Sunday, February 28, 2010

The Admire

Tidak ada alasan khusus, mengapa aku bisa sangat menyukai kopi.  Sebagian orang menyukainya karena mereka menganggap minuman ini bisa membuat mata mereka lebih fit dalam beraktivitas.  Ada juga yang berkata bahwa kopi bagus untuk pertumbuhan otak manusia.

Benarkah semua itu?  Satu-satunya kenyataan yang kutahu tentang kopi hanyalah minuman kental itu dapat membuatku bertahan, bergadang semalam menyelesaikan semua pekerjaan yang kubawa pulang ke rumah.

Ada satu hal yang sangat pasti tentang kopi bagiku.   Aku menyukainya karena aromanya.  Lembut, menusuk, tapi  selalu dapat merangsang otak kanan dan kiriku serta menyegarkan hati dan pikiran.  Tapi.  Biarpun aku sangat sangat menyukai kopi.  Aku termasuk pemilih dalam mengkomsumsinya.

Aku tidak terlalu suka kopi pekat nan hitam.  Akan terasa lebih pas jika dicampur sedikit creamer dan satu sendok gula.  Aku juga tidak terlalu suka kopi yang dicampur dengan susu.  Seakan kopi itu kehilangan wajah aslinya.  Bukan berarti aku tidak pernah meminum kopi yang pekat nan hitam dan yang dicampur susu.  Hanya saja jarang, sangat jarang.

Dari sekian banyak coffee shop di kota ini.  Hanya ada satu café yang membuatku betah dan tidak berpindah ke lain cafe.

“Cofe”, kepanjangan dari Coffee Café.

Dari namanya saja, sudah bisa ditebak bahwa café ini berhubungan dengan segala jenis kopi.  Memang sedikit terdengar seperti surganya para penggila kopi, seperti diriku ini.  Suasana kopi-kopian di café itu sangatlah terasa.  Dari aroma ruangan, cat dinding, perabot hingga desain, semuanya berhubungan dengan kopi.

Belum lagi hiasan-hiasan kecil dan gantungan kecil di depan pintu, semuanya menggunakan biji kopi.  Orang yang merumuskan ide ini pastilah sangat kreatif.  Karena biji kopi selain dijadikan hiasan dan gantukan, juga bisa digunakan sebagai pengharum ruangan.

Kadang, ada kalanya aku ingin bertemu dengan pemilik café ini.  Berkenalan dengannya dan bercerita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kopi.  Kami bisa menjalin tali perteman atau berbagi tips tentang kopi.  Mungkin.

Namun, setiap kali aku menyatakan keinginanku untuk bertemu sang pemilik café, jawaban yang kudapat hanyalah dia sedang tidak ada di tempat atau dia belum datang.

“Pagi sekali hari ini.” sapa salah seorang pelayan yang kukenal, bernama Maria.

Maria sudah bekerja disana sejak café itu dibuka.  Dialah orang yang selalu mencatat pesananku.  Hingga, aku merasa, dia sudah hafal benar dengan pesananku.  Hanya saja demi ke-etisan profesinya, dia selalu menanyakan pesananku terlebih dahulu sebelum memesankannya ke dapur untukku.

“Iya.  Hari ini aku bangun cukup pagi.  Jadi, sekalian saja mampir pagian kesini dan mengisi perut sebelum berangkat ke kantor.”

Dia menganggukkan kepalanya.  Lalu kami berbicara untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia beranjak ke dapur dan membawakan pesananku.

“Secangkir kopi untukmu dan sepiring roti bakar.” Maria meletakkan secangkir kopi panas itu dengan sangat hati-hati.

“Apakah kopi ini…….?” Aku menggantungkan kalimatku

“Ya.  Seperti biasa, dari pengagum rahasiamu.”

Aku menghela nafas, tapi ada disertai sebuah tawaan.  Akan berlangsung sampai kapankah hadiah kopi dari pengagum rahasia?

Semuanya dimulai sejak minggu kedua, aku menginjakkan kaki ke dalam café ini.  Saat itu, aku mulai mendapatkan rasa betahku pada café itu.  Pada minggu pertama aku hanya kesana dua kali.  Namun, pada minggu kedua, aku menambah intensitas kunjunganku menjadi empat kali.

Aku cukup terkejut, saat sang pelayan-Maria, membawakan segelas kopi untukku, sebelum aku sempat memesan.  Awalnya kukira Maria sudah menghafal pesananku, karna rasanya yang pas.  Sedikit creamer dan satu sendok gula.

Tapi, semua terkaanku ternyata salah besar.  Aku mengetahui kebenarannya, saat hendak membayar di kasir, penjaga kasir mengatakan padaku bahwa secangkir kopi itu hadiah untukku dari seseorang.

Aku berpikir. Pastilah orang yang menghadiahkan kopi ini memiliki indra pengecap yang sama denganku.  Atau, jangan-jangan.  Dia seorang psycho yang selama ini mengikutiku dan mengawasi setiap gerak gerikku.

Awalnya, aku merasa cukup aneh sekaligus takut akan tawaran kopi gratis tersebut.  Bisa jadi, ada orang yang membenciku dan menghadiahkan kopi racun padaku.  Tapi, semua kecurigaan itu menghilang tergantikan oleh kebiasaan baru.  Secara tidak sadar, aku selalu menunggu secangkir kopi itu setiap harinya.

“Apa kamu tidak ingin tahu siapa yang menjadi pengagum rahasiamu?” Maria kembali bertanya, seusai melayani pengunjung lainnya.

“Apa kau tahu siapa orangnya?”

Maria menggeleng pelan, “Yang mengetahui hal ini hanya Manager kami, tapi dia tidak pernah mau memberitahukannya ketika aku bertanya.”

Aku meletakkan kembali cangkir kopi itu ke tempatnya.  Lalu mendongakkan kepalaku menghadap Maria, “Tidak apa-apa.  Jika orang ini memang ingin bertemu denganku, pastilah dia akan menemuiku.  Mungkin belum waktunya bagi kami untuk bertemu.”

Maria kembali menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat.  Entah karena dia setuju dengan pendapatku, atau dia hanya ingin menyenangiku.

“Aku harus pergi sekarang.” Aku meyerahkan selembar lima puluh ribuan ketangan Maria, “Sisanya sebagai tips menemaniku ngobrol.”

Kugantungkan tas channel bewarna hitam yang baru kubeli minggu lalu ke samping bahuku.  Berdiri dengan perlahan dan melangkahkan kaki keluar dari café tersebut.  Jam tangan yang berada di tangan kananku menunjukkan bahwa jika aku tidak sampai kantor dalam waktu 15 menit, maka aku akan terkena denda.

Seharusnya, aku tidak berbicara panjang lebar dengan Maria.  Seharusnya aku melahap sarapanku lebih cepat.  Karena sibuk menyalahkan diri sendiri, aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedang berada di depanku.  Dengan kecepatan berjalanku yang setengah berlari, rasanya tidak mungkin untuk tidak menyenggol orang tersebut.

Dugaanku kali ini tepat.  Orang itu terdorong ke belakang.  Begitu juga denganku.

“Maafkan aku.” Aku membungkukkan badanku berkali-kali.

“Tidak apa-apa.” Dia membalas, kemudian melanjutkan langkahnya

Aku mengerutkan keningku.  Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang itu.  Tapi, yang tidak dapat kuingat, kapan dan dimana.

Saturday, February 27, 2010

Arti Cinta


Kami.
Aku dan dia.
Dua orang yang sangat berbeda
dalam memandang arti cinta.
Pernah sekali, aku bertanya.
"Apa arti cinta bagimu?"
Dia menjawab, "Cinta sesuatu yang abstrak. Selama aku ingin memilikinya dan selalu bersamanya, maka kuanggap itu cinta."
Dia tersenyum.
Dan, aku menatap langit.
Lalu, dia kembali mengulang pertanyaan yang sama padaku.
"Menurutmu sendiri, apa itu cinta?"
Aku menatap lekat-lekat ke dalam bola matanya dan menjawab,
"Saat aku melihatnya bahagia dan aku juga ikut bahagia, maka itulah cinta."
Mungkin inilah salah satu alasan,
aku dan dia, tidak bisa bersama.
Karena kami berada di dua titik yang berbeda.
Dimana kedua titik itu semakin didekatkan,
maka akan semakin menjauh.

Friday, February 26, 2010

Pengharapan

Hari yang berlalu terasa begitu cepat.  Kadang aku merasa seakan aku sedang berlomba marathon.  Dan lawanku adalah waktu.  


Dia berlari terlalu cepat.  Sekuat apapun aku mengejarnya, tidak ada celah sedikitpun untuk menggapainya.  Bukannnya aku tidak berusaha.  


Tapi, pada akhirnya dia selalu menjadi pemenangnya.  Dan aku hanya bisa melihatnya berlalu.


Hari berganti hari.  Musim berganti musim.  Bahkan tahun pun telah berganti.  Hanya aku seorang disini yagn tidak berganti.  


Kadang aku juga merasa bahwa setiap orang berubah.  Bergerak mengikuti waktu.  


Hanya menyisahkan aku seorang diri.  Tersesat.  Terhalang.  Tidak dapat berjalan maju.  Juga tidak ada jalan untuk berjalan mundur ke belakang.


Dan penyebabnya adalah kau.  Jika kau mendengar jawaban ini, mungkin kau akan menertawakanku.  Karna telah membuat keputusan paling bodoh seumur hidupku.  Yaitu memutuskan hubungan denganmu tanpa alasan yang jelas.


Awalnya aku merasa bahwa hanya dengan melihatmu bahagia.  Aku akan merasa bahagia juga.  Bukankah jika mencintai seseorang seharusnya begitu?  


Ternyata aku salah.  Hanya orang munafik yang akan berkata 
begitu.  Dan aku termasuk di dalamnya.


Saat melihatmu mulai membangun hidupmu kembali.  Berusaha untuk bangkit dari kesedihanmu.  Perlahan menemukan kembali kebahagianmu.  Apalagi saat melihatmu bersama seseorang jauh disana.  


Pada saat itulah aku menyesal. 


Orang itu seharusnya aku.   Menemanimu kemanapun kau pergi.  Mendengarkan keluh kesalmu yang cukup membosankan.   Menunggumu untuk memelukku dengan erat.  Menggenggam tanganmu dengan erat di keramaian.


Kenapa aku harus melepaskanmu padahal aku sangat mencintaimu.  Kenapa aku berpikir bahwa perpisahan adalah keputusan yang tepat?  Bodohnya aku.  Benar-benar sangat bodoh.


Kini, harus kuakui bahwa aku menyesal.  Melihatmu bahagia tidak membuatku bahagia juga.  Melihatmu bahagia hanya membuatku semakin merasa sedih dan menyesal.  Melihatmu bahagia hanya membuatku tidak dapat berjalan ke depan dan tidak mungkin untuk berjalan mundur ke belakang.


Kini, tanpa sengaja kita bertemu disini.  Tempat pertama kali kita bertemu.  Kebetulan yang sangat tidak terduga.  Kebetulan yang terlalu kebetulan.


Saat aku menatap ke dalam kedua bola matamu yang selalu menghanyutkanku.  Aku baru menyadari bahwa aku sangat merindukanmu.  Aku ingin memelukmu dan memintamu untuk kembali kepadaku.  Tapi aku tahu semuanya tidak mungkin.


Karna tangan yang kau gandeng sekarang bukanlah tanganmu, melainkan tangannya.  Ada saat dimana aku ingin bertanya padamu,


[i]Apakah kadang kau memikirkanku? [/i]
[i]Apakah kau menghabiskan waktu seperti saat aku denganku? [/i]
[i]Apakah kau mencintainya seperti kau mencintaiku?[/i]
[i]Apakah kau merasa sedih saat kau tidak bersamaku?[/i]


Dan aku sangat mengharapkan bahwa kau akan menjawab bahwa kau sangat tidak bahagia.  Dan mungkin kau akan berpaling kembali kepadaku.


Namun, kenyataan yang terpampang di hadapanku tidaklah begini.  


“Bagaimana kabarmu.” Kau bertanya padaku dengan nada lembut dan penuh perhatian seperti dulu.


Aku hanya tersenyum.  Terlalu takut jika aku menjawab maka aku tidak akan bisa menahan air mata ini.


“Apakah kau melewati hidupmu dengan baik?” kau kembali bertanya.  Bisa kurasakan bahwa kau sangat mengharapkan sebuah jawaban keluar dari mulut mungilku.


Aku menganggukkan kepala dengan cepat, supaya kau tidak melihat bahwa aku telah menjatuhkan dua tetes air mata ke bawah.


“Apa kau bahagia?”


Kumohon!  Jangan bertanya lagi.  Cepatlah berlalu dari hadapanku.  


Aku sudah tidak dapat menahan bendungan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.  Jangan biarkan aku menangis di hadapanmu.  Aku tidak ingin kau melihat sisi lemahku.  Tidak untuk sekarang.


Kau mulai berjalan mendekat, sementara salah satu tanganmu melepaskan gengaman tangannya.  Gerak-gerikmu menunjukkan bahwa kau ingin menggapaiku yang berdiri tidak terlalu jauh dari hadapanmu.


Aku merasa sedikit senang.  Setidaknya aku tahu bahwa kau masih mengkhawatirkanku.  Di hatimu masih tersisa tempat untuku.  Walaupun tidak seluas dulu.


Kau berdiri tepat di hadapanku.  Sebelah tanganmu mulai menangkup wajahku yang pucat.  Kau menatapku dengan tatapan yang seakan berbicara bahwa,[i] “Aku mengkhawatirkanmu.  Kemana kau selama ini?  Apakah kau baik-baik saja?”[/i]


Aku sudah tidak dapat menahan airmata ini.  Dan semuanya aku tumpahkan dengan memeluk erat dirimu.  Aku tidak ingin melepaskan pelukan ini.  Aku tidak ingin berpisah denganmu lagi.  Tapi apakah itu mungkin?


“Dre” dia, yang bersamamu, memanggilmu dengan nada cemas.


Kau bahkan tidak menolehkan kepalamu dan tetap membiarkanku memeluk erat dirimu.


“Dre” dia kembali memanggilmu dan mulai berjalan kearah kita.


Kurasa sudah saatnya aku pergi.  Aku sudah cukup puas dengan apa yang kualami hari ini.  Aku sudah cukup bahagia mengetahui bahwa masih ada cinta yang tersisa untukku.  Semuanya sudah cukup.  Kurasa kini saatnya bagiku untuk benar-benar melepaskanmu.


Kulepaskan pelukanku segera berlalu dari hadapanmu.  Kau ingin mengejarku tapi dia menahanmu.


“Apa yang sedang kau lakukan?” dia membalikkan badanmu dan bertanya dengan nada cemas.  Tidak ada sedikit nada marah pun dalam perkataannya.


Kau tidak menjawab dan kembali membalikkan badanmu.  Sayangnya, aku sudah tidak ada disana.




***




Pada waktu yang sama.  Di sebuah rumah sakit.  Para suster sibuk memanggil dokter yang bertugas menangani pasien kamar VIP 2.  Pasien tersebut sudah mengalami koma selama tiga bulan sejak melakukan operasi tumor di otaknya.


“Dok, jantung pasien berhenti berdetak.” Dengan panik salah seorang suster berteriak.


“Siapkan peralatan.” Perintah sang dokter.


Dengan sigap dokter itu meletakkan alat pacu jantung di bagian dada sang pasien. Beberapa kali jantung pasien itu dikejutkan supaya kembali berdetak.  


Namun, hasilnya sia-sia.


Sebelum para suster menutup wajah pasien dengan selimutnya.  Mereka melihat bahwa wajah pasien itu terlihat seakan sedang tersenyum, padahal di kedua belah matanya meneteskan air mata.


Sepertinya pasien tersebut pergi dengan bahagia, tanpa penyesalan.



Monday, February 22, 2010

Jarak

Jarak terjauh diantara aku dan kamu,
bukan dipisahkan oleh hidup dan mati.
bukan juga dipisahkan oleh gunung dan laut.
Jarak itu hadir,
saat aku berada di hadapanmu,
dan kamu tidak menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padamu.

Hanya Dia


Duduk termenung,
menatap langit.
Tidak ada bintang.
Tidak ada bulan.
Pikiran pun jauh melayang.
Memikirkan dia.
Hanya dia.
Tetap dia seorang.
Tangan yang tidak akan pernah bisa kugapai.
Hati yang tidak akan pernah bisa kutempati.
Pikiran yang tidak akan pernah bisa kuisi.
Haruskah aku menyerah?

Sunday, February 21, 2010

Jangan

Jangan bertanya.
Aku mohon jangan bertanya lagi.
Walau kau tidak tahu jawabannya.
Aku mohon berpura-puralah,
seakan kau sudah tahu jawabannya.
Aku hanya ingin kau tahu.
Aku tidak setegar yang kau pikirkan.
Aku tidak sekuat yang kau bayangkan.

Saturday, February 20, 2010

Mati dan Kehilangan


Mati.
Tertawa saat aku mendengar kata itu.
Orang gemetar, takut padanya.
Tapi, aku tidak.
Bukankah dari awal sudah tertulis di hukum alam.
Bahwa semua yang hidup, pada akhirnya akan mati juga.
Namun.
Kehilangan.
Pada kata itu, aku bersujud sembah keberanianku.
Menutup mata, telinga dan hatiku.
Berharap, dengan begitu aku bisa menutup diri dari kenyataan.
Pada akhirnya, aku tetap kehilangan.
Semua yang pernah menjadi milikku.

Monday, February 15, 2010

Langit, Bulan dan Bintang

Malam ini.  Langit bertaburan bintang.  Seakan mereka sedang berkomplot untuk menyerang sang bulan yang tertutup oleh kabut malam.  Bintang dan bulan.  Keduanya memiliki posisi yang sama penting di hati langit.


Namun, ada kalanya sang bintang lenyap tak berbekas.  Digantikan bulan yang bersinar dengan cahaya kemenangan.  Di lain waktu,  sang bulan menghilang dalam kabut malam.  Bertukar posisi dengan bintang yang memenuhi ruang kosong di langit.


Tanpa bulan dan bintang pun, langit tetap bersikap angkuh dalam kegelapan malam.  Pertanyaannya adalah, ‘Apakah bulan dan bintang  saling menghindari satu sama lain?  Atau langit tidak bisa mempertemukan mereka berdua pada malam yang sama?’


***


Aku dan dia bersahabat sejak kami masih duduk di bangku sekolah menegah.  Tidak ada yang lebih mengerti diriku daripada dia.  Bahkan pacarku sendiri pun tidak memahami diriku seperti dia.


Dia bisa menebak apa yang ada dalam isi kepalaku.  Dia bisa membaca isi hatiku.  Bahkan dia juga tahu apa yang aku inginkan pada saat tertentu.  Sampai ada saat dimana aku merasa.   Dia adalah aku dan aku adalah dia.  


Kami seperti potongan puzzle yang saling melengkapi satu sama lain.  Mungkin aku tidak memahami dirinya seperti dia memahami diriku.  Namun, aku selalu ada disana disaat dia membutuhkan seseorang.  Aku selalu menjadi sandaran bagi dirinya saat dirinya sedang rapuh.


Dan ketergantungan ini terus berlanjut hingga suatu hari, dia mengajakku bertemu di taman belakang, tempat rahasia kami sejak masih bersekolah.


“Kurasa sudah saatnya kita menghentikan kebersamaan ini.” Dia berucap dengan mimik wajah yang setenang air tanpa riak.


“Maksudmu?”


“Kita harus berhenti bertemu dan berbicara mulai saat ini.  Pacarku selalu cemburuan saat melihat aku berbicara atau bertemu denganmu.”


Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya.  Apakah benar yang sedang dia katakana barusan?  Aku sangat berharap bahwa dia sedang bercanda atau sedang mengerjaiku.  


Kutepuk pundaknya dengan keras dan memaksakan suara tawa yang keras.
“Sudahlah.  Aku tidak akan termakan tipuanmu kali ini.  Sudah basi.”


“Aku tidak sedang bercanda.  Aku serius.  Pacarku menyuruhku untuk memilih dia atau kamu.  Kau tahu, aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin bagiku untuk melepasnya.  Jadi….”


Aku terdiam sejenak, tapi mulutku segera mengambil alih, “Jadi kau ingin putus hubungan denganku?”


Sekarang, gantian dia yang terdiam.  Aku juga terdiam.  Tidak tahu apa yang harus kukatakan.  Dulu, disaat pacarku cemburu dan memojokkanku pada situasi seperti ini, pada akhirnya, aku tetap memilih dia.  


Karna bagiku dia lebih penting dari siapapun.  Walaupun aku sangat mencintai pacarku, namun aku tidak mungkin bisa hidup tanpa dia disisiku.  Tapi, kenapa saat situasi ini berbalik, dia tidak mengambil keputusan yang sama denganku?


Kenapa?  Pertanyaan itu terus berteriak dalam kepalaku.  
Semakin lama, semakin keras.


Dia berdiri, menatapku dalam hitungan detik, lalu berjalan pergi.  Aku terus menatap punggung dia, yang semakin lama, semakin jauh, lalu menghilang.


Apakah aku sudah kehilangan dia?


***


Waktu silih berganti.  Tanpa terasa dua tahun pun telah berlalu tanpa kehadirannya di kehidupanku.  Ada kalanya aku bisa sangat merindukan dia, ingin bertemu dengannya dan bercanda tawa seperti dulu.  Tapi, aku tahu semuanya sudah tidak mungkin sekarang.


Dia lebih memilih pacarnya, daripada sahabatnya.
Namun, takdir memang sulit untuk ditebak.  Kadang dia akan membuatmu diam tanpa kata dengan apa yang akan kau hadapi selanjutnya.


Pada suatu sore, aku kembali pergi ke taman dimana cerita antara aku dan dia berakhir.  Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk merenung.  


Tanpa dia aku tetap bisa bertahan hingga hari ini.  Tanpa dia aku tetap bisa melanjutkan hidupku seperti biasa.  Mungkin ada ataupun tanpa dia, aku tetap baik-baik saja.


Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari belakang.  Aku tidak menoleh, karna tanpa melihat pun, aku sudah tahu siapa yang datang.


“Kau masih sering kemari?” dia bertanya


“Kadang-kadang.” Balasku singkat


“Bagaimana keadaanmu?”


“Baik.”


Aku mulai merasa bosan dengan semua basa-basi ini.  Aku berdiri, menatapnya sejenak, lalu meninggalkan dirinya disana.  Sama seperti yang dia lakukan padaku, dulu.


“Mungkinkah bagi kita untuk terus seperti dulu?  Aku merasa tanpa kau, aku bukanlah aku.”


“Bukankah kau bilang kau mencintai pacarmu dan lebih memilih dirinya daripada sahabatmu ini?” aku mulai kehilangan kesabaran.  Ingin rasanya aku meluapkan semua amarah yang tertahan di hati ini.


“Memang.  Namun, kau juga sama pentingnya bagiku.  Walaupun bulan dan bintang tidak bisa akur.  Walaupun langit boleh kehilangan bulan dan bintang.  Tapi bulan tidak boleh kehilangan langit.  Karna tanpa langit, bulan tidaklah berarti.”


Aku berbalik dan tersenyum padanya.


Akhirnya dia mengerti tentang kisah bulan, bintang dan langit.

Sunday, February 14, 2010

Kekecewaan


Kau memandang ke arahku...
Aku tidak bisa mengingat berapa lamanya,
tapi aku tahu itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Aku berjalan mendekat kearahmu,
namun kamu bergeming.
Tatapan itu tetap pada tempatnya.
Aku mulai merasakan ragu,
kubertanya dalam hati, "Benarkah aku yang sedang kau pandang?"
Kupercepat langkahku.
Sayang, sebelum aku sempat mengetahui kebenarannya,
kau sudah memberitahukanku terlebih dahulu.
"Kurasa aku telah jatuh cinta padanya." kau berujar.

Friday, February 5, 2010

Suatu Masa


Masa itu,
masa paling bahagia.
Gelak tawa membahana.
Derai tangis, saling mengisi.
Seandainya,
remote pemutar waktu ada di tangan ini,
ingin sekali,
kulewati ruang waktu.
Kembali ke masa itu.
Serpihan kenangan,
Sepotong kenangan,
hanya terbuai oleh
masa itu.

Wednesday, February 3, 2010

Pusara Cinta


Daun melambai.
Angin berhembus.
Mencoba memanggil diriku
yang sedang berjalan jauh.
Gelenggan kepala,
menyadarkan mereka.
Sekali aku berlalu.
Kaki ini tidak akan kembali menapaki.
Tekad hati sudah bulat.
Sekeras batu.
Tidak tergoyahkan.
Tidak akan berubah.
dan....
Tidak menyesal.
Aku tidak ingin kembali.
Dalam pusara cinta.
Yang begitu menyayat hati,
menyiksa batin.

Tuesday, February 2, 2010

Nada dan Angin


Dentingan Nada,
indah membahana.
Pada Angin yang berhembus,
dia mengaku kalah.
"Angin....Angin....kemanakah kau akan membawaku?"
sang Nada bertanya.
Angin tidak menjawab,
hanya terus berhembus.
Menyelami lautan beribu mil di bawah.
Menembus kawanan awan di langit.
Tidak ada waktu untuk rehat.
Tidak mengenal kata berhenti.
Dentingan nada,
kini mengalun indah,
mengarungi bumi,
bersama sang Angin.