Tuesday, December 27, 2011

Musim Dingin


Hembusan angin sore membuyarkan lamunanku.  Menguap sudah mimpi-mimpi di alam kenyataan.  Memaparkanku pada kesakitan tiada akhir.  Suatu kebenaran yang harus kuakui. 
Bahwa kau tidak pernah menganggap aku ada.

Bagiku, bersamamu seperti salju di musim dingin.  Kadang terasa begitu indah, membuatku tidak ingin melewatkannya.  Walaupun, aku mengerti konsekuensi untuk menikmatinya.  Bahwa dia akan membawakan kedinginan pada diri mungilku.  Rasanya tidak mungkin aku bertahan pada suhu udara di bawah minus.  Namun, nyatanya aku berusaha bertahan dan melawan. 
Hanya untuk satu alasan. 

Karna aku begitu menyukai musim dingin.  Seperti aku yang dengan bodohnya terperangkap oleh gombalan cintamu.  Mencintaimu tanpa mempedulikan perkataan orang-orang di sekitarku.  Mempertaruhkan kebahagiaan seumur hidupku bahwa kau mungkin akan berubah dan bertahan di sisiku.
Nyatanya, aku salah. 

Kau tidak pernah berubah.  Bukan karna tidak mungkin.  Namun, kau sendiri yang tidak ingin berubah.  Bagimu, ada atau tidak adanya diriku hanya ibarat hembusan angin di sore hari.  Akan berlalu saat musim berganti.  Menghilang tanpa meninggalkan jejak. 
Dan kau tidak pernah merasakan arti dari sebuah kehilangan.

Kadang, aku berkata pada diriku sendiri.  Aku pasti bisa melewati hari-hari sulit ini.  Sehari demi sehari dan hanya hasil nihil yang kudapatkan.  Kau tidak pernah menguap sedikitpun dari pemikiranmu.  Bahkan selalu hadir dalam setiap gerak langkahku.

Jika, aku memohon, apakah kau bersedia untuk mengabulkannya?
Jika aku terus melangkah, apakah kau bersedia untuk memperlambah langkahmu supaya aku dapat menyejajarkan langkah kita?

Pertanyaan demi pertanyaan bodoh selalu hadir menyusup ke dalam pikiran.  Dan kau tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan tersebut.  Hanya ada aku yang berusaha menenangkan jiwa sendiri.  Menemukan jawaban atas pertanyaanku, walaupun semua kebohongan belaka.
Kurasa sudah waktunya untuk melepaskanmu.  Mempertahankanmu tidak membuatku bahagia, tidak juga membuatmu tidak akan pergi.  Kau hanya bersikap seolah kau ada disana, tetapi tidak pernah ada saat kubutuhkan.
Lalu, apalah arti kehadiran semu tanpa kasih yang kuinginkan darimu?

Akhirnya aku mengerti.  Melepaskanmu mungkin jalan terbaik.  Membiarkanmu menguap bersama embun di pagi hari.  Dan aku akan mulai belajar untuk menyukai musim lainnya selain musim dingin.

Saturday, December 24, 2011

Wedding Dress


Suara dentingan bel di pintu masuk membuyarkan konsentrasi Elva.  Wanita bertubuh mungil, rambut sebahu tersebut sedang menyiapkan gaun pengantin pelanggannya.  Sebuah long dress berbentuk kembem dengan pita besar menghiasi bagian belakang.  Menjuntai dari pinggang hingga menyentuh permukaan lantai.
Gaun pengantin tersebut sudah hampir selesai pembuatannya.  Hanya tinggal dipoles sedikit jahitan renda di bagian pinggul.  Walaupun pengerjaan setiap gaun dilakukan oleh Elva sendirian dalam waktu singkat, para pelanggan selalu merasa puas dengan hasilnya.
Maka dari itu, tidak heran jika toko baju pengantin yang berada di pusat kota.  Diantara jejeran butik-butik baju ternama mendapatkan kesan tersendiri di mata para pengunjung ataupun orang-orang yang melewatinya.
Elva menyunggingkan senyuman ramah saat melihat seseorang melangkah masuk ke dalam toko yang baru dibuka satu tahun lalu.  Senyuman selalu membuatnya terlihat ramah di mata setiap pengunjung.  Dan hal tersebut bisa menjadi salah satu kunci kesuksesan toko miliknya.
Seorang wanita muda berparas manis melangkah masuk.  Sendirian tanpa ada yang menemani.  Dari arah tempat Elva berdiri, dia berkata, “Selamat datang.  Ada yang bisa saya bantu?”
Wanita muda tersebut mengangkat tangan kanannya, “Nanda.”
“Elva.” balasnya, menghentikan kesibukkan tangannya dan membalas jabatan tersebut.
“Aku mendapat rekomendasi teman bahwa kau dapat membuatkan gaun pengantin sesuai keinginan pelanggan.”
“Di toko ini, anda dapat memesan gaun pengantin yang sudah tersedia.” Elva menunjuk ke arah depan, dimana sederet panjang gaun pengantin tergantung di dalam lemari kaca bening, “Ataupun memesan gaun pengantin sesuai konsep anda.”
“Aku menginginkan sebuah gaun pengantin sederhana, tetapi dapat memancarkan kebahagiaan pemiliknya.  Sebuah gaun yang membuat setiap tamu memusatkan pandangannya padaku.” cerita Nanda mengikuti Elva ke dalam kantor.
Elva mempersilahkan Nanda duduk di atas sofa panjang bewarna putih di dalam ruangan yang tidak terlihat seperti kantor sama sekali.  Ruangan tersebut lebih tepat diberi sebutan studio. 
Karna di dalamnya hanya terdapat sebuah sofa panjang, sebuah meja kecil tempat meletakkan vas bunga dan beberapa kertas HVS yang berserakan diatasnya.  Sementara ruang kosong lainnya diambil ahli oleh manekin-manekin yang berbalut gaun pengantin jadi, setengah jadi ataupun gaun pengantin yang baru akan dibuat.
Dengan cekatan, Elva menggambar sebuah sketsa diatas selembaran HVS.  Dan sketsa gaun pengantin tersebut selesai dalam kurun waktu sepuluh menit.
“Bagaimana dengan sketsa ini?  Apakah anda menyukainya?” tanya Elva, menyerahkan kertas HVS dari tangannya pada Nanda.
Anggukan wanita tersebut memberikan jawaban puas atas hasil kerja Elva.  Dia terlihat bahagia dengan mata berbinar-binar.
“Aku menyukainya.  Aku menginginkan gaun pengantin sesuai sketsa ini saja.” Seru Nanda, menyerahkan kembali sketsa pada Elva.
“Baiklah.  Datanglah seminggu kemudian untuk fitting.” Elva memberitahu sambil mengantarkan Nanda ke arah depan tokonya.
“Terima kasih, Elva.  Kau perancang pertama yang dapat memberikan gaun pengantin yang kuinginkan.” Nanda memberikan pelukan singkat sembari kembali tersenyum bahagia.
“Sudah kewajibanku.” Elva tersipu malu atas sanjungan Nanda, “Anda datang sendirian?  Tidak bersama calon suami anda?”
“Dia menunggu di luar.” Nanda menunjuk ke arah seorang lelaki yang terlihat sibuk berbicara dengan ponsel di tangannya.
Senyuman di bibir Elva perlahan memudar seiiring dengan gerakan lambat memutar lelaki tersebut ke arahnya.  Bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya.  Perasaan dikhianati, benci, marah bercampur menjadi satu dalan seruan gemuruh hatinya.
Tanpa terasa, bulir-bulir airmata mengenang di balik ekor matanya.  Menunggu aba-aba pemiliknya untuk bergulir turun.  Namun, sebelum bulir-bulir air mata mengalir turun, Elva segera menyekanya.  Berharap Nanda tidak menyadari perubahan air mukanya.
“Sampai jumpa minggu depan.” Nada-nada getir menyertai lambaian tangan Elva pada Nanda yang kini berlalu di balik daun pintu.
Saat itu juga, Elva roboh ke lantai.  Tubuhnya bergemetar hebat menahan nangis.  Bahkan, dia hampir tidak dapat merasakan tubuhnya sendiri.  Seakan rasa sakit mengikat seluruh anggota tubuhnya.
Dia menangkupkan wajahnya ke dalam kedua lututnya.  Kedua tangannya terlingkar erat memegangi kedua lutut tersebut.  Air mata mengalir turun tidak henti.  Sesekali, sesengukan terdengar diantara tangisannya.
Mengapa harus dia?
***

Sekitar satu jam-an, Elva menghabiskan waktu untuk memperbaiki sketsa hasil rancangannya siang ini.  Pemilihan materi pun dilakukan dengan teliti.  Berbagai aksesoris tambahan disiapkan di meja lain.  Untuk memudahkannya sewaktu menjahitkan berbagai tambahan aksesoris ke atas permukaan gaun buatannya.

Merasa sedikit terganggu dengan rambut sebahu miliknya, Elva segera mengikatkan tinggi-tinggi rambutnya ke atas.  Hal yang tidak pernah lagi dilakukannya sejak kepergiaan Michael.  Dan, tiba-tiba saja, sepotong kenangan itu kembali hadir.
Saat itu, Michael menatapnya lekat-lekat untuk beberapa saat.  Tidak bersuara ataupun bergerak.  Elva mengeritkan dahinya, bingung.  Lalu dengan penasaran dia bertanya, “Kenapa menatapku seperti itu?   Ada yang salah dengan penampilanku?” Elva melihat ke arah pakaiannya, mencoba menemukan keanehan yang telah menyita perhatian Michael.
Lelaki itu hanya menggeleng pelan, “Tidak ada yang salah.  Kau terlihat cantik sekali saat mengikat seluruh rambutmu ke atas.  Aku menyukainya.  Lain kali, jika sedang bersamaku, ikatlah rambutmu.”
Elva tertawa lebar.  Tidak menyangka Michael dapat mengatakan hal menggelikan seperti itu.

Sekarang, dia merindukan perkataan itu.  Sangat merindukannya.  Terkadang, perkataan orang ada benarnya.  Kebahagiaan selalu datang dari hal kecil.  Dan saat kebahagiaan menghampirimu, kau harus memegangnya erat-erat.  Karna kau tidak pernah tahu kapan dia akan melarikan diri dari genggaman hatimu.
Elva menggelang pelan kepalanya.  Berusaha menghilangkan potongan kenangan masa lalu yang menyakitkan tersebut.  Dengan memokuskan diri pada pekerjaannya, Elva mengguting material kain yang telah dipilihnya menjadi dua bagian.  Lalu, tanpa membuang waktu, dia mulai membentuk guntingan mengikuti potongan sketsa yang telah digambarnya diatas karton.
Disaat dia telah selesai menggunting setiap potongan kain sesuai bentuk sketsanya, potongan kenangan lain kembali menghampirinya.

Waktu itu, senja sedang menghiasi keadaan langit di luar sana.  Hembusan angin sepoi dapat menidurkan setiap orang yang dibelainya.  Elva membaringkan kepalanya di salah satu sisi bahu Michael.  Keduanya sedang menikmati keindahan senja kota, ditemani secangkir kopi susu hangat.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Michael, meletakkan cangkir kopi di meja kecil di hadapannya.
“Aku sedang memikirkan betapa bahagianya aku jika dapat melewati waktu seperti ini, setiap harinya bersama denganmu.” Elva meneguk sekali kopi susunya.
“Kalau begitu, menikahlah denganku.  Maka kita dapat melewati waktu seperti ini, bersama selamanya.” Michael berkata dengan nada lembut, tidak terlihat bercanda sama sekali.
Elva menegakkan kepalanya.  Mengalihkan pandangannya ke arah Michael.  Dari tatapan matanya, dia terlihat bahagia sekaligus ragu.  Selama mereka berpacaran, Michael tidak pernah menyinggung masalah pernikahan.  Baginya asalkan dapat bersama, sudah lebih dari cukup.  Tidak perlu mengikatkan diri pada tali pernikahan.
“Kau sangat pandai bercanda.” ucap Elva kemudian, berusaha tertawa untuk menutupi kekagetannya.
“Aku serius, Elva.  Mungkin ini bukan lamaran terbaik yang pernah kau dengar.  Tapi, aku bersungguh-sungguh.  Menikahlah denganku.” Michael mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik kantong kecil kemeja yang terletak di bagian samping dadanya.
Elva menatap Michael tidak percaya.  Walaupun begitu, dia telah menyediakan jawabannya.

Buliran demi buliran air mata mengalir turun mengikuti irama tangan Elva yang sedang berusaha menyatukan potongan demi potongan kain.  Dilihat dari keahlihannya dalam menjahit gaun pengantin, bukanlah mustahil untuk menyelesaikan sebuah gaun dalam waktu semalaman.  Hanya dalam waktu beberapa jam, bagian atas dari gaun pengantin Nanda telah selesai. 
Waktunya untuk menjahitkan bagian ekor gaun pengantin beserta aksesoris lainnya untuk memperindahkan keberadaan gaun tersebut.  Masih berperasaan gundah, Elva berusaha menjahit bunga-bunga kecil dari materi berbahan renda. 
Siapa yang dapat menyangka bahwa ternyata dia membuatkan gaun pengantin untuk wanita yang akan menikahi mantan calon suaminya.  Elva yakin tidak ada wanita lain di dunia ini yang sebodoh dirinya.
Dan kehadiran potongan kenangan lainnya juga tidak mau kalah untuk meramaikan pikiran Elva.

Tidak lama setelah lamaran Michael, pertengkaran demi pertengkaran kecil mulai menghiasi hari-hari mereka.  Dimulai dari kesibukkan masing-masing hingga perbedaan pendapat yang tidak pernah muncul sebelumnya.
Perang dingin pun berkumandang diantara mereka.  Perang dingin paling parah dalam sejarah hubungan mereka.  Tidak berbicara berhari-hari.  Tidak mengabari keadaan masing-masing, menjadi pihak dari kedua belah pihak.  Hingga akhirnya, Michael memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka.  Saat itu juga, Elva merasakan hatinya hancur berkeping-keping.
Dengan segala cara, dia berusaha memohon Michael untuk tidak membatalkan pernikahan mereka.  Dia berusaha memberikan berbagai solusi untuk menyelesaikan perang dingin diantara mereka.  Bahkan Elva bersedia mengalah setiap kali mereka bertengkar.
Namun, permasalahannya bukan terletak pada Elva.  Melainkan Michael.  Pertengkaran dingin selama berhari-hari membukakan mata Michael bahwa hubungan mereka telah mencapai tahap dingin.  Cinta telah meninggalkan hatinya tanpa dia sadari. 

Elva mencampakkan gunting dari tangannya ke atas lantai.  Dia berteriak histeris.  Merasa kecewa, dikhianati oleh seseorang yang telah berjanji akan membahagiakannya seumur hidupnya.  Dia menjambak sendiri rambut dengan kedua tangannya.  Berharap bahwa dia akan segera terbangun dari mimpi buruk.  Berharap bahwa Michael masih bersamanya.  Berharap bahwa pernikahannya mereka tidak pernah dibatalkan.
Lalu, potongan kenangan paling terakhir menunjukkan diri.

Beberapa minggu setelah mereka berpisah, Michael memberitahu Elva bahwa dia akan pindah kerja ke negara lain.  Dia berharap Elva dapat menemukan kebahagiaannya sendiri.
“Kenapa kau harus begitu padaku?  Bukankah selama ini kita bahagia?  Bukankah selama ini kita selalu berbaikan setela bertengkar?  Mengapa harus berpisah kali ini?  Mengapa harus membatalkan pernikahan kita?” Elva menangis terisak, berharap masih sempat meluluhkan hati Michael untuk tidak membatalkan pernikahan mereka.
“Aku minta maaf.”
“Jangan hanya meminta maaf.” Elva berteriak, “Berikan aku satu alasan.  Mengapa harus membatalkan pernikahan kita?”
“Aku telah mengkhianatimu.  Aku memiliki orang lain dihatiku.”
Pengakuaan tersebut terdengar seperti musik bunuh diri bagi Elva.  Sejak percakapan terakhir tersebut, mereka kehilangan kontak.

Elva menghembuskan nafas panjang saat gaun rancangannya terpajang indah di salah satu manekin di hadapannya.  Gaun renda dihiasi pita menjuntai indah ke lantai.  Sedangkan bagian atasnya diberikan sedikit sentuhan gaya Yunani. 
Akhirnya, gaun pengantin tersebut berhasil diselesaikannya.  Butuh kekuatan lebih untuk menjahit setiap potongan demi potongan kain.  Butuh keberaniaan besar untuk menghadapi kenyataan bahwa gaun pengantin tersebut bukan dibuat untuk dirinya sendiri.
Memang benar, Elva telah mengganti hasil rancangan yang ditunjukkan pada Nanda siang ini.  Dia telah membuat sebuah gaun pengantin berdasarkan suara hatinya.  Sebuah gaun pengantin impian yang ingin dikenakannya saat bersanding dengan Michael di pelaminan.
Sebuah masa depan yang tidak akan pernah tercapai.
***
Seminggu kemudian, Nanda menepati janjinya.  Wanita itu mendatangi Elva pada sore hari, disaat toko mulai sepi pengunjung.  Namun, kali ini dia tidak sendirian.  Seseorang juga ikut menemaninya.  Dan disaat Elva selesai memakaikan gaun pengantin rancangannya pada Nanda, seorang lelaki berjalan mendekati mereka berdua.
Michael tertengun, tidak percaya pada pandangannya.  Ternyata dunia begitu sempit.  Namun, dia tidak menunjukkan reaksi lainnya selain seulas senyum tipis.
“Lama tidak berjumpa” ucap Michael seakan sedang berjumpa dengan sahabat lama.
“Lama tidak berjumpa.” Balas Elva, tersenyum sebelum kembali berkata, “Selamat atas pernikahanmu.”
Mencintai seseorang tidak harus memilikinya.  Selama orang itu berbahagia, maka kau juga akan berbahagia.  Elva telah mengerti maksud dari perkataan tersebut.  Dan dia merestui pernikahan Michael dan Nanda.
Dia yakin, Michael juga akan merestuinya saat dia menemukan kebahagiaannya sendiri.  Di masa mendatang.


Monday, December 5, 2011

Not A Love Story





Sayup-sayup, terdengar derik daun pintu terbuka.  Detik itu juga, aku berharap bahwa orang yang membuka pintu tersebut adalah kamu.  Tapi, harapan itu menguap seketika, sesaat setelah Ray mengangkat sebelah tangannya, tersenyum singkat padaku.
Sedikit ragu, dia berjalan mendekati posisi dimana aku menyandarkan diri.   Tubuhku diam mematung.  Hanya melalui ekor mata, aku meneliti setiap langkah kaki Ray yang semakin lama semakin memperpendek jarak diantara kami. 
Sebelum sebelah tangan Ray menggapai pundak yang mematung sejak semalam.  Seperti raga tanpa jiwa, aku segera membuang pandangan lebih jauh.  Membiarkan pikiranku melayang, menembus keluar sisi jendela bening berkabut atas embun pagi yang belum mongering.
Secara tidak langsung, aku sedang memberitahu Ray bahwa aku sedang ingin sendiri.  Tidak ingin diganggu.  Kepergianmu secara sepihak masih belum dapat kuterima sepenuhnya.  Aku ingin berteriak, menolak keputusan yang masih belum bisa diterima akal sehatku.
“Aku membawakan bubur kepiting kesukaanmu.  Makanlah selagi panas.” Ray berucap lembut menatap lekat padaku.
Aku bergeming.  Berharap Ray menghilang seketika itu juga.  Bukannya aku tidak mengharapkan kehadirannya.  Bukannya aku tidak berterima kasih atas segala perhatiannya.  Bukannya aku tidak dapat merasakan cintanya yang bertepuk sebelah tangan padaku.
Hanya saja, orang yang ingin kulihat saat ini.  Suara yang ingin kudengar saat ini bukanlah suara Ray.  Aku menginginkanmu disini bersamaku.  Berdiri di posisi tempat Ray berpijak sekarang.  Memegang kukuh pundakku dan menyesali setiap keputusan yang telah kau ucapkan semalam.
Jika saja kau memohon padaku detik ini juga.  Aku tidak keberatan untuk melupakan ciuman antara kamu dan Rere di antara lorong sepi kantor.  Aku juga tidak keberatan menutup sebelah mata atas puluhan hubungan gelapmu di belakangku.  Aku sama sekali tidak keberatan kau menduakan cintaku. 
Asalkan kau selalu kembali padaku.  Pada akhirnya kau memilih aku sebagai tempat labuhan terakhir.  Hanya sesederhana itu.  Aku tidak meminta lebih.  Namun mengapa kau tidak dapat menyanggupinya?
Gerakan tubuh Ray menarik kembali diriku yang termenung tidak jelas.  Memikirkan segala kemungkinan bahwa kau akan kembali padaku.  Seperti masa-masa sebelumnya.  Karna dalam hati aku selalu yakin, bahwa kau akan kembali padaku.
“Tidak ada gunanya memikirkan Dean.  Dia tidak akan pernah kembali.” ucapan Ray mengiris setiap lapisan hatiku tanpa ampun.  Tanpa menyisakan secelah ruang untuk menyembuhkan kepedihan tersebut.
“Dia selalu kembali padaku.  Kali ini, aku yakin, dia juga akan kembali.  Aku hanya perlu menunggunya.” Aku menjawab yakin.  Namun, kenyataannya aku tidak yakin sama sekali.
Kalimat terakhir yang kamu ucapkan sebelum menutup pintu masih tergiang jelas di telingaku.  Kamu mengatakan bahwa, “Aku mencintainya.”
Kata yang tidak pernah kau ucapkan sekalipun padaku selama kebersamaan enam tahun kita.  Kata yang sangat ingin kudengar setiap kali kau membelai lembut rambutku.  Menarikku ke dalam pelukan hangatmu.  Mendaratkan sebuah ciuman nakal pada bibirku.
Dan saat kau mengatakan bahwa, “Aku mencintainya”, sebagian diriku berkata bahwa semuanya sudah berakhir.  Namun, sebagian diri lainnya masih bersikukuh bahwa kau akan kembali.
“Dean sudah memutuskan untuk menikahi Rere.  Dia telah menceritakan segalanya padaku.  Selama ini, perasaan yang dia rasakan padamu bukanlah cinta.  Dia hanya tidak dapat melepaskanmu karna merasa berhutang padamu.  Kau terlalu baik padanya.”
“Sudah cukup.  Hentikan omong kosongmu.  Dean tidak mungkin setega ini padaku.  Aku tahu dia…….dia…….mencintaiku.” kata terakhir itu tidak dapat kuucapkan.  Tidak peduli seberapa keras aku mencoba.
Ray menatap nanar padaku.  Digerakkan sebelah tangannya, memegang wajahku dan memutar pandanganku hingga bertemu dengan pandangannya, “Di saat seseorang menemukan cinta sejatinya.  Dia harus mengambil keputusan.  Memilih jalan terbaik bagi dirinya.  Dan Dean memilih untuk meninggalkanmu.  Dia berharap kau dapat menemukan orang yang dapat mencintaimu dengan sepenuh hati, Nadia.”
Ray terhenti, tidak melanjutkan perkataannya.  Menunggu bagaimana reaksiku.  Tetapi, aku hanya mematung.  Menatap kosong ke dalam bola mata kecoklatan milik Ray.  Tatapan matanya selalu terasa teduh.  Memberikan perasaan bahwa aku dapat berlindung di dalamnya.  Bahwa setiap kali aku bersamanya, aku tidak akan merasakan kesedihan.  Hanya aka nada kebahagiaan.
“Selama ini aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Nadia.  Aku selalu menunggu dengan sabar di sampingmu.  Berharap bahwa suatu hari kau akan melihat ke arahku.  Memberiku kesempatan untuk membahagiakanmu.” Ray mengucapkan setiap kata tersebut dengan sunggh-sungguh.  Aku dapat merasakannya. 
Namun, masalahnya bukan terletak padanya.  Masalahnya terletak padaku.  Tidak peduli seberapa besar cintanya padaku, aku tetap tidak dapat membalas perasaannya. 
“Aku mencintai Dean.” ucapku datar, tanpa belas kasih.
Kemudian, aku kembali memutar badanku ke samping.  Menelungkupkan wajahku ke dalam lipatan kedua lututku.  Aku tidak sanggup menatap tatapan kecewa milik Ray.  Aku tidak bermaksud untuk menyakitinya.
Namun, jika aku tidak tegas, pada akhirnya aku dan Ray akan berakhir seperti hubungan aku dan kamu.  Dan, aku tidak ingin kejadian itu terulang untuk kedua kali.  Karna aku tidak ingin menyakiti seseorang seperti Ray.
Bukankah hidup ini lucu?  Aku mencintai seseorang yang mencintai orang lain.  Sementara orang yang mencintaiku harus menerima kenyataan bahwa aku mencintai seseorang.

Wednesday, August 24, 2011

Choice


We have to make a choice for everything happening in the world.
Just like a love possible going to disappear.
The only way you can do is to forget her/him
or let her/him to forget you

Saturday, August 13, 2011

Breeze


Breeze of morning air, let the untold reminiscence travel back.  
Regret and grateful at the same time
Thank you for being there
Be part of my life


Monday, June 20, 2011

Tik Tok



Tik Tok
Time flies too fast for us to be reliazed
As the sun set and rise at the same time and place
The season keep changing in order
And memoir being replaced one after another

Tik Tok
Today I might hear your laughter
As tomorrow I will hug you tightly and calm you down for the tears
Goodbye has always been the hard word to be told
Instead of it, I would like to say see you later

Tik Tok.......
So, see you later.

Saturday, June 4, 2011

Sejauh





"Slama ini, kau terus berjalan dan berjalan.  Tanpa pernah menoleh.  Sedangkan aku terus mengejar dari belakang.  Akhirnya aku tersadar.  Sejauh apapun aku berlari.  Seberapa banyak langkah yang kutempuh.  Selamanya.  Aku tidak akan pernah menggapaimu.  Karna kau tidak pernah berhenti untuk menungguku."

Thursday, May 5, 2011

Pengharapan


Aku selalu bertanya pada malam.  Mengapa ia selalu terlihat senyap, hening, sunyi atau apapun itu namanya.  Bahkan disaat bulan menemaninya.  Kerlipan cahaya bintang-bintang membahana.  Malam tetap saja terlihat kesepian.

Seperti aku.  Mungkin.  Tanpamu, segala kehangatan selalu pudar mengikuti alur waktu yagn tidak pernah berhenti, menoleh untuk sedetik.  Tidak juga berhenti, menunggu aku yang sedang berlari mengejar.  Lalu dimanakah letak kesempurnaan malam, disaat aku sendiri, tanpa dirimu?

Orang menyebutku naif, saat aku berharap mesin waktu tersedia, kantong doraemon diperjualbelikan dan remote penghenti waktu.  Namun, apakah aku salah?  Aku tidak pernah meminta apapun dari kehidupan.  Kecuali satu hal.  Menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu.

Karna saat bersamamu, aku bahagia.

Sunday, April 17, 2011

Untitle

Aku tidak pernah meminta lebih darimu.  Permintaanku pun sangatlah sederhana.  Sesederhana aku mecintaimu dan berharap kau juga mencintaiku.
 
Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa permintaan sesederhana ini pun tidak bisa kau penuhi.

Lalu, masih pantaskah kau memintaku untuk terus mencintaimu?

Saturday, April 9, 2011

Kenangan



Kenangan tetaplah kenangan
Sesuatu yang terlah dilewati
Tidak mungkin untuk kembali ke masa lalu.

Ada kenangan yang memang harus dikenang
Ada kenangan yang memang harus dilupakan
Apapupun keputasannya
Kenangan tetaplah kenangan

Selamanya tidak akan pernah berubah

Thursday, April 7, 2011

Perjalanan


Secercah sinar memaksa masuk
Menyadarkanku pada kenyataan
Bahwa hidup tidak seindah goresan cerita dongeng
yang selalu berakhir dengan bahagia

Hidup bagaikan sebuah perjalanan panjang
Tidak ada yang pasti di dalamnya
Bergantung pada diri sendiri
menuju setitik cahaya di ujung jalan


Sunday, April 3, 2011

Saat Hujan Turun

Aku kembali menatap ke arah jendela yang terlihat tepat di hadapan mataku.  Di luar sana, hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan beranjak pergi.  Perlahan, suara halilintar menyelingi.  Membuat suasana yang dingin ini semakin terasa kelam.
Saat salah satu pelayan di café ini menghampiriku, aku tersenyum padanya.  Dia bertanya apakah aku ingin menambah pesanan karna setengah jam lagi last order.  Aku menggelengkan kepala dengan pelan dan membalas bahwa aku akan pergi dalam waktu beberapa menit lagi.
Sebenarnya, aku tidak punya alasan khusus.  Mengapa setiap kali hujan turun, aku selalu memilih café ini untuk menghabiskan waktu.  Terkadang hanya sebentar, terkadang dalam kurun waktu beberapa jam.
Mungkin sebagian dari diriku ini mengharapkan kehadiran dia. Seseorang yang kujumpai beberapa tahun yang lalu.  Jika kau bertanya padaku, apakah aku mengenalnya, maka aku akan menjawab tidak.
Itulah yang sebenarnya.  Aku sama sekali tidak mengenalnya.  Kami hanya pernah menghabiskan waktu bersama selama berjam-jam pada hari itu saja.
Saat hujan turun dengan derasnya.

***
Waktu itu, hari masih sore.  Sekitar pukul tiga sore.  Aku memang meminta izin pulang kantor lebih awal saat itu.  Aku merasa sedikit tidak enak badan.  Namun, baru beberapa langkah aku lalui, hujan menghujamiku tanpa rasa ampun.
Membuatku terpaksa memasuki sebuah café mungil di sudut jalan. Dengan enggan, aku menghabiskan waktu menunggui hujan reda sembari menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang kubawa pulang.  Meja berukuran persegi dengan taplak meja biru muda berenda terlihat penuh.  Beberapa dokumen, agenda serta laptop kesayanganku memenuhi setiap inchi dari meja itu.
Bahkan saat pelayan yang melayaniku datang membawakan pesananku, aku hanya tersenyum malu padanya.  Karna tidak ada tempat kosong yang tersisa.  Hingga pada akhirnya, dia merapatkan sebuah meja lagi yang terlihat di sudut café.
Aku mengucapkan terima kasih sembari menyuruhnya menaruh pesananku di meja yang satu lagi.  Dalam waktu beberapa jam ke depan, aku tenggelam dalam pekerjaanku.  Hingga seseorang membuyarkan seluruh konsentrasiku.
Dia bertanya padaku apakah dia boleh duduk di salah satu kursi yang ada di hadapanku, karna seluruh kursi ataupun meja yang tersedia di café ini sudah terisi penuh.  Dengan sekali pandang, aku menyapukan tatapanku pada seluruh isi ruangan.  Yang memang pada kenyataannya kini sudah dipenuhi orang-orang yang sama denganku, menghindari hujan.
Aku mempersilahkannya duduk, lalu kembali pada pekerjaanku.  Suasana menghening sesaat.  Sebelum pada akhirnya, dia membuka pembicaraan dengan bertanya apa yang sedang kukerjakan. 
Aku hanya menjawab sekedarnya.  Dan entah bagaimana dan dimulai darimana, aku-dia, terlibat pembicaraan yang cukup panjang.  Kami terlihat seperti dua orang yang bersahabat baik sejak lama.
Bercerita seakan begitu banyak cerita yang harus diceritakan pada satu sama lain.  Sesekali bercanda seakan bumbu itu diperlukan dalam pembicaraan kami yang tidak terkesan berat sedikitpun.  Bahkan kami tidak kehabisan topik pembicaraan. 
Dengan mudahnya, kami berganti dari satu topik ke topik yang lain.  Tanpa sungkan kami menyambungi kalimat, perkataan satu sama lain.  Tertawa dan saling mengejek tanpa ada tidak enak.  Bahkan kami sempat bercanda dengan beberapa kesamaan yang kami miliki.
Caramel macchiato.  Buku sastra.  Cuaca mendung berawan.  Musik jazz. 
Dan pertemuan singkat itu harus kami akhiri saat seorang pelayan memberitahukan bahwa café akan segera ditutup dalam kurun waktu lima belas menit.  Serentak, kami menatap ke arah jam tangan masing-masing yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Waktu yang panjang akan terasa begitu singkat.  Saat kamu menghabiskannya dengan orang yang tepat, suasana yang mendukung serta pembicaraan yang tak kunjung berakhir.  Berharap bahwa waktu akan berbaik hati dan berjalan lebih lambat dari yang seharusnya.
Jujur saja, disaat dia melambaikan tangannya padaku dan masuk ke dalam taksi, aku merasa sedikit kehilangan.  Aku tidak tahu dimana kantornya.  Apa pekerjaannya.  Bahkan yang paling parah, aku tidak bertanya siapa namanya.
Namun, aku merindukannya.

***
Aku berdiri dan berjalan ke kasir untuk membayar.  Di luar sana, hujan sudah tidak selebat tadi, tapi tetap saja keadaan langit tidak dapat membuatku menerka apakah hari sudah beranjak dari sore ke malam.
Aku kembali tersenyum kecil sebelum beranjak keluar dari café tersebut.  Dengan lambat, aku membuka payung besarku.  Berharap bahwa dia akan berjalan datang dari tikungan jalan dan melemparkan sebuah senyuman hangat padaku.  Bertanya bagaimana kabarmu dan mengajakku untuk menemaninya hingga hujan benar-benar reda.
Terkadang, saat kamu terlalu merindukan seseorang, tidak peduli seberapa sedikit waktu yang tersisa.  Seberapa kecil kesempatan yang ada, kamu tidak akan pernah berhenti berharap.  Pada sebuah keajaiban yang mungkin saja terjadi di dalam setiap detik selama harapan itu masih ada.
Mungkin aku terlalu banyak berharap pada pertemuan yang tidak disengajai.  Percakapan yang menghangatkan hati di dingin menyergap.  Perkenalan yang tidak membutuhkan nama.  Semua hanya terjadi pada saat itu.
Saat hujan turun.

Thursday, February 17, 2011

The Story That Only I Didn't Know

Di luar sana, angin berhembus cukup kencang.  Spanduk-spanduk yang terpampang di jalanan terus berkibar sembarangan.  Dari kejauhan, terlihat seakan sedang melambai ke arah para pejalan kaki yang sedang mempercepat langkah mereka. 
Sebentar lagi, kedudukan musim gugur akan tergantikan oleh kedatangan musim dingin.  Walaupun masih berada diantara peralihan musim, namun angin yang bertamu cukup dingin di malam harinya.
Yan Er mengeluarkan sebuah syal dari tas selempangnya.  Tanpa membuang waktu, dengan cekat, dia melilitkan syal itu ke lehernya.  Hari sudah semakin malam.  Jika dia tidak segera pulang, mungkin saja tubuhnya tidak akan mampu menahan udara dingin di malam hari. 
Seandainya saja dia tidak lupa mengambil jaketnya sewaktu berangkat kerja, mungkin sekarang ini dia masih bisa berjalan santai.  Sesekali berhenti sejenak.  Mengamati semburat percampuran warna jingga, putih yang segera diliputi malam yang mulai memanggil.
Sejenak, Yan Er mendongakkan wajahnya ke atas.  Seulas senyum tipis menghiasi bibirnya.  Seketika itu juga beberapa memori bergantian memenuhi isi kepalanya.  Itulah saat-saat bahagianya.
Beberapa detik kemudian, dia tersadar dari lamunannya.  Sesaat sebelum menurunkan pandangannya, dia kembali melihat matahari yang sudah tidak tampak lagi.  Meninggalkan beberapa guratan cahaya yang akan segera menghilang.  Dengan perasaan bahagia yang memenuhi relung hatinya, Yan Er meneruskan kembali langkah kakinya. 
Apakah dia akan menyukai kejutan yang akan kuberikan?
Pikiran itu yang menemani Yan Er sepanjang perjalanan pulang.


Hanya dalam waktu sejam, Yan Er sudah selesai menata segala sesuatunya.  Khusus untuk hari ini, dia sudah menghabiskan seminggu waktu persiapan.  Membeli segala keperluan.  Merancang kejutan yang akan diberikan.  Serta memilih hadiah yang disukai orang itu.  Seseorang yang memiliki ruang special di tengah hatinya.  Seseorang yang bernama Hao Feng.
Di atas meja makan berbentuk persegi yang dihiasi taplak putih berrenda, Yan Er meletakkan sebuah kue ulang tahun hasil buatannya di tengah.  Lalu di sebelah kanan dan kiri diletakkan sebuah piring lengkap dengan gelas wine dan peralatan makan lainnya.
Sembari berdendang dengan riang, dia kembali menatap hasil tataannya.  Sesekali menggeser segala sesuatu yang dilihatnya masih belum pas.  Tidak lama kemudian, bunyi alarm terdengar dari arah dapur. 
Setengah berlari, Yan Er memasuki dapur.  Menambahkan beberapa bumbu ke dalam masakannya.  Lalu mencicipinya dengan sendok kecil.  Setelah merasa rasa masakannya sudah pas, dia kembali menutupnya dengan penutup makanan.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8 malam, namun Hao Feng masih belum mengabarinya.  Yan Er tidak ingin berpikiran buruk di hari special ini.  Mungkin dia sedang merampungkan rapatnya.
Setidaknya itulah jawaban seseorang tersebut, saat Yan Er meneleponnya.  Kini, wanita berambut sebahu itu membaringkan dirinya di atas sofa sejenak.  Tubuhnya terasa cukup lelah.  Sebagian diakibatkan pekerjaan yang menupuk di meja kerjanya.  Sebagian dikarenakan persiapan yang dilakukannya sepulang kerja.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.  Ada sesuatu yang lupa dibelinya.  Dengan segera dia mengambil mantelnya dan berlari keluar rumah.


Dengan sebuah tas plastik bergelantungan di salah satu pergelangan tangannya, Yan Er melakukan panggilan.  Namun, tidak ada yang menjawab.  Sekali lagi dia melakukan panggilan, tapi hasilnya tetap saja sama.  Tidak ada yang menjawab.
Hatinya mulai tidak tenang, tapi segala pikiran buruk segera dihilangkannya. 
Dia bukan orang yang tidak menepati janjinya, Yan Er menekankan kalimat itu berkali-kali pada dirinya sendiri.  Dengan sedikit terpaksa, dia tersenyum pada dirinya sendiri.  Berkata pada hati kecilnya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kali ini, dia tidak mempercepat langkahnya.  Dengan harapan bahwa saat dia pulang nanti, Hao Feng sudah berada di dalam rumah dan menyambutnya dengan sebuah pelukan hangat.
Kembali lagi, Yan Er melirik jam tangannya.  Sudah jam 9 malam.  Tidak biasanya Hao Feng rapat hingga selarut.  Hanya pada setiap akhir bulan saja, tunangannya itu mengikuti rapat hingga larut malam.  Dan hari ini jelas bukan akhir bulan.
Dikeluarkannya lagi ponsel dari dalam saku mantel dan kembali melakukan panggilan.  Kali ini bukan hanya tidak dijawab, melainkan ditolak.  Entah mengapa, hati Yan Er semakin tidak tenang.  Apakah benar Hao Feng sedang berada di tengah rapat?
Di seberang jalan, samar-samar Yan Er melihat seseorang yang memiliki wajah mirip dengan Hao Feng.  Namun, orang itu tidak sendirian.  Dia berjalan memasuki sebuah restaurant kawasan elit dengan seorang wanita yang sedang menggandeng lengannya.
Dengan rasa penasaran untuk mencari tahu kebenarannya, Yan Er menyeberang jalan.  Berusaha memastikan bahwa orang itu bukanlah Hao Feng.  Memberikan bukti pada dirinya sendiri, bahwa Hao Feng masih berada di dalam kantor dan memberikan beberapa pengarahkan di dalam rapat.
Namun, saat Yan Er berdiri tepat di depan salah satu jendela restaurant tersebut, dia terdiam.  Hatinya berdegup dengan kencang dan aliran nafasnya tidak terkendali.  Bahkan dia merasakan kini dirinya kesulitan bernafas.
Tidak salah lagi.  Lelaki itu adalah Hao Feng.  Dan dia tidak sedang dalam keadaan rapat dilihat dari segi manapun.  Perlahan, air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.  Kemudian berjatuhan tanpa henti.
Yan Er menutup matanya.  Memohon, berdoa, berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.  Namun, saat dia kembali membuka matanya.  Hao Feng masih tetap berada disana, membuka sebuah kotak bewarna hitam.  Memakaikan isinya pada wanita yang sedang duduk di depannya.
Saat itu juga, Yan Er merasa nafasnya terhenti.  Kepalanya terasa berat dan pandangannya mulai menggelap.  Tubuhnya mulai terasa berat dan dia bisa merasakan bahwa sebentar lagi, dia akan segera roboh.
“Anda tidak apa-apa?” tanya salah seorang pejalan kaki yang menggenggam erat lengannya dan menahannya supaya tidak jatuh.
“Tidak apa-apa.” Yan Er mencoba tersenyum dan menyandarkan tubuhnya pada jendela restaurant tersebut.
“Anda yakin?” tanya pejalan kaki itu.
“Iya.  Aku tidak apa- apa.  Terima kasih.” Kali ini Yan Er melepaskan genggaman pejalan kaki tersebut.
Lalu, dia membalikkan badannya melihat ke dalam arah restaurant sekali lagi.  Di depannya terlihat adengan Hao Feng yang sedang menuangkan segelas wine ke dalam gelas dan melakukan cheer dengan wanita di depannya yang tidak berhenti tersenyum.
  Yan Er mengambil nafas panjang dan mengambil langkah meninggalkan mereka.


Butuh waktu lama bagi Yan Er untuk menenangkan dirinya sendiri.  Kejadian yang baru saja dilihatnya masih meninggalkan segores bekas luka yang mendalam di hatinya.  Berlinangan air mata, dia mengambil sendok yang tersedia di atas meja dan mulai menyendok penuh kue ulang tahun tersebut ke dalam mulutnya.
Setiap kali dia menyendoki dirinya sendiri, detik itu juga, dia meneteskan air mata.  Dia tidak pernah menyangka bahwa kue ulang tahun yang dibuatnya sendiri harus dihabiskannya sendirian.
Yan Er berhenti sejenak, dengan mulut dan wajah belepotan krim kue, dia menangis, kemudian menelungkupkan wajahnya ke atas meja.  Menangis sejadi-jadinya.  Berteriak keras, mengeluarkan kesakitan yang dia rasakan diantara retakan relung hatinya.
“Beginikah caramu mencintaiku, Hao Feng?” bisik Yan Er pada dirinya.
Ditatapnya cincin polos yang melingkar manis diantara jari tengah dan jari kelingkingnya.  Lalu, dengan berat hati, dia mengeluarkan cincin itu dari jari manisnya.  Meletakkannya diatas meja lalu menuliskan sesuatu diatas secarik kertas.  Dan menyelipkannya di bawah cincin.
Dengan langkah gontai, Yan Er berjalan keluar rumah dan menutup pintu tanpa menolehkan kepalanya.
Semuanya sudah berakhir sekarang.