Sunday, May 30, 2010

Pudar

Rasa ini tidak pernah pudar
Hanya tertutup oleh waktu
Jangan mengejutkannya
Atau dia akan menghilang tanpa bekas


Saturday, May 22, 2010

Pupus

Jalinan takdir saling menjauh
Benang merah,tanda pengikat, terputus sudah
Saling tersenyum getir,
melambaikan tangan

Kau menatapku dingin
Seakan bertanya padaku,
"Mengapa aku tidak bersedih?"
Aku berbalik dan menjawab dalam hati,
"Aku benci berteman dengan sakit dan perih. Maka kutinggalkan hatiku bersamamu."

Wednesday, May 19, 2010

Tentang Kamu


Sinar matahari memaksa kedua kelopak mataku terbuka
Perlahan rasa hangat menyelimuti seluruh badanku
Dengan mata terbuka, aku meringkup dalam pelukanku sendiri
Pikiranku menerawang jauh
Melamunkan kenangan di masa lalu
:  pelukanmu lebih hangat daripada sinar matahari

Aku  menepis semua kemungkinan
Kamu tidak mungkin kembali
Kamu yang meninggalkanku dahulu
Tanpa pesan, tanpa kata
Kuanggap semuanya sudah berakhir saat itu juga
:  meskipun aku terus berharap setiap kali ponselku bordering

Raga ini serasa kehilangan arwah
Bahkan mata pun kehilangan kekuatannya untuk tetap terjaga
Namun, yang paling aku takutkan
Hati ini tidak mampu lagi untuk mencinta
:  sedikit demi sedikit rasa cinta itu semakin memudar

Pada akhirnya, aku selalu kalah
Harapan itu kembali menerpaku
Membuatku bertanya pada diri sendiri
“Akankah kau kembali?”
“Kau akan, bukan?”
“Aku yakin kau pasti akan kembali membawaku bersamamu.”
:  membohongi diri sendiri lebih baik daripada menghadapi kenyataan kau tidak akan pernah kembali

Friday, May 14, 2010

Bintang Jatuh, Bagian Ketiga

“Kau baik-baik saja?” seseorang itu tidak lain adalah Arif.
Fiona lebih memilih untuk diam dan memungut buku yang terjatuh ke lantai.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Arif lagi sambil membantu Fiona. 
Tetapi, dengan kasar, Fiona menepis tangannya dan member isyarat dengan bahasa tubuh bahwa dia-bisa-melakukan-semuanya-sendiri.
“Apa kau marah padaku?” kali ini Arif kelihatan sudah kehilangan kesabaran dengan sikap bisu Fiona yang menganggap dia tidak ada.
Masih dengan ekspresi yang sama, Fiona memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya dan berjalan melewati Arif dengan sikapnya yang sangat dingin.  Dalam hati, Fiona terus meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi.  Yang harus dilakukannya sekarang hanyalah segera pulang dan tidur. 
Sebelum dia berjalan lebih jauh, Arif menahan lengan kirinya.
“Kenapa kau bersikap begitu dingin padaku?  Apa kau tidak merindukanku?  Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan padaku?  Bukankah kita sahabat?  Mengapa sekarang ini kau menganggapku seolah aku ini tidak ada?”
Pertanyaan beruntun dari Arif membangkitkan rasa sakit, marah dan sedih dalam hati Fiona.  Dengan kesal, dilemparkan dua buku tebal yang sedang dipegangnya.
“Kau bertanya seakan tidak ada masalah yang terjadi.  Kau sangat ingin dengar apa yang sedang kurasakan?  Baiklah aku akan menjawab.  Ya.  Benar.  Aku marah.  Bukan hanya marah, tapi sangat marah padamu.  Kau bilang kita sahabat?  Biarkan aku bertanya padamu, apakah seorang sahabat akan meninggalkan sahabatnya yang lain tanpa sepenggal pesan?  Apa ini yang dilakukan oleh seorang sahabat?” Fiona sudah tidak mampu membendung amarahnya, “Jika seorang sahabat seperti itu, maka aku tidak memerlukan sahabat ini.  Jadi aku mohon jangan berbicara denganku lagi.  Jika kau melihatku, anggaplah aku ini tidak ada.  Dan aku juga akan melakukan hal yang sama padamu.” Fiona menghirup nafas panjang sebelum melanjutkan, ”Karna di duniaku, sudah tidak tercantum namamu lagi.”
Airmata mengalir perlahan dari kedua pelupuk mata Fiona, sesaat setelah dia membalikkan badannya dan berjalan pergi.
Satu kali merasakan kehilangan rasanya sudah cukup.

Malamnya, Fiona kembali duduk termenung di balkon kamarnya.  Kegiatan seperti ini sudah jarang dia lakukan sejak berbulan-bulan yang lalu.  Namun sepertinya kejadian hari ini secara tidak langsung membangkitkan semua kenangan pahit di masa lalu.
Fiona kembali mendekap kedua lututnya dan menyandarkan kepalanya pada kedua lengannya.  Setiap helaan nafas yang dia hembuskan terdengar berat dan sedih.  Dia sungguh tidak tahu apa yang dia lakukan sore ini benar atau salah.
Di satu sisi dia ingin memeluk Arif dan bertanya mengapa dia meninggalkannya selama setahun ini.  Tapi, di sisi lain, dia tidak ingin terlalu banyak berharap.  Mungkin saja lain kali, cowok itu akan kembali meninggalkannya.
Dia tidak butuh seorang sahabat yang akan meninggalkannya secara tiba-tiba.  Dia tidak butuh seorang sahabat yang selalu membuatnya menunggu setiap malam.  Dia juga tidak butuh seorang sahabat yang tidak bisa menepati janjinya.
Tapi, apakah rasa yang selama ini dia tujukan pada Arif murni hanya perasaan sebagai seorang sahabat?  Atau ada perasaan lebih?
Fiona menggeleng kepalanya dengan kuat.  Menepiskan setiap kemungkinan yang ada.
Dia kembali mengangkat kepalanya dan menatap langit.  Hari ini, lagi-lagi, langit tidak berbintang.
“Apakah akan ada bintang jatuh hari ini?” Fiona bertanya pada dirinya sendiri dengan nada tidak pasti. 
Pasalnya, sudah hampir setahun belakangan ini, walaupun langit tidak berbintang, tapi dia tidak pernah melihat bintang jatuh.
“Mungkin saja ada.  Aku bisa menemanimu menunggu bintang jatuh.” Terdengar suara yang berasal dari balkon sebelah.
Fiona segera mencari pemilik suara tersebut.  Lagi-lagi, dia dikejutkan oleh kehadiran Arif.
“A..  apa yang sedang kau lakukan disana?” tanya Fiona dengan sedikit tergagap. 
“Menemanimu menunggu bintang jatuh.” jawab cowok itu dengan enteng.
“Tapi, bagaimana kau bisa sampai disana?” Fiona berdiri dan berjalan mendekat ke arah pembatas balkonnya dengan balkon sebelah.
Arif menunjukkan tangannya ke arah sebuah tangga yang sedang tergantung di bagian depan balkon, “Aku memanjat.”
“Apa kau sudah gila?  Apa yang harus kulakukan jika kau terjatuh dan terluka?  Kenapa kau tidak pernah berubah dari dulu?  Selalu melakukan perbuatan yang konyol.” Gerutu Fiona sambil memicingkan matanya.
“Dan perbuatan konyol itu hanya aku lakukan untuk menghiburmu.”
Jawaban dari Arif sempat membuat Fiona terdiam untuk beberapa saat. Arif kembali memanjat dan melompati dinding pembatas dari balkon sebelah ke balkon kamar Fiona.
“Apa kau masih marah padaku?”
Fiona mendengus kesal, tapi tidak menjawab.  Dia kembali mengambil duduk di sudut balkon dan memandangi langit.  Sementara, dengan bebal, Arif mengambil tempat duduk tepat di sampingnya.
“Maafkan aku karna aku menghilang secara mendadak setahun ini.  Tapi, aku mempunyai alasan tertentu.”
Dengan cepat, Fiona bertanya, “Alasan apa?”
“Aku sedang memberi waktu pada diri kita masing-masing.”
“Memberi waktu?” Fiona memberikan ekspresi bingung terhadap perkataan Arif, “Waktu untuk apa?”
Kini, Arif mendongakkan kepalanya keatas dan menatap langit yang tidak berbintang, “Masih ingatkah kau saat kita mengucapkan permohonan bersama disaat bintang jatuh?”
Fiona mengangguk dan kembali menunggu perkataan Arif selanjutnya.
“Saat itu, aku memohon supaya kau bisa sedikit, hanya sedikit saja merasakan bahwa perasaanku selama ini sebenarnya lebih dari perasaan sebagai seorang sahabat.”
Fiona terlihat terkejut, tetapi, Arif tetap melanjutkan, “Aku menyukaimu sejak, aku tidak tahu sejak kapan.  Aku hanya tahu bahwa semakin hari rasa suka dan sayangku semakin bertambah.  Tapi, kau tidak pernah menyadarinya.  Kau terus menyebutku sebagai seorang sahabat terbaikku dan hatiku terluka.  Aku tidak ingin menjadi sahabat terbaikmu.  Aku ingin menjadi seseorang yang lebih dari seorang sahabat bagimu.  Tidakkah kau mengerti?” Arif menatap langsung ke dalam kedua bola mata gadis yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
Fiona tidak tahu apa yang hendak dia katakan.  Ada rasa bahagia yang menyelinap ke dalam hatinya, tapi ada juga rasa terkejut.  Dia hanya bisa membisu seperti patung dan melihat ke arah Arif tanpa sekalipun mengerjapkan matanya.
Arif kembali melanjutkan, “Kepergianku hanya untuk memastikan, apakah kau bisa hidup bahagia tanpaku?”
Fiona menjawab dengan tegas, “Aku tidak bisa.  Tidakkah kau sadar bahwa aku pernah berkata padamu bahwa kaulah bintangku dan aku tidak tahu bagaimana rasanya jika suatu hari kau tidak bersamaku?  Sebenarnya saat itu, aku sedang menunjukkan perasaanku padamu.  Tapi kau ini memang bodoh.  Tidak bisa menangkap sinyal yang sedang kuberikan padamu.”
Kali ini, Arif yang terkejut dengan perkataan Fiona.  Dia sedang berusaha untuk mencerna setiap kata yang sedang diucapkan oleh gadis yang sedang duduk di sampingnya.
“Jadi, maksudmu, kau juga menyukaiku?” pertanyaan Arif hanya dijawab oleh Fiona dengan sebuah anggukan, “Tapi bukankah kau selalu bilang bahwa aku ini sahabat terbaikmu?”
“Itu karna aku merasa kau tidak pernah menganggap diriku lebih dari seorang sahabat.  Maka bagiku, selama kau selalu berada di sampingku, sebagi seorang sahabat pun, aku sudah sangat puas.”
Untuk sesaat, suasana berubah menjadi hening.  Arif dan Fiona saling menatap satu sama lain.  Kemudian, keduanya memecah keheningan dengan tawaan yang keras.  Mereka menertawakan diri masing-masing yang sudah bersikap bodoh selama ini.
Seandainya mereka berterus terang dari awal, mungkin akhir cerita yang bahagia ini tidak harus tertunda hingga setahun kemudian.  Jika saja mereka bisa membaca isi hati masing-masing dengan lebih baik, mungkin mereka tidak harus merasakan sakit yagn tidak semestinya harus mereka rasakan.
Tidak lama kemudian, langit yang gelap dipenuhi dengan hujan bintang jatuh yang berlangsung selama satu menit.  Dengan cepat, mereka menutup kedua mata mereka dan kembali membuat permohonan.
“Apa yang kau minta?” tanya Arif penasaran saat Fiona baru saja membuka matanya dan tersenyum sendiri.
“Rahasia.” Fiona meniru gaya Arif yang dulu.
Arif kembali mengacak rambutnya dan merangkulkan sebelah tangannya ke pundak Fiona dan menarik badan gadis itu merapat ke dirinya.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.  Aku janji.” Arif mempererat rangkulannya.
Fiona hanya kembali mengangguk kecil dan menyandarkan kepalanya pada bahu Arif.  Dalam hati dia berkata, “Aku hanya meminta supaya kau selamanya tetap menjadi bintangku.  Karna langit tidak akan pernah lengkap tanpa kehadiran sang bintang.”

Thursday, May 13, 2010

Bintang Jatuh, Bagian Kedua


Waktu yang berlalu tidak dapat diprediksi.  Kadang, dalam situasi tertentu, waktu akan terasa berjalan lebih lambat dari biasanya dan begitu pula sebaliknya.  Bagi Fiona, lebih baik waktu berjalan cepat daripada lambat.
Karna waktu yang berjalan lambat hanya akan terus mengingatkannya pada Arif.  Seseorang yang telah menjadi bagian paling penting dalam hidupnya.  Jika tidak, bagaimana mana mungkin dia akan merasa begitu terpukul dan kehilangan dengan kepergian Arif yang mendadak tanpa sepenggal pesan apapun.
Dalam kurun waktu kurang dari setahun.  Perlahan, tapi pasti, sedikit demi sedikit, Fiona berhasil mengeluarkan Arif dari hati dan pikirannya.  Walaupun belum sepenuhnya, setidaknya, kini hidupnya kembali berjalan dengan teratur.
Dia sudah tidak terbangun sepanjang malam hanya untuk menunggu email ataupun panggilan chatting.  Dia juga sudah tidak berdiri semalaman di depan balkon dan menatap langit.  Menunggu bintang jatuh dan membuat permohonan.
“Fio.” Panggil Lara, salah seorang temannya sejak masuk bangku kuliah.
“Yaa.” Jawab Fiona, menghentikan langkahnya.
Semula dia berencana untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen paling killer sekampus di perpustakaan.  Tepat sebelum dia melangkahkan kakinya keluar dari kelas, Lara memanggilnya.
“Tadi pagi, Pak Andika menyuruhku untuk memberitahukan bahwa ada yang mau dia bicarakan padamu.  Kau disuruh ke kantornya sehabis kelas ini.”
“Sekarang?”  Fiona melirik jam tangannya. 
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.  Biasanya jam segini Pak Andika pasti sudah pulang.  Dosen yang satu ini hanya bekerja sebagi dosen part-time di kampusnya dan hanya mengajar mata kuliah di pagi hari.
“Iya.  Kau cepat ke kantornya.  Aku akan menunggumu di kantin.  Jika kau sudah siap, kau bisa menjumpaiku di kantin dan kita bisa pulang barengan.”  Usul Lara.
“Sebaiknya kau pulang duluan.  Masih ada hal yang harus kukerjakan setelah ini.” dengan halus Fiona menolak ajakan Lara.
Bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah ratusan kali dia menolak ajakan dari Lara ataupun teman yang lainnya.  Dia membatasi diri dalam bergaul dengan siapapun.  Tidak ingin jatuh ke lobang yang sama dan kembali kehilangan.
Baginya lebih baik menjaga jarak kedekatan dengan seseorang.  Supaya jika seseorang itu meninggalkannya kelak, seperti apa yang Arif lakukan padanya, dia tidak akan merasakan siksaan dari kehilangan itu.

Setelah mengetuk beberapa kali, Fiona membuka pintu kantor dosennya dan melonggokkan kepalanya ke dalam.
“Bapak memanggil saya?” tanyanya dengan sikap sopan.
“Iya.  Silakan masuk dan duduk.  Ada yang ingin Bapak bicarakan dengan kamu.”
“Ada masalah apa, Pak?” Fiona mengambil duduk tepat di depan Pak Andika. 
“Begini.  Ada seorang mahasiswa yang mau melanjutkan studinya di kampus kita.  Selama ini, dia kuliah di Aussie.  Namun, karna ada masalah pribadi, dia memutuskan untuk kembali  ke Indonesia.  Masalahnya, dia tidak ingin mengulang dari awal.  Jadi, Bapak mau meminta tolong supaya kau mau membantunya dengan beberapa ketinggalannya.”
Fiona mengangguk mengerti.  Sebenarnya dia ingin menolak, tapi merasa segan.  Karna Pak Andika adalah seorang dosen yang sangat baik.  Maka rasanya sangatlah tidak nyaman jika harus menolak permintaan sederhana seperti itu.
“Siapa namanya, Pak?”
“Namanya…….
“Arif.”
Jawaban yang berasal dari seseorang di belakang Fiona membuatnya terkejut dan segera membalikkan badannya untuk memastikan siapa yang sedang berbicara.
Seseorang itu kemudian melanjutkan, “Kurasa aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi kan, Fio.”
“Jadi kalian sudah saling mengenal?” tanya Pak Andika dengan nada senang
“Iya, Pak.  Kami teman sekelas sejak SMP.”
“Bapak senang mendengarnya.” dosen tersebut lalu mengalihkan pandangannya dari Arif menuju ke arah Fiona.
Sementara itu, Arif tersenyum lebar pada Fiona, seakan tidak pernah ada yang terjadi sebelumnya.  Seakan dia tidak pernah pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
“Tidak ada yang ingin kau sampaikan padaku?” kata Arif, kali ini dia tersenyum jail dan bergerak mendekat ke tempat duduk Fiona.
Fiona membeku.  Tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutnya.  Hatinya masih terlalu shock dengan semua yang baru terjadi.  Dan dia belum bisa menerima semuanya.  Dengan cukup kasar, dia membalikkan kembali kepala dan badannya menghadap ke arah Pak Andika.
“Saya tidak punya waktu.  Mohon Bapak mencari orang lain saja.  Permisi.”
Fiona bangkit dari duduknya, melewati Arif tanpa sekalipun menatapnya dan berjalan keluar seakan cowok itu tidak pernah ada disana.  Seakan semua ini hanyalah mimpi.
Ini pasti mimpi!

Seperti biasanya.  Sehabis bubaran kelas, Fiona pasti segera menghabiskan waktu di tempat kesukaannya dari segala sudut kampusnya, perpustakaan.  Di sana dia mendapatkan ketenangan dan kedamaian yang dia butuhkan untuk mengerjakan segala tugas dari para dosen killer.  Yang biasanya selalu memberi tugas segunung dan menyuruh mereka untuk mengumpulkannya kembali dalam waktu 2 hari.
Selain itu, dia juga senang mendengarkan musik kesukaannya di Ipod.  Membiarkan dirinya terlelap selama satu dua jam.  Rasanya lebih nyaman tertidur di dalam perpustakaan daripada di kamarnya sendiri.
Dan siang itu, dia kembali terlelap.  Diantara tumpukan buku-buku tebal yang berserakkan di salah satu meja besar persegi panjang.  Letaknya berdekatan dengan dua buah jendela besar yang menghadap ke taman kampus.
“Hoooaaammmm.” Fiona menutup mulutnya dengan salah satu tangannya yang masih tergeletak bebas di meja, sementara tangan yang lain menjadi bantalan untuk kepalanya.
Beberapa dia mengerjapkan matanya.  Setelah memperoleh kesadaran penuh, hal pertama yang dilihatnya, langit di luar sana yang mulai berubah warna.  Dari warna biru muda ke warna jingga kemerah-merahan.
Hal ini menandakan bahwa hari sudah sore dan sudah saatnya dia pulang ke rumah.  Segera dibereskan semua buku-buku yang masih terbuka dan terhampar di hadapannya.  Namun, sebuah tas ransel coklat yang tergeletak di samping kursinya membuyarkan segalanya.
Beberapa buku yang berada di tangannya jatuh ke lantai.  Hatinya berdegup dengan kencang.  Dan tanpa sadar dia berjalan mundur beberapa langkah ke belakang.  Dia masih belum menyadari bahwa ada seseorang berdiri memunggunginya.
“Aucch…” Fiona menjerit terkejut saat punggungnya bersentuhan dengan seseorang.
Dia membalikkan badannya.  Dan ini semua bukan mimpi.
( to be continued )

Wednesday, May 12, 2010

Bintang Jatuh, Part I


Langit di luar sana masih tampak gelap.  Jalanan masih sepi.  Dan kebanyakkan orang masih meringkuk, memeluk kehangatan dengan selimut masing-masing.
Fiona menatap layar laptopnya dengan tatapan yang sama selama kurang lebih satu jam.  Sudah hampir dua minggu ini, setiap malam, dia selalu duduk di depan layar laptopnya.  Mengakses msn, yahoo messenger dan membuka emailnya. 
Namun, tidak ada pesan yang dikirim untuknya.  Yang ada palingan hanya email tidak penting.  Sedangkan yang selalu memanggilnya untuk chatting bersama pun hanya beberapa teman lama yang sudah hampir kehilangan kontak.
Bukan mereka.  Fiona sedang menunggu satu orang untuk memanggilnya lewat chatting, atau sekedar mengirimkannya email.  Tapi, orang tersebut seakan lenyap ditelan bumi.  Tidak ada kabar.
Fiona menghela nafas dengan kecewa.  Ditatapnya jam dinding yang terletak tepat diatas kepalanya.  Sudah pukul dua dini hari.  Mengapa rasa kantuk masih enggan menghampiri dirinya?  Jika saja dia bisa terlelap secepatnya.  Mungkin rasa sesak dihati ini akan berkurang sedikit.
Dengan perlahan, Fiona bangkit dari tempat duduknya, menuju balkon kamarnya yang masih terbuka dengan lebat.  Angin malam memang paling sejuk.  Dengan malu-malu, mereka menyapu wajah dan rambutnya sebahunya yang tergerai.
Hari ini, tidak ada bintang yang bertaburan menghiasi langit gelap.  Seakan mengerti perasaan langit, Fiona berkata pada dirinya sendiri, “Apakah kau juga kesepian langit?  Dimana bintang yang selalu menemanimu?”
Setelah memikirkan sesuatu, atau tepatnya seseorang, dia kembali mengangkat kepalanya dan melanjutkan, “Kurasa kita senasib malam ini.  Atau mungkin nasibku lebih malang dari nasibmu.  Kau hanya kehilangan bintangmu malam ini.  Sedangkan aku sudah kehilangan bintangku untuk selamanya.”
Angin malam yang berhembus semakin lama semakin dingin.  Sampai Fiona harus merapatkan kedua tangannya merangkul badannya sendiri.  Sepertinya itulah jawaban dari langit atas pertanyaannya.
Disaat sedang menatap yang kegelapan sang langit.  Tiba-tiba dia teringat pada seseorang.  Ya.  Seseorang yang hampir seminggu ini terus meracuni pikirannya.  Membuatnya tidak nafsu makan dan minum.  Tidak dapat menutup mata dan terlelap dalam tidur.
Seseorang yang kalau boleh dibilang telah memadamkan sebagian cahaya kebahagiannya.  Dan seseorang itu jugalah yang telah mengambil pergi senyumannya.
Untuk sejenak, dia melorotkan badannya ke lantai.  Sambil memeluk kedua lututnya, dia menenggelamkan kepalanya ke dalam kedua lututmya.  Sejenak kemudian, dia mendongakkan kepalanya kembali.
Kali ini, pikirannya disibukkan oleh kenangan akan perkataan seseorang tersebut.  Dan waktu sepertinya kembali berputar ke hari itu.
  
“Konon katanya, jika langit tidak berbintang, maka kemungkinan bintang jatuh sangatlah besar.  Dan jika ada bintang jatuh, kau tahu apa artinya?” seseorang itu bertanya.
Fiona menggelengkan kepalanya.
“Kau harus berdoa dan memohon.  Karna permohonan yang dibuat saat bintang jatuh akan terkabul.”
“Apakah itu benar?  Atau kau sedang berbohong padaku?”
“Aku serius kali ini.  Jika kau tidak percaya.  Kau bisa membuktikannya.  Lihat.  Langit hari ini tidak berbintang.  Mari kita tunggu bersama bintang jatuhnya.  Bagaimana?”
Fiona mengangguk kepalanya dengan cepat.  Seulas senyuman lebar menghiasi wajahnya.  Hari itu, dia bertengkar dengan kedua orang tuanya.  Hampir selama empat jam dia menangis. 
Matanya masih sembab dan bengkak sebagai hasil dari siksaan yang baru dialaminya.  Dan karna kehadiran seseorang itu, maka untuk pertama kalinya, dia bisa tersenyum dengan bahagia.
“Kadang aku merasa kau adalah bintangku.” seseorang itu menolehkan kepalanya menghadap ke arah Fiona yang sedang berdiri di sampingnya, “Kau selalu ada disaat aku sedang susah dan sedih.  Kurasa kaulah bintang yang menerangi hidupku.  Entah bagaimana rasanya jika suatu hari kau tidak bersamaku lagi.”
“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak ada?” pertanyaan spontan terlontarkan.
Fiona membisu sejenak.  Otaknya sibuk berpikir.
“Mungkin aku.....aku akan merasa kehilangan.” Fiona segera memalingkan wajahnya dan memicingkan matanya, “ Tapi, kau tidak berencana untuk meninggalkan aku kan?”
Seseorang itu tersenyum lembut, lalu mengacak-acak rambut Fiona dan berkata, “Tenang saja.  Selamanya aku akan ada di sampingmu.  Aku tidak akan pergi walaupun kau menyuruhku pergi.  Karna bagiku.  Kau adalah……”
Belum sempat seseorang itu mengakhiri perkataannya, Fiona memotong, “Lihat!  Lihat!  Ada bintang jatuh.  Ayo cepat make a wish.”
Dengan gembira, mereka menutup mata dan membuat permohonan dalam hati masing-masing.  Beberapa menit kemudian, Fiona membuka matanya terlebih dahulu.  Dia segera memalingkan wajahnya ke samping dan tersenyum dengan bahagia.
“Apa yang kau minta?” seseorang itu bertanya.
“Aku meminta supaya kau selamanya menjadi bintangku dan sahabat terbaikku.  Tidak akan pernah meninggalkan aku.”
Seketika itu, senyum lembutnya langsung sirna.  Ada perasaan kecewa yang timbul dalam hati seseorang tersebut saat mendengar Fiona mengatakan bahwa dirinya hanya sebatas sahabat terbaiknya. 
Dia berharap cewek yang sedang duduk di sampingnya ini bisa menganggapnya lebih dari sebatas sahabat.  Apa mungkin selama ini perbuatan masih tidak cukup untuk menunjukkan perhatiannya yang lebih dan perasaan dari dalam lubuk hatinya? 
Belum puas dengan jawabannya sendiri, Fiona balas bertanya,” Dan kau?  Apa yang kau minta?”
Seseorang itu menggelengkan kepalanya.  Menunjukkan mimik wajah bahwa dia enggan berbagi permohonan yang dibuatnya, “Ini rahasia.  Suatu hari aku akan memberitahukannya padamu.”
“Kenapa tidak sekarang saja?  Ayolah.” rengek Fiona, “Aku penasaran dengan apa yang kau mohonkan.”
“Sekarang belum waktunya.”
Fiona memutar kedua bola matanya dan pura-pura ngambek, “Baiklah.  Aku tidak akan bertanya lagi.  Kau bukan sahabat terbaikku lagi.”
“Hahahaha….”  Seseorang itu tertawa dengan kerasnya.  \
Sikap inilah yang membuat perasaan yang tumbuh dihatinya, semakin hari semakin kuat  Tawaan inilah yang selalu menghiasi hari-harinya.  Bagaimana mungkin dia bisa hidup sehari tanpa melihat wajah Fiona yang akan merona merah setiap kali dia tertawa.
Dengan gemas seseorang itu mencubit kedua pipi gadis itu dan merangkulkan sebelah lengannya.

Fiona tersadar dari lamunan.  Tanpa sadar, dia bergumam dalam hatinya, “Aku merindukanmu.  Aku sungguh sangat merindukanmu, Arif.”

***
( to be continued )