cahayanya walaupun tidak berseru dengan kuat.  Namun, Selva memiliki perasaan bahwa ini akan menjadi hujan yang panjang.

“Tadi pagi, aku terburu-buru ke kantor.  Bisakah kamu membantu membawakan payung untukku?  Aku mohon.” kini suara di seberang sana terdengar dengan nada memelas.

Selva memutar kedua bola matanya keatas dan kebawah.  Salah satu kebiasaannya jika sedang berpikir.  Malam sudah larut.  Dan jika dia keluar sekarang, pasti akan dimarahi Dara.  Namun, dia tidak peduli.  Rasa rindu yang sedang bergemuruh dalam dadanya memberikan kekuatan berlipat ganda untuk mengantarkan payung pada Andre.  Dan dia sudah bertekad.

“Aku akan segera kesana sekarang.”

Friday, August 13, 2010

Sky Without Stars



If there's no sun in the sky,
the world will keep spinning.

If there's no moon in the sky,
the night will still be wonderful.

If there's no stars in the sky,
It just like the sky lost its identity.

The sky will be okay
without the sun and the moon.

But

The sky will never be the sky
without the stars.

Just like my world without you inside.
It's meaningless.



Wednesday, August 11, 2010

The World Belong to You

Ding...Ding....


When the bell rings
I hold my breath tighlty
Wishing that this netiher a fairy tale nor a dream

Even if I'm in the middle of day dreaming
Never wake me up
Coz I'm dispose to live in the dream world 
as long as you're there.



Sunday, August 8, 2010

Karna Ku Sanggup

Untuk kesekian kalinya, Rara memeluk kedua lututnya.  Menyandarkan kepalanya diatas dan menghela nafas yang panjang.  Perlahan, tetesan bening itu kembali mengalir di kedua pipinya dan membasahi kedua lutut dan baju kemeja putihnya.  Sedetik kemudian, dia memejamkan matanya.  Mencoba untuk menghentikan air mata yang tidak kunjung berhenti.
Rara merasa dirinya sangatlah lelah.  Salah.  Bukan dirinya tapi hatinya.  Dan kelelahan itu sudah terlalu menghinggapinya, hingga dia tidak dapat mengingat bagaimana rasanya tertawa ataupun tersenyum.  Beberapa kali dia mencoba untuk tersenyum pada dirinya sendiri melalui kaca kecil di kamarnya, namun yang ada hanyalah perasaan seperti meminum sirup yang terasa seperti air tawar.  Tidak ada rasa manis, juga tidak ada rasa pahit.
Desahan nafas panjang nan berat kembali terdengar.  Kalinya ini, desahan itu terdengar lebih lama dari yang pertama kali.  Seakan, dia sedang bernegosiasi dengan dirinya sendiri bahwa semua ini sudah cukup. 
Sudah cukup dengan perasaan sakit yang memuakkan ini. 
Sudah cukup dengan tangisan yang hanya membengkakkan matanya.
Sungguh sudah cukup.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Rara membangkitkan dirinya dari ruang tamu menuju dapur.  Sebenarnya, dia tidak merasakan lapar sama sekali, tetapi sudah dua hari ini dia tidak memakan apapun.  Jika diteruskan, tidak baik untuk kesehatannya sendiri.  Selain itu, dia juga membutuhkan tenaga untuk menjalani hari-hari berikutnya.
Saat hendak memasak mie instan, salah satu masakan yang paling dikuasainya, terdengar suara ketukan pintu dari depan.  Rara melirik jam dinding yang tersembunyi di ujung lorong dapur kecilnya.  Sudah jam 10 malam.  Siapa yang akan datang bertamu pada jam segini.  Tidak mungkin kedua orangtuanya.  Jika mereka ingin datang mengunjunginya, pasti akan memberitahu lewat telepon.
Lalu dia teringat sesuatu.  Hal yang paling ingin dilupakannya. Kebiasaan yang tidak ingin diingatnya lagi.  Rara diam membeku.  Tidak tahu harus mengambil tindakan apa.  Membukakan pintu dan mempersilakan tamu itu masuk atau berpura-pura bahwa rumah sedang dalam keadaan kosong.  Tapi, lampu di ruang tamu masih menyala, tidak mungkin tamu itu percaya bahwa rumah sedang ditinggal pemiliknya.
Kepanikan mulai melanda Rara.  Dia tidak ingin menghindar, tapi bertemu juga bukan jalan terbaik.  Ketukan kembali terdengar untuk kedua kalinya.  Kali ini, nafas Rara mulai naik turun tidak beraturan.  Dia mengigit bibirnya dan berjalan mondar mandir.    Bagaimana ini?
“Ra, kau di dalam kan.” terdengar suara bass seorang lelaki yang lebih menyerupai teriakan dari depan pintu, “Buka pintunya, Ra.”
Belum selesai tamu itu berbicara, pintu sudah terbuka.  Dari balik pintu, Rara berdiri mematung.  Dia tidak tahu apa yang sedang merasukinya hingga kedua tangannya begitu berani untuk mengambil tindakan sendiri, membukakan pintu pada orang yang paling tidak ingin ditemuinya.  Setidaknya untuk beberapa saat ini.
“Bagaimana kabarmu?” lelaki itu kembali berbasa basi sambil tersenyum kaku dan mimik mukanya sedang memberitahukan bahwa dia tidak nyaman dengan suasana berbicara sambil berdiri di ambang pintu.
“Masuklah.” Rara menggerakkan kepalanya sedikit ke belakang, sebelah tangannya membiarkan pintu rumahnya terbuka lebih lebar.
“Kau yakin ingin membiarkanku masuk?” lelaki itu bertanya dengan hati-hati.
“Aku yakin banyak yang ingin kau bicarakan, bukan?” Rara balas bertanya, “Jika tidak, untuk apa kau datang.”
“Sebenarnya” lelaki itu berdeham beberapa kali, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.
Beberapa tumpukan undangan bewarna emas tersusun rapi di dalam sebuah tas plastik bewarna bening.  Rara bisa merasakan nafasnya sedang berhenti dan jantungnya berdetak seratus kali lebih cepat dari biasanya.  Dia mengepalkan kedua tangannya, menahan rasa sakit yang sedang menyerang dan mencabik relung hatinya.
 “Ra,” panggil lelaki itu dengan lembut, “Apa kau baik-baik saja?”
Sebuah anggukan cepat dijadikan jawaban untuk membalas pertanyaan lelaki itu, “Jangan khawatir aku baik-baik saja.”
“Sebenarnya semua ini belum terlambat.  Jika kau ingin kita kembali, aku akan kembali padamu dalam detik ini juga.  Dan pernikahan kita tidak perlu dibatalkan.” lelaki itu berusaha menggenggam tangan Rara, namun segera ditepisnya.
“Tidak ada gunanya bagiku untuk mempertahankanmu di sisiku, jika dari pertama kali dihatimu tidak pernah ada tempat untukku.” Rara menatap tajam ke dalam kedua bola mata lelaki itu, “Aku tidak ingin menghabiskan seluruh hidupku dengan seseorang yang tidak pernah mencintaiku.”
“Aku…Aku…” lelaki itu mencoba untuk membela diri, membersihkan diri dari semua tuduhan Rara yang tidak beralasan, tapi dia tidak sanggup, karna memang itulah kenyataannya.
“Tidak usah menjelaskannya padaku.  Aku mengerti.” Rasa perih karna menahan air mata membuat Rara mengepalkan tangannya semakin kuat, “Aku sudah mengerti semuanya, saat aku melihat caramu menatap dan memeluk wanita itu.  Kau sangat mencintainya kan.”
Lelaki itu tidak berani menatap langsung pada mata Rara, bahkan dia lebih memilih untuk diam.  Penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah menyakiti wanita yang hampir menjadi calon istrinya itu.  Jika ingin disalahkan, dari awal dialah yang paling bersalah.  Memberikan sebuah janji yang tidak dapat dipenuhinya.
“Kakakku seorang yang sangat beruntung bisa mendapatkan seorang suami yang begitu baik dan pengertian sepertimu.  Sayangnya, aku tidak seberuntung kakakku.” Sebuah senyuman dipaksakan Rara untuk menghiasi wajahnya yang hampir kehilangan kendali untuk menahan air mata, “Jangan mengorbankan kebahagiaanmu hanya demi janjimu pada kakakku sebelum dia meninggal.  Selama empat tahun ini, aku sungguh berterima kasih padamu.  Kau sudah menjagaku, selalu berada di sampingku, selalu mendengar keluh kesahku yang tidak penting hingga ketiduran.  Aku sungguh bahagia bisa melewati hari-hari itu denganmu.”
Detik itu juga, Rara kehilangan pertahanan dirinya untuk tidak menangis.  Airmata tidak berhentinya mengalir di kedua pipinya yang kini kemerah-merahan akibat menahan tangisan.  Lelaki itu juga sudah tidak sanggup untuk tidak memeluk Rara, menyuruhnya jangan menangis lagi dan menenangkannya dalam pelukan hangat seperti yang biasa dia lakukan jika Rara sedang bersedih.
“Mungkin aku tidak pernah mencintaimu, tapi kau tahu dengan pasti aku sangat menyayangimu melebihi siapapun di dunia ini termasuk kakakmu.” Lelaki itu berbisik diantara helaian rambut yang menutupi telinga Rara.
“Jika kau memang begitu menyayangiku, pergilah.  Tinggalkan aku sendiri dan jangan pernah kembali lagi.  Karna aku sanggup tanpamu.”

***
Empat tahun yang lalu,

Di sebuah kamar rumah sakit, seorang wanita dengan kepala ditutupi topi hasil rajutan tangan, terbaring lemas.  Wajahnya terlihat pucat dan badannya kurus ceking.  Di sampingnya berdiri seorang gadis berumur sekitar 19 tahun dan seorang dokter muda yang ahli dalam penyakit kanker, terutama kanker otak.
“Ra, kakak haus.  Bisa tolong belikan teh hangat di kantin bawah?” pinta wanita itu dengan lembut sambil tersenyum.
Rara mengangguk cepat dan segera berlari keluar dari ruangan.  Beberapa detik kemudian, wanita itu menggenggam tangan dokter yang sedang membelai lembut kepalanya, “Aryo, kau tahu dengan pasti bahwa aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi.”
Aryo menggelengkan kepalanya, “Jangan berkata seperti itu.  Kau akan sembuh dan kita akan memiliki banyak anak dan menjadi sebuah keluarga yang sangat berbahagia.”
“Kau seorang dokter, seharusnya kau tahu dengan pasti bagaimana kondisiku.  Semakin hari tubuhku semakin lemah.  Aku tidak sekuat yang kau pikirkan, Yo.” wanita itu mengambil nafas sejenak kemudian melanjutkan,”Sebelum aku pergi, berjanjilah padaku bahwa kau akan menjaga Rara seperti kau menjagaku.”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Aryo.  Dokter itu hanya terdiam dan membelai lembut kepala istrinya berulang kali.
“Aryo.” seru wanita itu, “Berjanjilah padaku.  Kau akan menjaga Rara seumur hidupmu. Sebagai seorang kakak, aku bisa merasakan bahwa dia juga menaruh perasaan yang lebih padamu, bukan hanya sekedar perasaan adik pada abang ipar.”
Aryo tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menjawab.  Dia merasa permintaan istrinya terlalu berlebihan dan tidak mungkin untuk dilakukannya.
“Jika kau berjanji, maka aku akan bersedia untuk mendonorkan jantungku pada Lea.  Aku pernah melakukan tes darah dan jantungku cocok untuk dicangkokkan pada Lea.”
Mendengar nama Lea, Aryo mematung.  Tangannya berhenti membelai kepala istrinya dan pandangannya segera dialihkan pada titik lain, “Jangan membahas tentang dia lagi.”
“Kau masih mencintainya, kan.  Bahkan setelah kau menikah denganku, kau tetap mencintainya.”
“Jangan berbicara sembarangan.” Bentak Aryo.
“Aku tidak berbicara sembarangan.   Memang itu kenyataannya.  Bahkan cintamu padanya melebihi cintamu padaku.”
Tiba-tiba wanita itu batuk tidak henti-hentinya karna terlalu emosi dalam berbicara.  Aryo membantunya menuangkan segelas air putih dan mengelus punggungnya untuk tidak tersedak sewaktu meminumnya, “Istirahatlah.  Kau sudah menguras banyak tenaga hari ini.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya, “Berjanji padaku dulu.”
Aryo menghela nafas, “Aku tidak mengerti.  Mengapa aku bisa menikahi seorang istri yang segitu keras kepalnya sepertimu.”
“Ayo, berjanjilah padaku.” rengek wanita itu sambil menarik lengan baju Aryo.
“Baiklah.  Aku berjanji padamu akan menjaga Rara seumur hidupku.  Apakah kau bahagia sekarang?”
“Sangat.”



Saturday, August 7, 2010

Cerita Pendek



Kenangan demi kenangan kembali menari dengan bebas diantara pikirannya.  Hatinya yang tadinya serasa plong kini terasa sesak.  Hingga setiap tarikan nafas bertambah berat dan semakin berat.  Pada satu titik, dia sudah tidak dapat menahannya.  Dia menutup kedua telinga.  memusatkan pikirannya supaya berusaha menghapus kenangan yang sudah tidak berarti baginya.  Sementara hatinya berusaha untuk menstabilkan detak jantung dan mulutnya berkomat kamit tidak jelas.

Menghasilkan kenangan yang indah maupun pahit memang tidak sulit.  Menyimpannya bahkan menjadi bagian yang termudah dalam hidup, tapi disaat kenangan mulai menyebabkan rasa sakit dan ingin segera dilupakan.  Rasanya seperti menunggu air melunakkan batu.  Butuh waktu dan penantian yang membuat diri patah semangat.

"Aku akan baik-baik saja." dia berbisik pada dirinya sendiri, sementara kedua tangannya masih menutup kedua telinganya.

Perlahan, kenangan itu berhenti menari.  Seakan mendapat perintah, mereka kembali ke tempat semula.  Di salah satu sudut paling kelabu dan sempit yang berada di bagian paling ujung di sisi hati yang dingin.

Friday, August 6, 2010

Dunia Kita


Hingga saat ini
Setiap kali kamu berdiri di sampingku
Aku masih dapat merasakan
Seberapa kencangnya hati ini berdegup.

Bukan hanya sekali
ataupun dua kali
Rasanya selalu dan mungkin akan selalu begitu
untuk selamanya

Begitu banyak hal di dunia ini
yang sanggup kuberbagi dengan siapapun
Termasuk dengan kebahagiaanku
Aku bersedia

Tapi, saat dunia memintaku 
berbagi dengannya atas dirimu
Aku menolak

Kau terlalu berharga dalam hidupku
dan aku tidak akan membagimu 
dengan siapapun termasuk dunia.
Hanya diriku


P.S : Photo credit goes to Freddie. S. Samuel.  Check his FB and find out more photos that will amaze you!!  http://www.facebook.com/album.php?aid=32808&id=1682570739