Wednesday, January 27, 2010

Di Bawah Pohon Sakura


Di bawah pohon sakura,
kau mengungkapkan perasaan hatimu.
Dengan sebuket bunga sakura,
kau memintaku untuk menjadi pacarmu.
Di bawah pohon sakura,
kau berlutut di hadapanku.
Dengan kotak kecil ditanganmu,
kau memintaku untuk menjadi pasangan jiwamu.
Di bawah pohon sakura,
kau pergi meninggalkanku.
Dengan sepucuk surat,
kau memintaku untuk tetap bahagia.

Thursday, January 21, 2010

Hanya Dia




Duduk termenung,
menatap langit.
Tidak ada bintang.
Tidak ada bulan.

Pikiran pun jauh melayang.
Memikirkan dia.
Hanya dia.
Tetap dia seorang.

Tangan yang tidak akan pernah bisa kugapai.
Hati yang tidak akan pernah bisa kutempati.
Pikiran yang tidak akan pernah bisa kuisi.
Haruskah aku menyerah?

Wednesday, January 13, 2010

Namun

Sang Mentari,
kembali terlelap dalam tidurnya.
Namun, hangatnya,
masih terasa di bagian kanan dada.

Sang Hujan,
sudah kelelahan menangis seharian.
Namun, dinginnya,
masih membekas dalam tulang raga.

Sang Awan,
membawa pasukannya bersembunyi.
Namun, bayangnya,
masih berkeliaran tidak menentu.

Sang Angin,
berhembus semakin lama semakin menjauh,
Namun, sentuhannya,
masih tertahan dalam ingatan.

Sang Cinta,
pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Namun, rasanya,
masih terpenjara dalam ruang waktu yang tidak pernah berakhir.

Saturday, January 9, 2010

The Wedding

Dalam balutan baju pengantin putih bermodel kemben, dengan bagian belakang yang menjuntai panjang hingga ke lantai, dia terlihat begitu cantik.
Sisiran rambutnya ditata dengan sederhana, hanya disanggul dan diberi mahkota mutiara besar.
Walaupun sederhana, namun menyiratkan aura simple but elegant.
Hanya satu hal yang membuatku ikut bahagia sejak tadi, yaitu senyumnya.
Dari wajahnya, dia tampak begitu bersemangat menanti hari ini.  Senyum dan tawa selalu menghiasi kedua pipinya yang terlihat sedikit kemerahan.
Ahhh......
Seandainya aku bisa bersama dia, menemani dia menikmati semua kebahagiaan ini.
Aku berjalan mendekat dan semakin mendekat.  Saat aku hendak menggapainya, beberapa temennya bergerak mendahuluiku.
Mereka menghampirinya duluan.  Maka kuurungkan kembali niatku.
Aku duduk di sofa di seberang meja riasnya.  Dari pantulan cermin di dinding, aku dapat melihat raut wajahnya yang memendam rasa malu, akibat gurauan temannya.
Kutatap dia lagi.  Sungguh bahagia.




Beberapa saat kemudian,  beberapa temen yang lain mulai mengajaknya keluar.  Acara pernikahan dia akan segera dimulai.
Seandainya.  Seandainya.  Dan seandainya,aku yang berdiri disana.  Menunggunya berjalan mendekatnya.  Membusungkan dada dan melemparkan senyum terindah, sebagai seorang mempelai pria.


"Kalian keluar dulu.  Aku akan menyusul sebentar lagi.  Aku mau berbicara dengan dia dulu." serunya sambil tersenyum.  Aku tahu dia ingin berbicara denganku.  Mungkin dia takut aku akan bersedih atas pernikahannya ini.


Dia berdiri dan mulai berjalan menuju ke arah, dimana aku terduduk manis. Aku tersenyum padanya.  Dengan tatapan lurus, dia membalas senyumku.
Aku ingin menggapai tangannya.  Namun, dia terus berjalan melewatiku dan berhenti tepat di belakangku.  Tangannya mengambil sebuah bingkai foto.
Lalu dia duduk tepat di sampingku.  Dengan bergantian aku menatapnya dan bingkai foto yang sedang dipegangnya.  Dalam foto itu terdapat sepasang kekasih, yang tidak lain adalah dia dan aku.


"Hari ini aku akan menikah.  Apakah kamu akan merestuiku?  Dia mengusap bagian depan bingkai foto tersebut dengan suara tertahan.


"Pasti.  Aku akan selalu merestui apapun keputusanmu." aku membalas dengan nada rendah


"Jangan khawatir.  Dia cowok yang baik, pengertian dan sangat mencintaiku.  Aku dapat merasakan bahwa cintanya tidak kalah dengan cinta yang kamu berikan padaku." kali ini terdengar suara tawa yang dipaksakan


"Tidak perlu kamu katakan.  Aku bisa melihatnya dari cara dia memandangmu."


"Tapi, sedalam apapun aku mencintai dia, sekuat apapun aku berusaha untuk melupakanmu.  Semuanya tetap sia-sia.  Sebagian hati ini masih merindukan kehadiranmu.  Mungkin yang lebih parahnya, sebagian hati ini telah kamu bawa pergi, sewaktu kamu pergi meninggalkanku disini.


"Maafkan aku, Re."


Dia meneteskan air mata.  Aku sudah tahu sejak awal.  Setiap kali dia menatap foto itu, dia akan menangis.  Entah harus berapa ribu kali aku menasehatinya untuk tidak menangis lagi.


"Tapi sesudah hari ini."  dia menarik nafas, seakan dirinya sudah mengambil satu keputusan penting dalam hidupnya, "Aku berpikir untuk tidak akan berusaha melupakanmu lagi."


Aku terkejut dengan keputusannya, lalu bertanya, "Kenapa?"


"Karena aku ingin kamu tetap berada dalam hati, jiwa dan pikiranku.  Dulu, sekarang ataupun di masa mendatang, aku akan terus mencintaimu untuk selamanya.  Aku tidak peduli, kamu mau bilang aku egois atau bodoh.  Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja."  dia berhenti sesaat untuk mengambil nafas yang panjang.  "Tapi aku berjanji aku pasti akan menjadi seorang istri yang baik baginya."


Aku tersenyum puas dengan perkataan terakhirnya.
"Aku tau kamu akan."


"Aku harus pergi sekarang.  Semua orang sedang menungguku.  Kamu akan melihatku, bukan?  Kamu akan menemaniku berjalan sampai di altar dan menyerahkanku padanya kan?"


"Pasti.  Bukankah aku sudah berjanji?" seruku sambil tersenyum.


Lalu diletakkannya kembali bingkai foto tersebut ke tempat asalnya.  Bersama-sama kami berjalan keluar.


Aku memegang tangannya dengan erat.  Sangat erat.  Karena mungkin inilah kali terakhir aku bisa memegang tangannya.
Beberapa saat, sebelum kami melangkahkan kaki naik ke atas altar, aku mendekat kearahnya dan berbisik,
"Tugasku sudah selesai.  Sudah saatnya aku pergi.  Kamu harus hidup dengan bahagia, walaupun aku sudah tidak bisa berada di sampingmu lagi."
  
Saat tanganku melepaskan tangannya, aku merasa seluruh tubuhku terasa ringan.  Perlahan, seluruh tubuhku mulai memudar.  Aku bisa pergi dengan tenang sekarang. 

Thursday, January 7, 2010

An Umbrella at the Rainy Day


Just now, the sun still shining and sharing its warm to every creatures that live below it. In a minutes, just like how a mood swings, it turns into cloudy day with black clouds everywhere. The thunder keeps calling for the rain. Maybe in an hours, the rain will make a beautiful shower into the earth.

From far away, Carol faster her walk. Wishing that the cloud will be kind-hearted and stopping the rain from coming before she reaches a woody house. That little woody house, located in the middle of forest, is a woody house that Carol built with her father when she moved to this city for the first time.

 Her house is next to the forest, so in her leeway, she will went to the forest alone and made herself comfort. At that time, she hasn't got any friends. The only thing she can did, just playing with the trees.

She called it "Runaway House". Everytime, when she facing a problem at school or even her parents scolded and grumpy at her, the best way to escape was go to the "Runaway Home". Eleven years has passed way since that day. In the last three years, she is sent to another country by her parents to continue her study.

The first day she came back is today. And the first thing she gonna do, is visiting her woody house. Nothing change. Not herself, not her "Runaway House", not her memories. Everything still remains the same as she left. Carol take a seat in a long chair in front of the house.

It's start raining.

And fortunately, it happens after she reached the house.

"I wish I can meet you." Carol talked to herself, lying her body to the whole chair and starts closing her eyes.

 When she is in her way to the dreamland, someone is calling her,

"Excuse me......" Carol opens her eyes slowly and see that a man, around 40 years old, standing beside her and looking at her.

She is aghast and quickly standing up her body.

 "I'm sorry." the man looks regret for distrubing Carol's sleep, "I just want to ask for a permission to take shelter in here till the rain stops. May I, Miss??"

Carol doesn't response at him. She just looked at him deeply and silent. There a strange and weird feeling. But, instead of it, she also feels warm and comfortable.

"If you feel objection, I can go now."

 Carol hold the man's wrist, "It's okay. I don't mind."

She doesn't know how to express herself. But. Her little heart is whispering that she wants to stay a little bit longer with that man.

It's raining for almost one hours and it doesnt seems to be stopped soon. Now, Carol and the man are sitting side by side. Both of them involve in an interesting conversation. Seems like, they are two best friends that haven't met for a long time. They talked about family, hobbies, college and dreams to achieve.

Suddenly, the thunder screams out loud. It's not a big deal for the man, but not with Carol. She close her ears with both of her hand, and tears is slowly rolling down from her face. "Are you okay?" the man looks worry about Carol condition "I hate thunder. It remains me the day my Dad passed away."

Carol stopped for a second and continued, "My Dad and I built this woody house together. Everytime I was scolded by him or my Mom, I will ran to this house. If I didnt get back in an hours, my dad will come, accompany me till I want to went home with him. This house kept a thousand memories of me & my Dad. But......." Carol starts to cry, "At the day he passed away, I weren't by his side. I was in Aussie, in my college, in my class, having my final test. You know what, at the time my Mom told me about the bad news, suddenly it's raining and having a loud thunder. I felt that the rain and the thunder want to let me know that they have my Dad with them in the sky, and I can't do anything to change it. Even the worst part is, I can't fly back to my home, see my Dad for the last time before he was buried, just because I still having my final test for the next five days. I just wish that I can see my Dad for the last time, talk to him and tell him how much I love him."

Carol doesn't know why she can told everything about her family. Telling about his passed away Dad. Feels it's convenient to shares her feeling.

The man smiles and caress Carol's hair softly, "Your father must be very proud having a daughter that loved him so much."

"I wish he know it. When he was alive, I never listen to his words, disobey him many times, and act like I dont need a Dad like him. Now I regret. I should tell him I love him when I still have that change."

 "Your father surely know it. He's hearing to all what you said from the sky."

"Is he?"

 Carol stops her crying. With her bigger eyes, she looked at the man.

"Yes, he will. And if. I said if, okay? If, I am your father, I will tell you that I never regret to have a daughter like you."

"Do you think so?" Carol sweeps away the left tears.

 "Absolutely." the man stand up and continue, "I have to go now."

"But the rain hasn't stop. Why don't you wait till it's stop? I dont mind to accompany you. I feel comfort and warm when I am with you. Maybe it's sound ridiculous, but for a second, I felt that you like my Dad. Your smile. Your words. Your way of speaking."

The man smiles again, "I need to go now. I dont have much time left."

"Wait" Carol go inside the house and come out with an umbrella in her hand, "Take this. It is my Dad favorite umbrella, but I think you need it than me. I can wait till the rain stops and go home right after it."

 "Thank you, Dear." the man take the umbrella.

 Dear.

 It has been long time ago, that her Dad called her in that way. No one ever called her like that. And she just loved the way the man called her.

"Hmmmphh....May I have a hug?"

 "Sure." the man laugh and walk near to Carol, give a big hug, "Just assume that this is a hug from your father. A hug that will give you strength. Remember! Your Dad will always be with you. He's seeing you from the sky right now. So let's give him a big smile starts from now on."

Carol is nodding her head and waving her hand to that man.

Time to say goodbye.


 In the next morning.
Carol just wake up and walks to her front of house, look for a newspaper. She's quite shock when saw a blue umbrella is standing nect to the newspaper. She take the umbrella and find a little card is stick in front of it.

It's written :
 Thank you for the umbrella,
Dear -Josh Ruberto-
P.S : I will always see you from above. So give me a big smile.

Carol understand.
That man was her Dad in others body.
"Thanks, Dad. Everytime, when I am thinking bout you, I will look at the sky. Give you a big smile, and shouted, "I'm a brave d

Sunday, January 3, 2010

Saat Kamu Tidak Ada Disisiku

,Banyak orang berlalu lalang dengan pakaian serba putih dan serba hitam.  Mobil memenuhi  luasnya perkarangan rumah yang bertingkat dua itu.  Dan dari segala penjuru arah, terdengar suara isakan tangisan yang memilukan hati.  Begitu juga dengan tatapan orang yang terkesan sendu, sedih dan kasihan.
Mellanie mencoba menegarkan dirinya sendiri.  Satu demi satu, dia langkahkan kakinya yang masih bergetar menahan rasa sakit yang teramat sangat.  Tangisannya masih belum mereda sejak semalam.  Dia tidak peduli seberapa bengkak dan merah mata miliknya.  Yang dia inginkan hanyalah meluapkan rasa kehilangan itu.  Berharap akan datangnya angin besar  yang akan menyapu pergi rasa itu.
Semakin jauh dia berjalan memasuki rumah itu, semakin dekat dia dengan pusara kesedihannya.  Langkah kakinya masih tersisa enam hingga tujuh langkah.  Tapi, dari tempat dia berdiri, dia sudah bisa melihat orang yang sangat ingin ditemuinya sejak lama.
Lelaki itu terbaring di atas sebuah peti dengan pakaian jas lengkap.  Mukanya tampak cerah pengaruh make-up.  Kedua tangannya dilipatkan di tengah dadanya.  Dan diantara tangan itu terselip sekuntum bunga mawar merah.
Butiran air mata Mellanie mengalir semakin deras.  Tubuhnya bergetar dengan sangat hebat dan hampir roboh ke lantai seiring dengan dekatnya dia dengan lelaki itu.
Dia menghentikan langkahnya tepat disamping peti tersebut.  Hanya hawa dingin yang dia rasakan disaat tangannya menyentuh wajah lelaki itu.  Walaupun terasa dingin, namun dia tidak ingin melepaskan sentuhannya.
“Aku sudah datang, Zion.” bisiknya lembut




Semalam, sepulang dari kantor, Mellanie menerima telepon dari Tante Dian-mama Zion-mama mantan pacarnya.  Dari sebelum dia menerima panggilan tersebut, dia sudah mengharapkan akan mendapat kabar baik, tapi yang didapat malahan kebalikkannya. 
Zion mengalami kecelakaan dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.  Kata terakhir yang dia ucapkan dalam perjalanan menuju rumah sakit sebelum menghembuskan nafas terakhirnya hanyalah nama “Mellanie”.  Begitulah kabar yang dia terima dari tante Dian.
“Bersediakah kamu datang menemuinya untuk yang terakhir kalinya?” terdengar suara Tante Dian yang memohon dengan sepenuh hati
Tidak ada sepatah kata pun yang mampu Mellanie ucapkan.  Berita yang baru didengarnya terlalu mengejutkan.  Dan dia belum siap untuk menerima berita semacam itu. 
“Mel…..”panggil Tante Dian dengan isakan kecil, “Ini permintaan terakhirnya.”
“Baiklah.” Hanya kata itu yang mampu terucapkan oleh bibir kecil itu
Sepanjang perjalanan, Mellanie hanya mampu menundukkan kepalanya.  Sesekali dia menghela nafas yang panjang.  Hatinya sudah terisi oleh ribuan jarum yang menancap tepat di tengahnya.  Rasanya sakit.   Sangat sakit.  Karna terlampau sakitnya, hingga tidak ada satu tetes air mata pun yang mampu dia tumpahkan keluar.
“Zion.” Dia terus mengulang nama itu berulang kali.
Kisah cinta yang terajut diantara dirinya dan Zion sudah berakhir  dua tahun yang lalu.  Selama ini, dia berusaha untuk melupakan lelaki yang pernah menghiasi hari-harinya itu.  Dengan cara terlihat bahagia dan selalu tertawa.  Tapi, dirinya tahu dengan pasti, bahwa semuanya hanyalah sebuah kepalsuan.
Di lubuk hatinya paling dalam.  Rasa cinta itu masih ada.  Tidak berubah sedikitpun.  Tapi, mengingat rasa sakit yang dialaminya, membuatnya harus berbohong pada dunia.  Bahwa dia sangat membenci lelaki itu dan tidak ingin pernah melihat wajahnya lagi.




“Kau sudah datang?”
Panggilan itu membuyarkan lamunan Mellanie yang sedang berdiri memegang secangkir kopi hangat.  Pandangannya masih tertuju pada halaman depan.  Disana terdapat mobil birunya yang sedang terparkir dengan manisnya.
“Ya, Tante.” Sebelah tangannya sibuk menghapus air mata yang mengalir dengan sendirinya di kedua belah pipinya tanpa perintah.
Kepergian Zion sudah berlalu tiga bulan yang lalu.  Namun, sepenggal kenangan yang tertinggal masih terasa segar dalam ingatan Mellanie.  Dulu, sewaktu dia masih berpacaran dengan Zion.  Dia sering datang ke rumah ini untuk bertemu dengan Tante Dian.  Kadang hanya sekedar makan malam bersama, ataupun hanya untuk menghabiskan waktu di sore hari.
“Jangan bersedih lagi.  Relakanlah kepergiannya.”
Mellanie menggeleng kepalanya dengan kuat.  Dirinya belum mampu merelakan kepergiaan Zion.  Mungkin tidak akan pernah bisa.  Rasa sesal memeneuhi setiap inchi relung hatinya.  Mengapa dulu dia begitu bodoh.  Tidak mau bertemu dengan Zion.  Tidak mau  menjawab  panggilannya.  Tidak mau menerima maaf dari Zion.  
Tante Dian memegang bahu Mellanie dengan kedua tangannya, “Kemarilah”
Dalam pelukan itu, Mellanie dapat merasakan aroma yang biasa dia dapati dari tubuh Zion, sewaktu lelaki itu memeluknya.  Dan hal itu semakin menambah kesedihannya.
 “Sewaktu Tante membersihkan kamar Zion semalam, Tante menemukan sesuatu”, Tante Dian melepaskan pelukannya dan mengeluarkan sebuah buku dari balik kantong bajunya yang besar, “Ini buku yang ditulis Zion setelah kalian berpisah.  Tante merasa buku ini seharusnya menjadi milikmu sekarang.”
Mellanie menerima buku itu dengan kedua tangannya.  Buku itu tidak terlihat usang, tapi juga tidak terlihat baru.  Kini, otaknya sibuk berputar dan berpikir.  Sejak kapan Zion suka menulis.  
Apalagi sebuah buku harian.




Di atas tempat tidurnya, Mellanie duduk bersila.  Butuh waktu lama baginya untuk memberanikan diri membaca buku harian yang ditulis Zion.  Dia takut jika tulisan yang terdapat dalam buku itu akan membuatnya semakin menyesal dan bersedih.
Baca.  Tidak.  Baca.  Tidak.  Baca.  Tidak.   Baca.
Pada akhirnya dia harus menetapkan sebuah pilihan.  Dan pilihan yang diambilnya.  Baca.
Dia memantapkan hatinya.  Bersikap setegar mungkin dan tidak menangis.  Tangan kanannya mulai terlihat sibuk.  Membuka halaman pertama dari buku harian tersebut.  




Hari ini, hari dimana dia memutuskan hubungan kami.  Dari awal aku sudah menyangka bahwa akhirnya tidak akan pernah seperti yang aku harapkan.  Semuanya memang salahku.  Aku yang memulai perselingkuhan ini, maka aku juga yang harus menanggung semua akibatnya.
Tapi, apakah ini sepenuhnya salahku?  Jika dia bisa lebih mengerti diriku.  Jika dia bisa lebih memahami diriku.  Jika hubungan kami bisa lebih akur.  Jika kami tidak sering bertengkar.  Dan jika kata “jika” itu tidak pernah hadir dalam hubungan kami, mungkin semuanya akan baik-baik saja sekarang.  Mungkin perselingkuhan itu tidak akan pernah terjadi.  Dan mungkin kita tidak akan berpisah hari ini.




Hari ini, aku mencoba menghubunginya.  Tapi, ponselnya tidak aktif.  Mungkin dia sedang menghindar dariku.  Atau sedang mengunci diri di kamar dan menangis dengan kerasnya.  Aku tidak mengerti.  Mengapa dia selalu ada dalam pikiran setiap saat setelah kami berpisah?   Apa aku telah kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupku?
Dalam hati ini tersimpan sebuah pertanyaan.  Apakah aku masih mencintainya atau tidak. Aku tidak yakin.  Mungkin saja cintaku padanya sudah padam dihari aku memulai perselingkuhan itu.   Tapi.  Ada satu hal yang tidak dapat kumengerti.  Mengapa hatiku terasa sangat sakit saat melihatnya menangis di hadapanku.  Seakan, aku bisa merasakan rasa kecewanya padanya.  Aku bisa merasakan dirinya yang hancur saat mengetahui aku berselingkuh dengan teman baiknya.  Dimanakah aku harus mencari jawaban ini? 




Hari ini, sepulang dari kantor, tidak sengaja, aku singgah ke café tempat favorite kami berdua.  Saat aku memasuki café tersebut, kenangan akan dirimu kembali berhembus pada diriku.  Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.  Waktu yang kita habiskan bersama berada disana. Kamu selalu mengambil tempat duduk tepat di samping jendela.  Aku tidak terlalu suka dengan tempat duduk itu.  Aku merasa duduk di samping jendela hanya akan membuat orang yang berjalan kaki memandangmu dari luar.  Dan aku tidak pernah menyukai hal itu.  Sedangkan dia malah sebaliknya.  Dia sangat suka memperhatikan dan diperhatikan orang.  Seringkali  kami bertengkar hanya karna masalah sepele seperti ini.  Dan pada akhirnya, aku juga yang harus mengalah.   Masih ada hal lainnya yang masih aku ingat dengan jelas, seperti, pesanannya.  Dia menyukai kopi, sedangkan aku lebih menyukai teh.  Setiap kali, sehabis minum kopi, dia akan mengerang kesakitan.  Dokter sudah berpesan padanya bahwa lambungnya tidak tahan dengan minuman kopi, tapi dia tidak pernah mau mendengarnya.  Baginya, selama dia menyukainya, rasa sakit itu sebanding.  Benar-benar gadis yang aneh.  Jika dilihat dari aspek ini, aku sering bertanya pada diriku sendiri.  Mengapa kami bisa berpacaran?  Apakah cintaku padanya saat itu hanyalah cinta sesaat atau cinta yang sesungguhnya?  Aku bertanya pada diriku kembali.




Hari ini,  aku melewati sebuah toko ice cream.  Dan kenangan akan dirimu kembali hadir dalam benakku.  Dulu, saat kami sedang berkencan, dia selalu menyuruhku mengantarnya pulang dengan  berjalan kaki.  Aku tidak pernah mengerti wanita seperti apa dia itu.  Kadang aku merasa sangat mengenalnya, tapi ada sisi lain darinya yang membuatku seolah asing.  Jika mengingat mantan pacarku yang lain selain dia.   Semua mantan pacarku akan merasa terhina jika aku mengantar mereka pulang dengan taxi, disaat mobilku sedang masuk bengkel.  Tapi, dia beda.  Disaat mobilku terparkir di arena V.I.P, kamu malah menyuruhku mengantarmu pulang dengan berjalan kaki dan menyuruhku kembali sendirian mengambil mobilku di tempat parkir.  Aku tidak pernah bisa menebak dirimu.  
Saat aku bertanya padamu, mengapa kamu tidak mau aku antarkan pulang dengan mobil, kamu hanya akan menjawab, “Aku merasa berjalan kaki lebih romantic daripada duduk di mobil”
Aku tidak tahu apakah aku harus marah, kesal atau tersenyum padamu.  Sikapmu itu membuatku pusing.  Namun sikapmu itulah yang membuatku semakin ingin memilikimu untuk selamanya.
Dan sampai detik ini, aku baru sadar bahwa aku telah kehilanganmu untuk jangka waktu yang cukup lama.




Hari ini, hujan turun dengan derasnya.  Suara halilintar yang menggelegar itu kembali membuatku teringat padamu. Setiap kali, halilintar menjerit dengan kerasnya, maka dia akan berlari kencang kearahku dan memelukku dengan erat.  Ada kadang kalanya, aku harus duduk berjam-jam disampingnya hanya untuk menunggu dirinya terlelap dalam mimpi.   Ahhhh…..  Mengapa selalu saja ada hal yang membuatku bisa teringat kembali padamu?  Aku ingin menghapus dia dari ingatanku.  Supaya,  hati ini tidak akan pernah merasa hampa dan kosong.  Entah mengapa dia tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam ingatanku.  Setiap kali aku mengingatnya, maka aku akan tersenyum sendirian.  Hari yang pernah kulalui dengan dia tidaklah terlalu lama.  Hanya sekitar setahun.  Namun, entah kenapa selepas dia pergi, rasanya aku ingin kembali masa itu.  Hari dimana ada dia dan aku.  Bersama.




Hari ini, aku ada janji makan malam dengan Cherie, seorang wanita yang sedang dekat denganku akhir ini.  Dia sangat pengertian dan memahami.  Aku selalu merasa sangat nyaman berada di dekatnya dan berbincang selama berjam-jam.  Maka dengan berani, aku mengajaknya kencan malam ini.  Aku mengajaknya ke restaurant dimana pertama kali aku berkencan dengan dia.  Aku rasa aku sudah gila.  Memilih tempat yang jelas-jelas bisa membuatku teringat akan dia.  Aku berusaha keras untuk tetap fokus pada Cherie.  Namun, semuanya sia-sia.  Saat melihat Cherie berbicara, aku seakan melihat dia.  Cara makan Cherie yang selalu memotong steak menjadi bagian kecil, baru menyuapkannya ke dalam mulut, sangatlah mirip dengan dia.
Dan yang paling parah.  Saat aku ingin memanggil namanya, kata yang keluar dari bibir ini hanyalah namamu.  
 Apakah ini berarti aku tidak akan pernah bisa melepaskan dia dari diriku?  Aku harus mencari jawaban itu sekarang.  Jawaban dari pertanyaan yang terus menghantuiku siang dan malam.  Jawaban dari pertanyaan yang terus membuntutiku sepanjang waktu.




Hari ini, aku menemukan jawaban itu.  Akhirnya.  Aku menemukannya.  Aku menekan nomor teleponnya, tapi saat nada panggilan pertama terdengar.  Aku menutupnya kembali.




Hari ini, aku kembali  meneleponnya. Rasa rindu dalam hatiku sudah hampir meledak.  Tidak sejak aku berpisah dengannya hari itu.  Jika dihitung, rasanya sudah lima tahun aku tidak melihatnya.  Dan rasa rindu itu sudah kupupuk selama itu juga.  
Aku ingin bertemu dengannya, tapi dia menolak.  Baginya semua sudah berakhir sejak lama dan tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.  Saat aku kembali membuka suara, dia menutup teleponnya.  
Apakah sungguh sudah tidak ada kesempatan untuk mendapatkannya kembali?
Aku hanya ingin memberi tahunya bahwa aku sudah menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini.  Dan jawaban itu aku temukan saat dia tidak disiku.
Sebuah kenyataan bahwa aku mencintainya lebih dari yang pernah aku bayangkan selama ini.  Dihari dia melangkah pergi dari hadapanku, aku merasa seluruh duniaku hanya terisi oleh dirinya. 
Entah sejak kapan, hati ini kuberikan padanya.  Aku ingin mengambil hati ini kembali.  Tapi, dia tidak ingin kembali padaku.  Mungkin perkataan ini hanya dapat aku sampaikan lewat buku ini, bahwa sampai detik ini, aku masih sangat mencintainya.
Jika aku dapat bertemu dengannya sekali lagi, aku bersedia untuk menukarnya dengan apapun.  Termasuk dengan jiwaku ini.  Asalkan aku dapat melihatnya sekali lagi.  Merasakan hangat tubuhnya dalam pelukanku.  Melihat senyumannya yang selalu mewarnai hari-hariku.
Memberitahukan pada seluruh dunia bahwa,
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.
Zion mencintai Mellanie.


Mellanie menutup buku harian itu.  Dia tidak sanggup untuk terus membaca tiga kata terakhir yang menghiasi hampir puluhan halaman dalam buku tersebut.
Dia memegang kepalanya dengan kedua tangannya.  Seakan kepalanya itu akan jatuh dan hancur berkeping-keping jika tidak dipegangi.  Dari kepalanya, tangannya bergerak kea rah dadanya.
Di bagian itu, dia merasakan sakit yang lebih hebat daripada sakit kepalanya. 




Seminggu sudah berlalu sejak dia memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca buku harian Zion.  Tapi, dirinya merasa penasaran dengan lembaran terakhir yang Zion tulis dalam buku tersebut.  Maka, dia kembali menenangkan hatinya dan kembali membuka halaman terakhir buku itu.


Akhirnya aku mengerti bagaimana sakitnya rasa ditinggalkan oleh seseorang yang sangat kamu cintai.  Aku mengerti perasaan dia sekarang.  Maka mulai hari ini aku berjanji pada diriku sendiri.  Aku tidak akan pernah menelepon dia lagi.  Aku akan membiarkannya melanjutkan hidupnya.  Dimana dia akan merasa lebih bahagia tanpa kehadiranku.
Aku juga mempelajari sesuatu hari ini.  Jika kamu mencintai seseorang.  Relakanlah orang itu pergi.  Karna jika orang itu bahagia maka kamu juga akan bahagia.  Selama dia bahagia disana, maka aku juga akan bahagia disini.


Mellanie menutup buku itu dengan perasaan bahagia.  Dia tidak merasa sedih lagi.  Tidak ada tetes air mata yang dia mengalir dari matanya lagi.  Karna pada akhirnya dia juga mempelajari sesuatu.  
Sebanyak apapun kesedihan yang dia tumpahkan.  Sebanyak apapun air mata yang dia jatuhkan.  Semuanya tidak akan pernah membawa Zion kembali.
Seperti kata Zion, “Jika kamu mencintai seseorang.  Relakanlah orang itu pergi.”
Itulah yang akan dilakukan Mellanie sekarang.  Merelakan kepergian Zion.  Dan memulai hari barunya dengan perasaan bahagia.  Hanya dengan begitu, Zion akan merasa bahagia disana.