Saturday, January 9, 2010

The Wedding

Dalam balutan baju pengantin putih bermodel kemben, dengan bagian belakang yang menjuntai panjang hingga ke lantai, dia terlihat begitu cantik.
Sisiran rambutnya ditata dengan sederhana, hanya disanggul dan diberi mahkota mutiara besar.
Walaupun sederhana, namun menyiratkan aura simple but elegant.
Hanya satu hal yang membuatku ikut bahagia sejak tadi, yaitu senyumnya.
Dari wajahnya, dia tampak begitu bersemangat menanti hari ini.  Senyum dan tawa selalu menghiasi kedua pipinya yang terlihat sedikit kemerahan.
Ahhh......
Seandainya aku bisa bersama dia, menemani dia menikmati semua kebahagiaan ini.
Aku berjalan mendekat dan semakin mendekat.  Saat aku hendak menggapainya, beberapa temennya bergerak mendahuluiku.
Mereka menghampirinya duluan.  Maka kuurungkan kembali niatku.
Aku duduk di sofa di seberang meja riasnya.  Dari pantulan cermin di dinding, aku dapat melihat raut wajahnya yang memendam rasa malu, akibat gurauan temannya.
Kutatap dia lagi.  Sungguh bahagia.




Beberapa saat kemudian,  beberapa temen yang lain mulai mengajaknya keluar.  Acara pernikahan dia akan segera dimulai.
Seandainya.  Seandainya.  Dan seandainya,aku yang berdiri disana.  Menunggunya berjalan mendekatnya.  Membusungkan dada dan melemparkan senyum terindah, sebagai seorang mempelai pria.


"Kalian keluar dulu.  Aku akan menyusul sebentar lagi.  Aku mau berbicara dengan dia dulu." serunya sambil tersenyum.  Aku tahu dia ingin berbicara denganku.  Mungkin dia takut aku akan bersedih atas pernikahannya ini.


Dia berdiri dan mulai berjalan menuju ke arah, dimana aku terduduk manis. Aku tersenyum padanya.  Dengan tatapan lurus, dia membalas senyumku.
Aku ingin menggapai tangannya.  Namun, dia terus berjalan melewatiku dan berhenti tepat di belakangku.  Tangannya mengambil sebuah bingkai foto.
Lalu dia duduk tepat di sampingku.  Dengan bergantian aku menatapnya dan bingkai foto yang sedang dipegangnya.  Dalam foto itu terdapat sepasang kekasih, yang tidak lain adalah dia dan aku.


"Hari ini aku akan menikah.  Apakah kamu akan merestuiku?  Dia mengusap bagian depan bingkai foto tersebut dengan suara tertahan.


"Pasti.  Aku akan selalu merestui apapun keputusanmu." aku membalas dengan nada rendah


"Jangan khawatir.  Dia cowok yang baik, pengertian dan sangat mencintaiku.  Aku dapat merasakan bahwa cintanya tidak kalah dengan cinta yang kamu berikan padaku." kali ini terdengar suara tawa yang dipaksakan


"Tidak perlu kamu katakan.  Aku bisa melihatnya dari cara dia memandangmu."


"Tapi, sedalam apapun aku mencintai dia, sekuat apapun aku berusaha untuk melupakanmu.  Semuanya tetap sia-sia.  Sebagian hati ini masih merindukan kehadiranmu.  Mungkin yang lebih parahnya, sebagian hati ini telah kamu bawa pergi, sewaktu kamu pergi meninggalkanku disini.


"Maafkan aku, Re."


Dia meneteskan air mata.  Aku sudah tahu sejak awal.  Setiap kali dia menatap foto itu, dia akan menangis.  Entah harus berapa ribu kali aku menasehatinya untuk tidak menangis lagi.


"Tapi sesudah hari ini."  dia menarik nafas, seakan dirinya sudah mengambil satu keputusan penting dalam hidupnya, "Aku berpikir untuk tidak akan berusaha melupakanmu lagi."


Aku terkejut dengan keputusannya, lalu bertanya, "Kenapa?"


"Karena aku ingin kamu tetap berada dalam hati, jiwa dan pikiranku.  Dulu, sekarang ataupun di masa mendatang, aku akan terus mencintaimu untuk selamanya.  Aku tidak peduli, kamu mau bilang aku egois atau bodoh.  Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja."  dia berhenti sesaat untuk mengambil nafas yang panjang.  "Tapi aku berjanji aku pasti akan menjadi seorang istri yang baik baginya."


Aku tersenyum puas dengan perkataan terakhirnya.
"Aku tau kamu akan."


"Aku harus pergi sekarang.  Semua orang sedang menungguku.  Kamu akan melihatku, bukan?  Kamu akan menemaniku berjalan sampai di altar dan menyerahkanku padanya kan?"


"Pasti.  Bukankah aku sudah berjanji?" seruku sambil tersenyum.


Lalu diletakkannya kembali bingkai foto tersebut ke tempat asalnya.  Bersama-sama kami berjalan keluar.


Aku memegang tangannya dengan erat.  Sangat erat.  Karena mungkin inilah kali terakhir aku bisa memegang tangannya.
Beberapa saat, sebelum kami melangkahkan kaki naik ke atas altar, aku mendekat kearahnya dan berbisik,
"Tugasku sudah selesai.  Sudah saatnya aku pergi.  Kamu harus hidup dengan bahagia, walaupun aku sudah tidak bisa berada di sampingmu lagi."
  
Saat tanganku melepaskan tangannya, aku merasa seluruh tubuhku terasa ringan.  Perlahan, seluruh tubuhku mulai memudar.  Aku bisa pergi dengan tenang sekarang. 

0 comments:

Post a Comment