Wednesday, December 23, 2009

Mama

Telepon yang berada di sudut meja-berwarna putih-berdering untuk kesekian kalinya.  Tidak ada yang menjawab.  Sang penelepon kelihatan sangatlah bersabar berharap akan ada seseorang yang menjawab panggilan itu.

Telepon itu berdering.  Sekali.  Dua kali.  Tiga kali.

Lalu berhenti sebentar.  Hening.  Kemudian deringan telepon kembali terdengar.
Kali ini sang penelepon menunggu nada panggilan lebih lama.  Di setiap panggilannya, selalu tersirat harapan bahwa akan ada yang menerima panggilan tersebut.  Waktunya sudah tidak banyak.  Namun, pada akhirnya yang terdengar hanyalah suara voicemail.

“Hello.  Ini Jean.  Sekarang saya sedang meeting.  Kalau ada masalah yagn penting silakan tinggalkan pesan.”
Setiap kali sang penelepon melakukan panggilan, hanya jawaban ini yang diterimanya.  Setelah menghela nafas beberapa kali, sang penelepon akhirnya menyerah.  Mungkin lebih baik meninggalkan pesan daripada tidak ada pesan sama sekali.

“Nona Jean.  Ini suster Shila, yang mengurus ibu anda di panti jompo.  Keadaan ibu anda sedang memburuk belakang ini.  Ada baiknya jika anda segera datang kemari dan mengunjungi.  Bukankah sudah lama anda tidak datang mengunjungi ibu anda.  Maafkan kelancangan saya.  Hanya saja saya merasa tidak tega setiap kali ibu anda bertanya kenapa tidak ada yang menjenguknya, sementara teman sekamaranya selalu ramai dikunjungi keluarganya.  Sekian pesan saya.”

Terdengar nada.  Tut…..tut……
Panggilan diputuskan.

Dengan langkah tergesa-gesa, jean keluar dari ruang meeting.  Keduanya bola matanya mendelik geram.  Warna pipinya yang biasanya putih sudah berubah warna menjadi buah tomat yang siap panen.  Sesampainya dia di ruangannya sendiri, dengan kepalan di tangan kanannya, dia memukul meja dengan kuatnya.

“Sialan.  Apa hak mereka menolak proyek yang kuusulkan.”
Barusan, di ruang meeting, proposal proyek pembangunan hotel yang diusulkannya ditolak oleh dewan direksi.  Alasannya, keuntungan yang didapat dari pembangunan hotel itu masih kalah dari proposal proyek yang diusulkan Johan, teman sekantornya.

Jean menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya.  Dia merasa otaknya sudah hampir berhamburan keluar.  Maka dia memutuskan untuk mengistirahatkan mata dan pikirannya sejenak.
Tidak lama kemudian, dia kembali membuka matanya.  Dia sudah memutuskan untuk mengambil cuti.

Segera dibereskan dokumen yang berserakan di mejanya dan beranjak keluar.
Sebelum keluar dari ruangannya, dia tidak lupa untuk mematikan ponselnya.  Dia butuh ketenangan selama cutinya.

Dua hari kemudian, Jean kembali ke kantor dengan wajah yang segar.  Sesaat setelah membaca beberapa dokumen yang harus ditandatanganinya, dia kembali menghidupkan ponselnya.  Dia sudah menyangka bahwa pasti banyak pesan yang terdapat di inboxnya, sehabis cutinya.   Misalnya dari pacarnya, Dimas, yang khawatir dengan hilangnya dia selama dua hari ini.  

Teman baikknya Sonia, yang sibuk mengajaknya makan siang bersama.  Pak Johan, Kepala Manager yang marah besar disebabkan oleh surat cuti mendadak dari dirinya.   Namun, yang tidak disangkanya adalah pesan dari suster Shila.

Maka pesan pertama yang didengarnya adalah pesan tersebut.
Selesai mendengar pesan yang disampaikan suster Shila, Jean segera berangkat ke panti jompo untuk menemui mamanya.

Ya.  Sudah lama dia tidak mengunjungi wanita yang sangat disayanginya itu.  Sudah hampir dua tahun tepatnya.  Semenjak dia naik jabatan menjadi manager di perusahan tempat dia bekerja, Jean sudah hampir tidak punya waktu luang untuk dirinya sendiri.

Maka tidak heran, jika dia tidak mempunyai waktu untuk mengunjungi mamanya.  Setiap kali dia berencana menjenguk, pastilah ada saja halangannya.
Kadang Sonia mengajaknya hunting pakaian baru di butik langganan.  Kadang Dimas mengajak ketemuan.  Kadang dia harus bertemu dengan para klien dari perusahaan lain untuk membicarakan proyek yang ditanganinya.

Maka rencana untuk menjenguk mamanya selalu tertunda dan tertunda.


Hanya butuh waktu dua jam bagi Jean untuk mencapai panti jompo tempat mamanya dirawat.  Setelah mendengar pesan suster Shila, dia memutuskan untuk meminta izin pulang lebih cepat dan mengunjungi mamanya.

Awalnya Pak Johan marah besar.  Belum mendengar penjelasan tentang surat cuti yang mendadak, sekarang Jean malah berani minta izin pulang lebih awal.  Tetapi, setelah mendengarkan penjelasan dari bawahannya tersebut, Pak Johan akhirnya mengerti dan mengijinkan Jean.

“Nona Jean.” Panggilan seorang suster dari arah samping

“Suster Anna.” Jean membalas sambil tersenyum

“Sudah lama anda tidak kemari.”

“Iya.  Belakangan ini saya sedang sibuk dengan urusan kantor, makanya tidak bisa datang kemari. “ Jean menunjukkan ekpresi sedihnya lalu kembali melanjutkan, “Tadi saya mendapat pesan dari suster Shila.
Bagaimana keadaan mama?  Apakah dia baik-baik saja?”

Seketika itu juga, wajah suster Anna berubah menjadi pucat.  Dengan terbata-bata, dia mencoba untuk mengatakan apa yang sudah terjadi.

“Keadaan mama anda sedang kritis.  Dua hari yang lalu dia tidak sadarkan diri.  Dan sekarang dia sedang dirawat dikamarnya.  Saya rasa sebaiknya anda cepat menemuinya.   Saya takut waktunya sudah tidak banyak lagi.”

Nafas Jean terenggah-enggah saat mencapai kamar mamanya yang  berada di lantai dua.  Kedua tangannya gemetaran sewaktu memegang pegangan  pintu  tersebut.  Dengan perlahan dia memutar pegangan tersebut dan mendorongnya ke belakang dengan sangat pelan, seakan pintu itu akan roboh jika dibuka dengan sekali dorongan.

Dia mencuri pandangan ke dalam kamar tersebut, sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam.

“Anda sudah datang.” Sapa suster Shila yang sedang sibuk menyuntikkan cairan ke dalam selang infus mama Jean

“Bagaimana kabar mama?”
Suster Shila menggeleng dengan lemas, “Sebaiknya anda mempergunakan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya.  Dia sudah menunggu anda.”

Jean mengambil duduk di samping tempat tidur mamanya.  Dielusnya rambut serta wajah mamanya yang terlihat pucat, tua dan tak berseri seperti dulu.

“Mama.  Ini Jean, Ma.” Panggilnya lembut, tidak sanggup untuk tidak menitikkan air matanya

“Ma…..”panggilnya lagi.
Namun wanita tua itu tidak bergerak maupun bersuara.  Dia tetap terbaring kaku dan pucat dengan posisi yang sama.

“Maafkan Jean, Ma.  Selama ini Jean jarang menjenguk mama.”

Tetap tidak ada sahutan dari mamanya.  Dengan pelan dia menyandarkan kepalanya di bahu mamanya.

“Bagaimana kabar mama belakangan ini?  Kalau Jean baik saja , Ma.” Sambil menutup mata, dia melanjutkan, “ Sekarang Jean sudah naik jabatan menjadi manager.  Jean juga sudah mempunyai seorang pacar bernama Dimas.  Dia orangnya baik dan sangat menyayangi Jean.  Kami bertemu setahun yang lalu saat Jean sedang menangani proyek pembangunan di Kalimantan.  Mama pasti penasaran dengan Dimas kan?  Lain kali Jean perkenalkan ke mama ya.”

Lalu dia berhenti berkata.  Suasana menjadi sangat hening dan tenang.  Dengan waktu yang tersisa, dia berusaha untuk merekan semua kenangan akan dirinya dan mamanya di saat-saat terakhir.  Dia memiliki firasat, jika dia berjalan keluar dari kamar ini, maka kemungkinan besar, dia tidak akan bisa bertemu dengan mamanya lagi.

Dihapusnya air mata yang sedang mengalir deras di kedua pipinya.  Lalu dia mendekatkan dirinya dan mencium kedua pipi mamanya.  Dipeluknya mamanya dengan erat, seakan itulah pelukan terakhirnya.

“Aku sayang mama.”  bisiknya di dekat telinga mamanya

Seiring dengan keluarnya Jean dari kamar tersebut, bersamaan dengan itu juga, dengan perlahan air mata jatuh dari samping mata mamanya .

Tanggal 22 Desember.  Disaat seluruh dunia sedang merayakan hari ibu dengan mama masing-masing.  Sebaliknya, Jean harus merayakan hari kematian mamanya.

Satu jam setelah dia meninggalkan panti jompo, mamanya pun menghembuskan nafas terakhirnya.  Semua suster yang bekerja dip anti jompo tersebut datang melayat.  Beberapa dari mereka yang lebih dekat dengan mama Jean, datang dengan mama yang membengkak dan merah.  Jean tahu bahwa mereka juga merasa kehilangan seperti rasa kehilangannya yang amat sangat.

Di depan batu nisan mamanya, Jean berdiri berjam-jam.  Menyesali setiap detik waktu yang dia sia-siakan dengan mamanya.  Dia menyesal.
Mengapa dia tidak menghabiskan lebih banyak waktu bersama mamanya.
Mengapa dia tidak mengurus mamanya sendiri.
Mengapa dia bisa menyetujui keinginan mamanya untuk tinggal dip anti jompo.
Pertanyaan –pertanyaan it uterus menggerogoti pikirannya.

“Nona Jean.” Sebuah tepukan ringan di bahu, sempat membuat Jean tersentak

“Ini surat yang nyonya Jilda tulis.  Katanya, jika beliau sudah tidak ada, saya baru boleh menyerahkan surat ini pada anda.”

Masih dengan tangan gemetar dan air mata yang mengalir, Jean mengambil surat itu dari tangan suster Shila.

“Terima kasih.”
Suara serak itu dibalas dengan anggukan kepala.

Jean membuka amplop berwarna putih itu dengan cepat.  Dia ingin tahu apa yang disampaikan mamanya dalam surat tersebut.

Jean, anakku sayang.  Bagaimana kabarmu?  Apakah sehat?  Apakah bahagia?  Mama berharap kamu akan selalu sehat dan bahagia.
Apakah kamu sedang menangis sekarang?  Jangan menangis, anak bodoh.  Mama tidak akan pernah meninggalkanmu.  Hanya saja, sekarang mama akan mengawasimu, menjagamu dari atas sana.  Jika kamu rindu pada mama, kamu cukup melihat keatas, dan kamu akan bisa melihat mama.
Jean anak yang pintar dan penurut kan?  Jangan menangis lagi.  Dengarkan kata mama.  Melihatmu menangis hanya akan membuat mama bertambah sedih.
Mama masih ingat, dulu sewaktu kamu masih kecil, sekeras apapun mama memukulmu, kamu tidak pernah menangis.  Tapi, jika mama berkata mama tidak akan menyayangimu lagi, maka kamu akan menangis dengan kerasnya.
Sungguh lucu, jika mama mengingatnya kembali.
Semalam, mama melihat teman sekamar mama, tante Dian, dikunjungi seluruh keluarganya.  Tante Dian juga memperkenalkan anak dan cucunya pada mama.  
Mama jadi teringat pada dirimu, Jean.  Kapan kamu memiliki pacar?  Kapan kamu akan menikah?  Usiamu sudah tidak mudah lagi.  Mama ingin melihatmu memakai gaun pengantin.  Mama ingin melihat cucu pertama mama.  Hanya saja mama tidak tahu apakah mama bisa bertahan hingga hari itu. 
Kata dokter yang biasa memeriksa mama, mama terkena penyakit Alzameir.  Kata dokter, itu penyakit lupa yang sering diidap orang tua.  Mama jadi takut, bagaimana jika mama tidak bisa mengingat wajahmu lagi?  Bagaimana jika mama tidak bisa mengenalimu lagi?  
Mama harus bagaimana?  Mama sangat takut, Jean.  Sangat takut.  Maka setiap malam,sebelum dan sesudah bangun, mama akan memandangi  foto wajahmu.  Berharap bahwa wajahmu akan selalu mama ingat.  Karna mama sangat menyayangimu, Jean.
Saat menulis surat ini, mama terus bertanya pada diri mama sendiri. “ Apa yang sedang kamu lakukan saat ini, sayang?  Apakah kamu tidak rindu pada mama?  Mengapa kamu tidak pernah datang menjenguk mama?”
 Setiap kali mama menyuruh suster shila meneleponmu, jawaban yang mama terima hanya sibuk dan sibuk.  Apa kamu sesibuk itu, Jean?  Mama hanya ingin mengatakan bahwa mama rindu padamu.  Mama ingin mendengar suaramu.  Mama ingin tahu apakah kamu makan tepat waktu atau tidak.  Apakah kamu cukup tidur apa tidak.  Tapi, tidak apa-apa.
Dengan mengetahui kamu sibuk saja, mama sudah merasa cukup puas.  Itu berarti kamu baik-baik saja.
Mama berharap saat kamu membaca surat ini, saat mama sudah tidak bisa di sampingmu lagi, kamu bisa tetap tegar.  Kamu bisa berjanji pada mama kan?
Mama menyayangimu, Jean.

Wednesday, December 2, 2009

Malaikat Kematian

Aku melihatnya.
Dia yang sangat ditakutkan oleh orang.
Dia yang sangat tidak ingin ditemui oleh orang.
Dia yang sangat dibenci oleh orang.
Disini.  Di rumah sakit ini.  Di kamar ini.  Di tempat tidur ini.  Di mata ini.
Akhirnya.  Aku melihatnya juga.
Akhirnya.  Dia datang untukku. 


Disana.  


Tepat disebelah pintu kamarku.   Dia berdiri.  Dengan memakai jaket  bewarna hitam yang terjuntai hingga menutupi kakinya.   Matanya tertuju  ke dalam ruangan kamarku.  Walaupun ada banyak orang yang sedang mengelilingiku, tapi aku tahu pandangannya hanya tertuju padaku. 
Hanya padaku.  Bukan pada yang lain.
Karna alasan kedatangannya hanyalah demi diriku. 
Dengan perlahan, dia melangkahkan kakinya, memasuki ruangan kamarku.  Langkahnya terdengar tegas dan mantap.


Tap.  Tap.  Tap.  Tap.


Dengan suara langkah kaki seperti itu, dia berjalan hingga dirinya kini berdiri tepat di samping tempat tidurku.  Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa takut padanya.  Aku tidak ingin melihatnya.  Aku tidak ingin bertemu dengannya.  Aku ingin dia pergi dari kamarku.
Tapi.  Semua itu tidak mungkin.  Karna dia tidak akan pergi dari sini, sebelum tugasnya dilaksanakan. 


“Kau tahu.  Sekarang sudah waktunya.” Dia menatapku dengan kedua bola matanya yang jernih tapi memberi kesan menakutkan


“Tidak bisakah kau memberiku sedikit waktu lagi?” Aku memohon dengan suara serak yang hampir tidak terdengar


“Maaf, tapi aku tidak bisa.”


“Aku mohon, berilah aku sedikit waktu lagi.  Satu tahun.  Tidak.  Satu bulan.  Tidak.  Satu minggu.  Tidak.  
Satu hari.  Aku mohon.  Berilah aku waktu lagi.”


Aku memohon dengan hati yang tulus, berharap, dia akan mengabulkan permohonanku.


“Kau tahu maksud kedatanganku?”


Aku mengangguk pelan, sambil meneteskan air mata.
“Dan kau tahu bahwa aku tidak akan pergi dari sini sebelum aku menjalankan tugasku.”


Aku kembali mengangguk.


“Jadi, tidak ada gunanya kau memohon padaku, karna sekarang sudah saatnya.”


“Satu jam.  Aku mohon.  Berilah aku waktu satu jam.  Setelah itu, aku akan mendengarkan semua perkataanmu.”


Dia tidak segera menjawab.  Dia memutar bola matanya ke atas dan kebawah sebelum akhirnya dia menjawab, “Baiklah.  Hanya satu jam.  Tidak Lebih.”


“Terima kasih.  Terima kasih.”


Aku terus mengucapkan kata-kata itu berulang kali, hingga aku tidak menyadari bahwa dia sudah kembali ke tempatnya.  


Disana.  Tempat semulanya.  Di samping pintu kamarku.
Dan, dia kembali menatapku dengan tatapan dingin miliknya, seakan ingin memberitahuku bahwa, dia akan berada disana dan menungguku.


Aku mengalihkan pandanganku darinya  ke arah kedua orangtuaku dan keluarga besarku.  Dengan sekuat tenaga, aku berusaha mendudukkan badanku yang sangat lemah ke belakang.  Kedua orangtuaku yang melihat hal itu segera membantuku.


“Apa kau haus?  Apa kau lapar?  Apa kau ingin ke kamar mandi?  Apa kau perlu sesuatu?”
Mereka mengerumuniku dengan pertanyaan yang sama selama sebulan belakangan ini, setiap kali aku mendudukkan badanku.  Biasanya aku akan meminta makan dan minum.  Namun kali ini tidak.  Aku tidak ingin meminta itu semua.


“Aku hanya ingin bicara.”
Semuanya berdiri mendekat ke samping kiri dan kanan tepi ranjangku.  Mereka menunggu akan apa yang hendak aku bicarakan.  Lebih tepatnya, apa yang ingin aku sampaikan.


“Aku……….Aku………”
Mengapa rasanya sangat susah untuk mengucapkan kata itu?  Mengapa rasanya hatiku sedang ikut menangis bersama dengan kedua bola mataku?
Semua yang berada di ruangan kamarku terkejut melihat diriku yang menangis dengan tiba-tiba.


“Ada apa sayang?  Apa yang ingin kau katakan” dengan lembut mama membelai  rambutku 
Aku berusaha mengendalikan perasaan dan emosiku.  Tidak banyak waktu yang tersisa. 


“Aku mencintai kalian semua. “ akhirnya kata itu terucapkan juga, sebelum semuanya membalas, dengan buru-buru, aku kembali melanjutkan, “Aku tahu, waktuku sudah tidak banyak lagi.  Bila……bila suatu saat nanti, aku pergi.  Pergi jauh dan  meninggalkan kalian semua, aku ingin memohon satu hal.  Dan aku berharap kalian bisa mengabulkan permohonan terakhirku.  Bisakah kalian berjanji padaku.”


Ada beberapa dari mereka menganggukkan kepalanya.  Sedangkan yang lain berkata, “Ya” atau, “Baiklah.”
Aku tersenyum lega dan kembali melanjutkan kalimatku yang belum selesai, “Aku ingin kalian mengantarku dengan senyuman, bukan tangisan.”


Kedua orang tuaku ingin memprotes dengan apa yang sedang kubicarakan.  Aku tahu mereka ingin mengatakan bahwa aku akan segera sembuh dan berkumpul dengan semuanya, tapi aku tidak ingin mereka melarikan diri seperti apa yang sedang coba kulakukan sekarang. 


Karna waktuku sudah tidak banyak lagi.


“Kalian sudah berjanji.” Aku menegaskan, sebelum kubiarkan mereka membantuku membaringkan badanku kembali


Dia kembali berjalan ke arahku.  Berdiri di tepi tempat tidurku, diantara kerumunan keluarga besarku.


“Sudah waktunya.  Apa kau sudah siap?” 


Aku menganggukkan kepalaku, “Aku sudah siap.”


“Mari kita pergi sekarang.” Dia menjulurkan tangannya untuk meraih salah satu tanganku dan mengenggamnya dengan erat.


Sudah waktunya.  Aku tidak dapat melarikan diri lagi.  Dia sudah mendapatkan dirinya.  Tidak ada waktu yang tersisa lagi.


Dalam genggaman tangannya yang dingin, aku berjalan mengikuti dirinya yang sedang membimbingku berjalan ke dalam suatu lingkaran lubang hitam.


Sebelum sempat aku melangkah ke dalam lubang itu, aku kembali bertanya, “Bagaimana aku harus memanggilmu?”


Dia berbalik menghadapku, menarik nafas yang panjang dan mengeluarkan sayap-sayapnya yang bewarna hitam.


“Kau bisa memanggilku malaikat kematian.”