Thursday, February 17, 2011

The Story That Only I Didn't Know

Di luar sana, angin berhembus cukup kencang.  Spanduk-spanduk yang terpampang di jalanan terus berkibar sembarangan.  Dari kejauhan, terlihat seakan sedang melambai ke arah para pejalan kaki yang sedang mempercepat langkah mereka. 
Sebentar lagi, kedudukan musim gugur akan tergantikan oleh kedatangan musim dingin.  Walaupun masih berada diantara peralihan musim, namun angin yang bertamu cukup dingin di malam harinya.
Yan Er mengeluarkan sebuah syal dari tas selempangnya.  Tanpa membuang waktu, dengan cekat, dia melilitkan syal itu ke lehernya.  Hari sudah semakin malam.  Jika dia tidak segera pulang, mungkin saja tubuhnya tidak akan mampu menahan udara dingin di malam hari. 
Seandainya saja dia tidak lupa mengambil jaketnya sewaktu berangkat kerja, mungkin sekarang ini dia masih bisa berjalan santai.  Sesekali berhenti sejenak.  Mengamati semburat percampuran warna jingga, putih yang segera diliputi malam yang mulai memanggil.
Sejenak, Yan Er mendongakkan wajahnya ke atas.  Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya.  Seketika itu juga beberapa memori bergantian memenuhi isi kepalanya.  Itulah saat-saat bahagianya.
Beberapa detik kemudian, dia tersadar dari lamunannya.  Sesaat sebelum menurunkan pandangannya, dia kembali melihat matahari yang sudah tidak tampak lagi.  Meninggalkan beberapa guratan cahaya yang akan segera menghilang.  Dengan perasaan bahagia yang memenuhi relung hatinya, Yan Er meneruskan kembali langkah kakinya. 
Apakah dia akan menyukai kejutan yang akan kuberikan?
Pikiran itu yang menemani Yan Er sepanjang perjalanan pulang.


Hanya dalam waktu sejam, Yan Er sudah selesai menata segala sesuatunya.  Khusus untuk hari ini, dia sudah menghabiskan seminggu waktu persiapan.  Membeli segala keperluan.  Merancang kejutan yang akan diberikan.  Serta memilih hadiah yang disukai orang itu.  Seseorang yang memiliki ruang special di tengah hatinya.  Seseorang yang bernama Hao Feng.
Di atas meja makan berbentuk persegi yang dihiasi taplak putih berrenda, Yan Er meletakkan sebuah kue ulang tahun hasil buatannya di tengah.  Lalu di sebelah kanan dan kiri diletakkan sebuah piring lengkap dengan gelas wine dan peralatan makan lainnya.
Sembari berdendang dengan riang, dia kembali menatap hasil tataannya.  Sesekali menggeser segala sesuatu yang dilihatnya masih belum pas.  Tidak lama kemudian, bunyi alarm terdengar dari arah dapur. 
Setengah berlari, Yan Er memasuki dapur.  Menambahkan beberapa bumbu ke dalam masakannya.  Lalu mencicipinya dengan sendok kecil.  Setelah merasa rasa masakannya sudah pas, dia kembali menutupnya dengan penutup makanan.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam, namun Hao Feng masih belum mengabarinya.  Yan Er tidak ingin berpikiran buruk di hari special ini.  Mungkin dia sedang merampungkan rapatnya.
Setidaknya itulah jawaban seseorang tersebut, saat Yan Er meneleponnya.  Kini, wanita berambut sebahu itu membaringkan dirinya di atas sofa sejenak.  Tubuhnya terasa cukup lelah.  Sebagian diakibatkan pekerjaan yang menupuk di meja kerjanya.  Sebagian dikarenakan persiapan yang dilakukannya sepulang kerja.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.  Ada sesuatu yang lupa dibelinya.  Dengan segera dia mengambil mantelnya dan berlari keluar rumah.


Dengan sebuah tas plastik bergelantungan di salah satu pergelangan tangannya, Yan Er melakukan panggilan.  Namun, tidak ada yang menjawab.  Sekali lagi dia melakukan panggilan, tapi hasilnya tetap saja sama.  Tidak ada yang menjawab.
Hatinya mulai tidak tenang, tapi segala pikiran buruk segera dihilangkannya. 
Dia bukan orang yang tidak menepati janjinya, Yan Er menekankan kalimat itu berkali-kali pada dirinya sendiri.  Dengan sedikit terpaksa, dia tersenyum pada dirinya sendiri.  Berkata pada hati kecilnya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kali ini, dia tidak mempercepat langkahnya.  Dengan harapan bahwa saat dia pulang nanti, Hao Feng sudah berada di dalam rumah dan menyambutnya dengan sebuah pelukan hangat.
Kembali lagi, Yan Er melirik jam tangannya.  Sudah jam 9 malam.  Tidak biasanya Hao Feng rapat hingga selarut.  Hanya pada setiap akhir bulan saja, tunangannya itu mengikuti rapat hingga larut malam.  Dan hari ini jelas bukan akhir bulan.
Dikeluarkannya lagi ponsel dari dalam saku mantel dan kembali melakukan panggilan.  Kali ini bukan hanya tidak dijawab, melainkan ditolak.  Entah mengapa, hati Yan Er semakin tidak tenang.  Apakah benar Hao Feng sedang berada di tengah rapat?
Di seberang jalan, samar-samar Yan Er melihat seseorang yang memiliki wajah mirip dengan Hao Feng.  Namun, orang itu tidak sendirian.  Dia berjalan memasuki sebuah restaurant kawasan elit dengan seorang wanita yang sedang menggandeng lengannya.
Dengan rasa penasaran untuk mencari tahu kebenarannya, Yan Er menyeberang jalan.  Berusaha memastikan bahwa orang itu bukanlah Hao Feng.  Memberikan bukti pada dirinya sendiri, bahwa Hao Feng masih berada di dalam kantor dan memberikan beberapa pengarahkan di dalam rapat.
Namun, saat Yan Er berdiri tepat di depan salah satu jendela restaurant tersebut, dia terdiam.  Hatinya berdegup dengan kencang dan aliran nafasnya tidak terkendali.  Bahkan dia merasakan kini dirinya kesulitan bernafas.
Tidak salah lagi.  Lelaki itu adalah Hao Feng.  Dan dia tidak sedang dalam keadaan rapat dilihat dari segi manapun.  Perlahan, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.  Kemudian berjatuhan tanpa henti.
Yan Er menutup matanya.  Memohon, berdoa, berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.  Namun, saat dia kembali membuka matanya.  Hao Feng masih tetap berada disana, membuka sebuah kotak bewarna hitam.  Memakaikan isinya pada wanita yang sedang duduk di depannya.
Saat itu juga, Yan Er merasa nafasnya terhenti.  Kepalanya terasa berat dan pandangannya mulai menggelap.  Tubuhnya mulai terasa berat dan dia bisa merasakan bahwa sebentar lagi, dia akan segera roboh.
“Anda tidak apa-apa?” tanya salah seorang pejalan kaki yang menggenggam erat lengannya dan menahannya supaya tidak jatuh.
“Tidak apa-apa.” Yan Er mencoba tersenyum dan menyandarkan tubuhnya pada jendela restaurant tersebut.
“Anda yakin?” tanya pejalan kaki itu.
“Iya.  Aku tidak apa- apa.  Terima kasih.” Kali ini Yan Er melepaskan genggaman pejalan kaki tersebut.
Lalu, dia membalikkan badannya melihat ke dalam arah restaurant sekali lagi.  Di depannya terlihat adengan Hao Feng yang sedang menuangkan segelas wine ke dalam gelas dan melakukan cheer dengan wanita di depannya yang tidak berhenti tersenyum.
  Yan Er mengambil nafas panjang dan mengambil langkah meninggalkan mereka.


Butuh waktu lama bagi Yan Er untuk menenangkan dirinya sendiri.  Kejadian yang baru saja dilihatnya masih meninggalkan segores bekas luka yang mendalam di hatinya.  Berlinangan air mata, dia mengambil sendok yang tersedia di atas meja dan mulai menyendok penuh kue ulang tahun tersebut ke dalam mulutnya.
Setiap kali dia menyendoki dirinya sendiri, detik itu juga, dia meneteskan air mata.  Dia tidak pernah menyangka bahwa kue ulang tahun yang dibuatnya sendiri harus dihabiskannya sendirian.
Yan Er berhenti sejenak, dengan mulut dan wajah belepotan krim kue, dia menangis, kemudian menelungkupkan wajahnya ke atas meja.  Menangis sejadi-jadinya.  Berteriak keras, mengeluarkan kesakitan yang dia rasakan diantara retakan relung hatinya.
“Beginikah caramu mencintaiku, Hao Feng?” bisik Yan Er pada dirinya.
Ditatapnya cincin polos yang melingkar manis diantara jari tengah dan jari kelingkingnya.  Lalu, dengan berat hati, dia mengeluarkan cincin itu dari jari manisnya.  Meletakkannya diatas meja lalu menuliskan sesuatu diatas secarik kertas.  Dan menyelipkannya di bawah cincin.
Dengan langkah gontai, Yan Er berjalan keluar rumah dan menutup pintu tanpa menolehkan kepalanya.
Semuanya sudah berakhir sekarang.

Monday, February 14, 2011

reminiscenes


When I saw the old pictures, 
I found out that everyone has grew up
and being more mature

It was just like yesterday
We laughed, talked, shared, cried
As we closed our eyes
and opened them up again,
all of them has became reminiscences

Past were a comfortable place to be visited,
but not a worthy place to be stayed





Friday, February 11, 2011

Yang Terlewatkan


Ada kesempatan yang tidak boleh dilewatkan
Ada cinta yang tidak boleh dilepaskan
Ada kebahagiaan yang tidak boleh digantikan.


Wednesday, February 9, 2011

An Education


"Sometimes, an education isn't by the books.
Action is a character, if we never did anything we wouldn't be anybody."



Thursday, February 3, 2011

Monotous


On my way alone
Humbling
Imagining
Dreaming

It used to be like that
And it will always be monotonous
How'd life?
It constantly boring

Waiting for a fate to come approach
Scattering its magic to my life
Perhaps, the story will be disparate

It's my tale
How about yours?