Wednesday, April 28, 2010

Rasa Ini

Saat cinta tak terbalaskan.
Yang tersisa hanyalah luka yang menganga.
Rindu yang berselimutkan perih.
Menyimpan sejuta pesan.


Kemana pesan itu harus kuhempaskan?
Sementara dia membalas pelukan hangatku
dengan punggungnya yang dingin.
Sebegitu tidak ada artinya kah diriku ini?


Jeritan disertai tangisan.
Mengiringi setiap langkah kaki.
Meninggalkan jejak bahwa aku pernah berada disini.


Tidak terbersit sedikit pun perasaan
untuk membenci dirinya.
Sebaliknya, terima kasih kuucapkan.
Karna telah mengenalkanku pada arti cinta.



Thursday, April 15, 2010

Romeo Juliet

"Romeo take me somewhere we can be alone
I'll be waiting all there's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a love story baby just say YES" - Taylor Swift.



Kapankah penungguan ini harus berakhir?
Aku merasa kesepian.
Di dalam istana yang besar nan luas.
Tanpa ada yang bisa kuajak berbagi kisah dan kasih.


Romeo....Romeo.....
Apakah tokoh ini memang nyata?
Akankah dia datang menjemput sang Juliet
dan menghadiahkannya sebuah kebahagiaan?


Apa yang membuat Romeo-sang pangeranku begitu lama muncul?


Romeo, kau akan datang kan.
Dalam cerita Romeo ditakdirkan bersama dengan Juliet selamanya.
Bukankah begitu?

Thursday, April 8, 2010

Kisah

Rindu akan masa lalu.
Hanya membuatku sedih dan tertawa disaat yang bersamaan.
Sebagian orang menyebutku bodoh.
Sebagian orang mengatakan aku sedang terpenjara.


Aku tidak peduli.
Biarlah mereka berkata sesuka hati mereka.
Toh, bukan mereka yang merasakannya.
Bukan mereka yang mengalami semua ini.


Kisah ini tak akan lekang termakan waktu.
Walau kita sudah tak berada di dalamnya.
Walau lembaran demi lembaran telah tertutup rapat.
Namun, kisah ini akan tetap menjadi sebuah kisah.


Sebuah kisah yang sulit untuk dilupakan.

Wednesday, April 7, 2010

Takdir

Seperti embun yang menghilang di balik awan.
Begitulah akhir sebuah babak cerita cinta dalam kehidupanku.
Tiada pernah kusangka.
Bahwa semuanya akan musnah terlahap waktu.


Jika aku membuka kenangan akan hari itu.
Mungkinkah dia bersedia tinggal di salah satu ruang dalam hatiku?
Aku ragu.
Karna pada dasarnya, aku enggan membiarkannya menjadi bagian dari diriku.


Mengapa takdir harus mempertemukan kita lagi?
Bukankah semuanya sudah dipertegas?
Bahwa tidak ada percikan hubungan apapun diantara kita.
Bahkan benang merah penghubung kita sudah kuputuskan.


Ahhh....
Takdir, kau memang pandai bercanda.
Dulu, kau merampasnya dengan paksa dari ceritaku.
Sekarang, kau mengembalikannya tanpa bertanya padaku.


Kau anggap apa aku ini?
Sebuah marionet yang sedang kau mainkankah?
Pergilah takdir.
Tanpamu, aku masih bisa bertahan dalam babak ceritaku yang baru saja kumulai.

Tuesday, April 6, 2010

Keluarga

Suara gebrakan serta tendangan maha kuat terdengar bergantian di salah satu rumah yang berada di salah satu kawasan perumahan di pinggir kota.   Tidak ada orang yang bertanya atau keluar dari rumah, karena kawasan itu memang sepi.

Dari puluhan rumah yang berjejer disana, hanya beberapa yang ditempati, dalam jarak yang cukup jauh, satu sama lain.  Akhirnya suara mengganggu itu berhenti.  Kelihatannya, sang pelaku sudah kelelahan, karena pintu rumah bewarna coklat itu tak kunjung terbuka.

Jane membanting salah satu kursi yang terdapat di meja makan.  Dari raut wajahnya, bisa dipastikan bahwa dia sedang emosi tingkat tinggi.  Wajahnya memerah dan gurat-gurat kebencian semakin terlihat.  Semakin tinggi emosinya, semakin tidak dapat ditahan air matanya.  Butiran kristal kecil itu mengalir perlahan di kedua pipi mulusnya.

“Mengapa kau melakukan semua ini kepadaku?” dia bertanya pada dirinya sendiri, namun semakin lama,  pernyataan itu sudah tidak menyerupai bisikan, melainkan teriakan, “Mengapa?  Mengapa?  Apa salahku padamu?  Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?”

Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke salah satu kamar yang berada di pojok rumah yang hanya terdapat satu lantai.  Tidak jelas apa yang sedang dilakukannya.  Hanya terdengar suara berisik seperti sedang mencari sesuatu.  Diakhiri dengan suara bantingan dan pecahan.

Tidak lama kemudian, Jane kembali ke ruang makan.  Kemeja, kaos, jeans dan pakaian yang lain menumpuk tinggi di kedua tangannya.  Dengan sekuat tenaga, dia melemparkan tumpukan yang menyerupai bola besar ke lantai.

“Aku benci kau.  Rasa benci ini sudah menjalar hingga ke jantung, tulang dan jiwaku.”

Dia berjalan pergi meninggalkan semua kekacauan yang baru dilakukannya.  Desahan nafanya terasa berat.  Kedua matanya menunjukkan rasa lelah selama berhari-hari.  Dengan langkah berat, dia memaksakan dirinya memasuki sebuah kamar yang berada di seberang kamar pertama yang dimasuki.

Dalam kamar itu, terdapat begitu banyak bingkai foto.  Dan di dalam setiap bingkai foto terdapat foto sepasang kekasih yang sedang berpelukkan dengan mesranya, tertawa dengan bahagianya.  Tanpa Jane sadari, salah satu tangannya mengambil bingkai berukuran sedang yang terletak paling sudut di atas meja.

Dia meraba foto itu, lalu mendekap erat ke dalam dadanya.  Airmata masih belum berhenti menuruni wajahnya.

“Dulu kita begitu bahagia.” Dia menghapus tangannya, raut wajahnya berubah seketika menjadi penuh amarah, “Tapi itu dulu.”

Dari arah depan rumah terdengar suara mesin mobil memasuki perkarangan.  Dalam hitungan detik, suara mesin itu lenyap, tergantikan oleh suasana senyap.  Jane meletekkan bingkai foto yang dipegangnya kembali ke letaknya.  Lalu menghapus sisa air mata di kedua pipinya.

Dia melangkah keluar dengan langkah gagah.  Seperti seorang prajut yang siap bertempur di medan perang.  Ditariknya nafas panjang, lalu dihembuskan kembali.  Langkahnya mengarah kea rah ruang makan.  Dan disitulah dia menarik sebuah kursi dan duduk diatasnya.  Matanya tidak berhenti menatap kearah pintu.  Seakan dia sedang menunggu seseorang untuk membukanya.

Daun pintu terbuka, seorang lelaki berpakaian tidak rapi, dengan kemeja lusuh dan jeans koyak di bagian lututnya, memasuki rumah.  Tidak lupa dicabutnya kunci rumah yang sedang bertengger di depan pintu.  Di tangan kanannya terdapat beberapa bungkusan dan beberapa macam sayuran hijau.  Sepertinya dia baru habis berbelanja.

“Sayang, aku sudah pulang.” Dia berteriak dengan senangnya, sembari memasukkan kunci ke dalam  sakunya

Jane menatapnya dengan tidak bergeming.  Tidak ada sepatah kata balasan.  Tangannya dikepal dengan erat, menahan amarah.

“Ohh…disitu kau ternyata.  Kau sedang menungguku untuk memasakkanmu makan malam, bukan?  Tunggu sebentar.  Biarkan aku membersihkan diriku dulu.” Lelaki itu melepaskan kemejanya, “Tadi di pasar malam begitu banyak orang.  Lihatlah, aku jadi berkeringatan dan bau.  Biarkan aku mandi lalu membuatkanmu makan malam yang enak.”

Lelaki itu mengecup kening Jane, melirik sebentar kearah ruang makan yang dipenuhi serakkan baju dimana-mana serta beberapa kursi yang tergeletak di seluruh sudut ruangan.

Jane mendorong kursi yang diduduknya ke belakang dengan kuat, lalu berdiri dan menatap lekat-lekat ke arah punggung lelaki yang sedang melangkahkan kakinya menuju kamar di pojok rumah.

“Lepaskan aku.  Tidak ada gunanya kau menyekapku disini.  Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu bahwa aku sudah tidak mencintaimu.  Tidakkah kau mengerti?   Aku sudah berkeluarga.  Suami dan dua orang anakku sedang menungguku di rumah.  Jadi, kumohon, lepaskanlah aku.  Aku tidak akan melaporkanmu ke polisi.  Aku janji.”

Lelaki itu menghentikan langkahnya, “Mereka bukan keluargamu.  Akulah keluargamu,”

“Kau bukan siapa-siapa.  Kau hanyalah mantan pacarku yang menghilang enam tahun yang lalu.  Kau yang sekarang ini hanyalah orang asing bagiku.  Selamanya kau tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari keluargaku.”

Lelaki itu mengepal kedua tangannya, berbalik dan berlari cepat ke wanita yang sedang berdiri tepat di depannya.  Jane berhenti menarik nafas dan memejamkan matanya.  Jika lelaki itu bertindak seperti itu, maka selanjutnya hanya tindakan bodoh yang akan terjadi.

Plakkkk!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Jane.  Saking kerasnya tamparan tersebut, di sudut bibir Jane, menetas cairan bewarna merah.

“Kau sinting!  Kau gila!  Kau Psikopat!”

Tamparan lain kembali dilayangkan ke pipi kiri Jane.

“Aku mencintaimu.” Lelaki memegang kedua bahu Jane dengan eratnya dan mengguncangkan ke depan dan belakang, “Tidakkah kau bisa melihat bahwa aku begitu mencintaimu?”

“Jika kau memang begitu mencintaiku, lepaskanlah aku.  Aku kangen anak-anakku.  Aku kangen suamiku.  Kau sudah menyekapku selama seminggu disini.  Tidakkah itu cukup bagimu?”

“Tidak.  Selamanya kau tidak akan kulepaskan.  Kau milikku.  Rumahmu disini, bukan disana bersama sekumpulan orang bodoh yang telah merebutmu dariku.”

Lelaki itu melepaskan tangannya dari bahu Jane.  Berbalik dan berjalan kembali menuju kamar di ujung lorong.

Seluruh badan Jane bergetar.  Air mata tidak henti-hentinya berjatuhan.  Seketika itu juga, dia menjatuhkan badannya ke lantai, sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.  Lelaki itu segera menoleh, takut terjadi sesuatu pada Jane.

Namun, di hadapan lelaki itu, Jane berlutut.  Kedua tangannya didekatkan.  Dengan suara gemetar, menahan tangisan, dia berkata, “Lepaskan aku.  Aku mohon.”

Untuk beberapa menit, tidak ada balasan kata yang keluar dari mulut lelaki tersebut.  Seakan dia sedang berpikir, menimbang semua permohonan Jane.  Kemudian, dia membalikkan badannya, “Selamanya, kau akan tetap disini.  Bersamaku.”

Sunday, April 4, 2010

Dirinya


Malam ini, bulan tak terbentuk dengan sempurna.
Langit seakan tak ingin mengakuinya.
Menutupinya dengan kabut malam.
Malam ini, kekejaman dingin seakan tidak mengenal kata ampun.
Angin pun datang bersekongkol.
Menerbangkan tusukan demi tusukan ke dalam rusuk.
Apalah arti sebuah malam?
Apalah arti bulan purnama atau sabit?
Apalah arti dinginnya malam?
Jika hari yang kulalui hanya diisi dengan kekosongan,
yang ditinggal pergi oleh dirinya.