Monday, December 5, 2011

Not A Love Story





Sayup-sayup, terdengar derik daun pintu terbuka.  Detik itu juga, aku berharap bahwa orang yang membuka pintu tersebut adalah kamu.  Tapi, harapan itu menguap seketika, sesaat setelah Ray mengangkat sebelah tangannya, tersenyum singkat padaku.
Sedikit ragu, dia berjalan mendekati posisi dimana aku menyandarkan diri.   Tubuhku diam mematung.  Hanya melalui ekor mata, aku meneliti setiap langkah kaki Ray yang semakin lama semakin memperpendek jarak diantara kami. 
Sebelum sebelah tangan Ray menggapai pundak yang mematung sejak semalam.  Seperti raga tanpa jiwa, aku segera membuang pandangan lebih jauh.  Membiarkan pikiranku melayang, menembus keluar sisi jendela bening berkabut atas embun pagi yang belum mongering.
Secara tidak langsung, aku sedang memberitahu Ray bahwa aku sedang ingin sendiri.  Tidak ingin diganggu.  Kepergianmu secara sepihak masih belum dapat kuterima sepenuhnya.  Aku ingin berteriak, menolak keputusan yang masih belum bisa diterima akal sehatku.
“Aku membawakan bubur kepiting kesukaanmu.  Makanlah selagi panas.” Ray berucap lembut menatap lekat padaku.
Aku bergeming.  Berharap Ray menghilang seketika itu juga.  Bukannya aku tidak mengharapkan kehadirannya.  Bukannya aku tidak berterima kasih atas segala perhatiannya.  Bukannya aku tidak dapat merasakan cintanya yang bertepuk sebelah tangan padaku.
Hanya saja, orang yang ingin kulihat saat ini.  Suara yang ingin kudengar saat ini bukanlah suara Ray.  Aku menginginkanmu disini bersamaku.  Berdiri di posisi tempat Ray berpijak sekarang.  Memegang kukuh pundakku dan menyesali setiap keputusan yang telah kau ucapkan semalam.
Jika saja kau memohon padaku detik ini juga.  Aku tidak keberatan untuk melupakan ciuman antara kamu dan Rere di antara lorong sepi kantor.  Aku juga tidak keberatan menutup sebelah mata atas puluhan hubungan gelapmu di belakangku.  Aku sama sekali tidak keberatan kau menduakan cintaku. 
Asalkan kau selalu kembali padaku.  Pada akhirnya kau memilih aku sebagai tempat labuhan terakhir.  Hanya sesederhana itu.  Aku tidak meminta lebih.  Namun mengapa kau tidak dapat menyanggupinya?
Gerakan tubuh Ray menarik kembali diriku yang termenung tidak jelas.  Memikirkan segala kemungkinan bahwa kau akan kembali padaku.  Seperti masa-masa sebelumnya.  Karna dalam hati aku selalu yakin, bahwa kau akan kembali padaku.
“Tidak ada gunanya memikirkan Dean.  Dia tidak akan pernah kembali.” ucapan Ray mengiris setiap lapisan hatiku tanpa ampun.  Tanpa menyisakan secelah ruang untuk menyembuhkan kepedihan tersebut.
“Dia selalu kembali padaku.  Kali ini, aku yakin, dia juga akan kembali.  Aku hanya perlu menunggunya.” Aku menjawab yakin.  Namun, kenyataannya aku tidak yakin sama sekali.
Kalimat terakhir yang kamu ucapkan sebelum menutup pintu masih tergiang jelas di telingaku.  Kamu mengatakan bahwa, “Aku mencintainya.”
Kata yang tidak pernah kau ucapkan sekalipun padaku selama kebersamaan enam tahun kita.  Kata yang sangat ingin kudengar setiap kali kau membelai lembut rambutku.  Menarikku ke dalam pelukan hangatmu.  Mendaratkan sebuah ciuman nakal pada bibirku.
Dan saat kau mengatakan bahwa, “Aku mencintainya”, sebagian diriku berkata bahwa semuanya sudah berakhir.  Namun, sebagian diri lainnya masih bersikukuh bahwa kau akan kembali.
“Dean sudah memutuskan untuk menikahi Rere.  Dia telah menceritakan segalanya padaku.  Selama ini, perasaan yang dia rasakan padamu bukanlah cinta.  Dia hanya tidak dapat melepaskanmu karna merasa berhutang padamu.  Kau terlalu baik padanya.”
“Sudah cukup.  Hentikan omong kosongmu.  Dean tidak mungkin setega ini padaku.  Aku tahu dia…….dia…….mencintaiku.” kata terakhir itu tidak dapat kuucapkan.  Tidak peduli seberapa keras aku mencoba.
Ray menatap nanar padaku.  Digerakkan sebelah tangannya, memegang wajahku dan memutar pandanganku hingga bertemu dengan pandangannya, “Di saat seseorang menemukan cinta sejatinya.  Dia harus mengambil keputusan.  Memilih jalan terbaik bagi dirinya.  Dan Dean memilih untuk meninggalkanmu.  Dia berharap kau dapat menemukan orang yang dapat mencintaimu dengan sepenuh hati, Nadia.”
Ray terhenti, tidak melanjutkan perkataannya.  Menunggu bagaimana reaksiku.  Tetapi, aku hanya mematung.  Menatap kosong ke dalam bola mata kecoklatan milik Ray.  Tatapan matanya selalu terasa teduh.  Memberikan perasaan bahwa aku dapat berlindung di dalamnya.  Bahwa setiap kali aku bersamanya, aku tidak akan merasakan kesedihan.  Hanya aka nada kebahagiaan.
“Selama ini aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Nadia.  Aku selalu menunggu dengan sabar di sampingmu.  Berharap bahwa suatu hari kau akan melihat ke arahku.  Memberiku kesempatan untuk membahagiakanmu.” Ray mengucapkan setiap kata tersebut dengan sunggh-sungguh.  Aku dapat merasakannya. 
Namun, masalahnya bukan terletak padanya.  Masalahnya terletak padaku.  Tidak peduli seberapa besar cintanya padaku, aku tetap tidak dapat membalas perasaannya. 
“Aku mencintai Dean.” ucapku datar, tanpa belas kasih.
Kemudian, aku kembali memutar badanku ke samping.  Menelungkupkan wajahku ke dalam lipatan kedua lututku.  Aku tidak sanggup menatap tatapan kecewa milik Ray.  Aku tidak bermaksud untuk menyakitinya.
Namun, jika aku tidak tegas, pada akhirnya aku dan Ray akan berakhir seperti hubungan aku dan kamu.  Dan, aku tidak ingin kejadian itu terulang untuk kedua kali.  Karna aku tidak ingin menyakiti seseorang seperti Ray.
Bukankah hidup ini lucu?  Aku mencintai seseorang yang mencintai orang lain.  Sementara orang yang mencintaiku harus menerima kenyataan bahwa aku mencintai seseorang.

1 comments:

Ardi Chan said...

ceritanya bagus tapi terlalu sedih :)

Post a Comment