Saturday, December 24, 2011

Wedding Dress


Suara dentingan bel di pintu masuk membuyarkan konsentrasi Elva.  Wanita bertubuh mungil, rambut sebahu tersebut sedang menyiapkan gaun pengantin pelanggannya.  Sebuah long dress berbentuk kembem dengan pita besar menghiasi bagian belakang.  Menjuntai dari pinggang hingga menyentuh permukaan lantai.
Gaun pengantin tersebut sudah hampir selesai pembuatannya.  Hanya tinggal dipoles sedikit jahitan renda di bagian pinggul.  Walaupun pengerjaan setiap gaun dilakukan oleh Elva sendirian dalam waktu singkat, para pelanggan selalu merasa puas dengan hasilnya.
Maka dari itu, tidak heran jika toko baju pengantin yang berada di pusat kota.  Diantara jejeran butik-butik baju ternama mendapatkan kesan tersendiri di mata para pengunjung ataupun orang-orang yang melewatinya.
Elva menyunggingkan senyuman ramah saat melihat seseorang melangkah masuk ke dalam toko yang baru dibuka satu tahun lalu.  Senyuman selalu membuatnya terlihat ramah di mata setiap pengunjung.  Dan hal tersebut bisa menjadi salah satu kunci kesuksesan toko miliknya.
Seorang wanita muda berparas manis melangkah masuk.  Sendirian tanpa ada yang menemani.  Dari arah tempat Elva berdiri, dia berkata, “Selamat datang.  Ada yang bisa saya bantu?”
Wanita muda tersebut mengangkat tangan kanannya, “Nanda.”
“Elva.” balasnya, menghentikan kesibukkan tangannya dan membalas jabatan tersebut.
“Aku mendapat rekomendasi teman bahwa kau dapat membuatkan gaun pengantin sesuai keinginan pelanggan.”
“Di toko ini, anda dapat memesan gaun pengantin yang sudah tersedia.” Elva menunjuk ke arah depan, dimana sederet panjang gaun pengantin tergantung di dalam lemari kaca bening, “Ataupun memesan gaun pengantin sesuai konsep anda.”
“Aku menginginkan sebuah gaun pengantin sederhana, tetapi dapat memancarkan kebahagiaan pemiliknya.  Sebuah gaun yang membuat setiap tamu memusatkan pandangannya padaku.” cerita Nanda mengikuti Elva ke dalam kantor.
Elva mempersilahkan Nanda duduk di atas sofa panjang bewarna putih di dalam ruangan yang tidak terlihat seperti kantor sama sekali.  Ruangan tersebut lebih tepat diberi sebutan studio. 
Karna di dalamnya hanya terdapat sebuah sofa panjang, sebuah meja kecil tempat meletakkan vas bunga dan beberapa kertas HVS yang berserakan diatasnya.  Sementara ruang kosong lainnya diambil ahli oleh manekin-manekin yang berbalut gaun pengantin jadi, setengah jadi ataupun gaun pengantin yang baru akan dibuat.
Dengan cekatan, Elva menggambar sebuah sketsa diatas selembaran HVS.  Dan sketsa gaun pengantin tersebut selesai dalam kurun waktu sepuluh menit.
“Bagaimana dengan sketsa ini?  Apakah anda menyukainya?” tanya Elva, menyerahkan kertas HVS dari tangannya pada Nanda.
Anggukan wanita tersebut memberikan jawaban puas atas hasil kerja Elva.  Dia terlihat bahagia dengan mata berbinar-binar.
“Aku menyukainya.  Aku menginginkan gaun pengantin sesuai sketsa ini saja.” Seru Nanda, menyerahkan kembali sketsa pada Elva.
“Baiklah.  Datanglah seminggu kemudian untuk fitting.” Elva memberitahu sambil mengantarkan Nanda ke arah depan tokonya.
“Terima kasih, Elva.  Kau perancang pertama yang dapat memberikan gaun pengantin yang kuinginkan.” Nanda memberikan pelukan singkat sembari kembali tersenyum bahagia.
“Sudah kewajibanku.” Elva tersipu malu atas sanjungan Nanda, “Anda datang sendirian?  Tidak bersama calon suami anda?”
“Dia menunggu di luar.” Nanda menunjuk ke arah seorang lelaki yang terlihat sibuk berbicara dengan ponsel di tangannya.
Senyuman di bibir Elva perlahan memudar seiiring dengan gerakan lambat memutar lelaki tersebut ke arahnya.  Bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya.  Perasaan dikhianati, benci, marah bercampur menjadi satu dalan seruan gemuruh hatinya.
Tanpa terasa, bulir-bulir airmata mengenang di balik ekor matanya.  Menunggu aba-aba pemiliknya untuk bergulir turun.  Namun, sebelum bulir-bulir air mata mengalir turun, Elva segera menyekanya.  Berharap Nanda tidak menyadari perubahan air mukanya.
“Sampai jumpa minggu depan.” Nada-nada getir menyertai lambaian tangan Elva pada Nanda yang kini berlalu di balik daun pintu.
Saat itu juga, Elva roboh ke lantai.  Tubuhnya bergemetar hebat menahan nangis.  Bahkan, dia hampir tidak dapat merasakan tubuhnya sendiri.  Seakan rasa sakit mengikat seluruh anggota tubuhnya.
Dia menangkupkan wajahnya ke dalam kedua lututnya.  Kedua tangannya terlingkar erat memegangi kedua lutut tersebut.  Air mata mengalir turun tidak henti.  Sesekali, sesengukan terdengar diantara tangisannya.
Mengapa harus dia?
***

Sekitar satu jam-an, Elva menghabiskan waktu untuk memperbaiki sketsa hasil rancangannya siang ini.  Pemilihan materi pun dilakukan dengan teliti.  Berbagai aksesoris tambahan disiapkan di meja lain.  Untuk memudahkannya sewaktu menjahitkan berbagai tambahan aksesoris ke atas permukaan gaun buatannya.

Merasa sedikit terganggu dengan rambut sebahu miliknya, Elva segera mengikatkan tinggi-tinggi rambutnya ke atas.  Hal yang tidak pernah lagi dilakukannya sejak kepergiaan Michael.  Dan, tiba-tiba saja, sepotong kenangan itu kembali hadir.
Saat itu, Michael menatapnya lekat-lekat untuk beberapa saat.  Tidak bersuara ataupun bergerak.  Elva mengeritkan dahinya, bingung.  Lalu dengan penasaran dia bertanya, “Kenapa menatapku seperti itu?   Ada yang salah dengan penampilanku?” Elva melihat ke arah pakaiannya, mencoba menemukan keanehan yang telah menyita perhatian Michael.
Lelaki itu hanya menggeleng pelan, “Tidak ada yang salah.  Kau terlihat cantik sekali saat mengikat seluruh rambutmu ke atas.  Aku menyukainya.  Lain kali, jika sedang bersamaku, ikatlah rambutmu.”
Elva tertawa lebar.  Tidak menyangka Michael dapat mengatakan hal menggelikan seperti itu.

Sekarang, dia merindukan perkataan itu.  Sangat merindukannya.  Terkadang, perkataan orang ada benarnya.  Kebahagiaan selalu datang dari hal kecil.  Dan saat kebahagiaan menghampirimu, kau harus memegangnya erat-erat.  Karna kau tidak pernah tahu kapan dia akan melarikan diri dari genggaman hatimu.
Elva menggelang pelan kepalanya.  Berusaha menghilangkan potongan kenangan masa lalu yang menyakitkan tersebut.  Dengan memokuskan diri pada pekerjaannya, Elva mengguting material kain yang telah dipilihnya menjadi dua bagian.  Lalu, tanpa membuang waktu, dia mulai membentuk guntingan mengikuti potongan sketsa yang telah digambarnya diatas karton.
Disaat dia telah selesai menggunting setiap potongan kain sesuai bentuk sketsanya, potongan kenangan lain kembali menghampirinya.

Waktu itu, senja sedang menghiasi keadaan langit di luar sana.  Hembusan angin sepoi dapat menidurkan setiap orang yang dibelainya.  Elva membaringkan kepalanya di salah satu sisi bahu Michael.  Keduanya sedang menikmati keindahan senja kota, ditemani secangkir kopi susu hangat.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Michael, meletakkan cangkir kopi di meja kecil di hadapannya.
“Aku sedang memikirkan betapa bahagianya aku jika dapat melewati waktu seperti ini, setiap harinya bersama denganmu.” Elva meneguk sekali kopi susunya.
“Kalau begitu, menikahlah denganku.  Maka kita dapat melewati waktu seperti ini, bersama selamanya.” Michael berkata dengan nada lembut, tidak terlihat bercanda sama sekali.
Elva menegakkan kepalanya.  Mengalihkan pandangannya ke arah Michael.  Dari tatapan matanya, dia terlihat bahagia sekaligus ragu.  Selama mereka berpacaran, Michael tidak pernah menyinggung masalah pernikahan.  Baginya asalkan dapat bersama, sudah lebih dari cukup.  Tidak perlu mengikatkan diri pada tali pernikahan.
“Kau sangat pandai bercanda.” ucap Elva kemudian, berusaha tertawa untuk menutupi kekagetannya.
“Aku serius, Elva.  Mungkin ini bukan lamaran terbaik yang pernah kau dengar.  Tapi, aku bersungguh-sungguh.  Menikahlah denganku.” Michael mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik kantong kecil kemeja yang terletak di bagian samping dadanya.
Elva menatap Michael tidak percaya.  Walaupun begitu, dia telah menyediakan jawabannya.

Buliran demi buliran air mata mengalir turun mengikuti irama tangan Elva yang sedang berusaha menyatukan potongan demi potongan kain.  Dilihat dari keahlihannya dalam menjahit gaun pengantin, bukanlah mustahil untuk menyelesaikan sebuah gaun dalam waktu semalaman.  Hanya dalam waktu beberapa jam, bagian atas dari gaun pengantin Nanda telah selesai. 
Waktunya untuk menjahitkan bagian ekor gaun pengantin beserta aksesoris lainnya untuk memperindahkan keberadaan gaun tersebut.  Masih berperasaan gundah, Elva berusaha menjahit bunga-bunga kecil dari materi berbahan renda. 
Siapa yang dapat menyangka bahwa ternyata dia membuatkan gaun pengantin untuk wanita yang akan menikahi mantan calon suaminya.  Elva yakin tidak ada wanita lain di dunia ini yang sebodoh dirinya.
Dan kehadiran potongan kenangan lainnya juga tidak mau kalah untuk meramaikan pikiran Elva.

Tidak lama setelah lamaran Michael, pertengkaran demi pertengkaran kecil mulai menghiasi hari-hari mereka.  Dimulai dari kesibukkan masing-masing hingga perbedaan pendapat yang tidak pernah muncul sebelumnya.
Perang dingin pun berkumandang diantara mereka.  Perang dingin paling parah dalam sejarah hubungan mereka.  Tidak berbicara berhari-hari.  Tidak mengabari keadaan masing-masing, menjadi pihak dari kedua belah pihak.  Hingga akhirnya, Michael memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka.  Saat itu juga, Elva merasakan hatinya hancur berkeping-keping.
Dengan segala cara, dia berusaha memohon Michael untuk tidak membatalkan pernikahan mereka.  Dia berusaha memberikan berbagai solusi untuk menyelesaikan perang dingin diantara mereka.  Bahkan Elva bersedia mengalah setiap kali mereka bertengkar.
Namun, permasalahannya bukan terletak pada Elva.  Melainkan Michael.  Pertengkaran dingin selama berhari-hari membukakan mata Michael bahwa hubungan mereka telah mencapai tahap dingin.  Cinta telah meninggalkan hatinya tanpa dia sadari. 

Elva mencampakkan gunting dari tangannya ke atas lantai.  Dia berteriak histeris.  Merasa kecewa, dikhianati oleh seseorang yang telah berjanji akan membahagiakannya seumur hidupnya.  Dia menjambak sendiri rambut dengan kedua tangannya.  Berharap bahwa dia akan segera terbangun dari mimpi buruk.  Berharap bahwa Michael masih bersamanya.  Berharap bahwa pernikahannya mereka tidak pernah dibatalkan.
Lalu, potongan kenangan paling terakhir menunjukkan diri.

Beberapa minggu setelah mereka berpisah, Michael memberitahu Elva bahwa dia akan pindah kerja ke negara lain.  Dia berharap Elva dapat menemukan kebahagiaannya sendiri.
“Kenapa kau harus begitu padaku?  Bukankah selama ini kita bahagia?  Bukankah selama ini kita selalu berbaikan setela bertengkar?  Mengapa harus berpisah kali ini?  Mengapa harus membatalkan pernikahan kita?” Elva menangis terisak, berharap masih sempat meluluhkan hati Michael untuk tidak membatalkan pernikahan mereka.
“Aku minta maaf.”
“Jangan hanya meminta maaf.” Elva berteriak, “Berikan aku satu alasan.  Mengapa harus membatalkan pernikahan kita?”
“Aku telah mengkhianatimu.  Aku memiliki orang lain dihatiku.”
Pengakuaan tersebut terdengar seperti musik bunuh diri bagi Elva.  Sejak percakapan terakhir tersebut, mereka kehilangan kontak.

Elva menghembuskan nafas panjang saat gaun rancangannya terpajang indah di salah satu manekin di hadapannya.  Gaun renda dihiasi pita menjuntai indah ke lantai.  Sedangkan bagian atasnya diberikan sedikit sentuhan gaya Yunani. 
Akhirnya, gaun pengantin tersebut berhasil diselesaikannya.  Butuh kekuatan lebih untuk menjahit setiap potongan demi potongan kain.  Butuh keberaniaan besar untuk menghadapi kenyataan bahwa gaun pengantin tersebut bukan dibuat untuk dirinya sendiri.
Memang benar, Elva telah mengganti hasil rancangan yang ditunjukkan pada Nanda siang ini.  Dia telah membuat sebuah gaun pengantin berdasarkan suara hatinya.  Sebuah gaun pengantin impian yang ingin dikenakannya saat bersanding dengan Michael di pelaminan.
Sebuah masa depan yang tidak akan pernah tercapai.
***
Seminggu kemudian, Nanda menepati janjinya.  Wanita itu mendatangi Elva pada sore hari, disaat toko mulai sepi pengunjung.  Namun, kali ini dia tidak sendirian.  Seseorang juga ikut menemaninya.  Dan disaat Elva selesai memakaikan gaun pengantin rancangannya pada Nanda, seorang lelaki berjalan mendekati mereka berdua.
Michael tertengun, tidak percaya pada pandangannya.  Ternyata dunia begitu sempit.  Namun, dia tidak menunjukkan reaksi lainnya selain seulas senyum tipis.
“Lama tidak berjumpa” ucap Michael seakan sedang berjumpa dengan sahabat lama.
“Lama tidak berjumpa.” Balas Elva, tersenyum sebelum kembali berkata, “Selamat atas pernikahanmu.”
Mencintai seseorang tidak harus memilikinya.  Selama orang itu berbahagia, maka kau juga akan berbahagia.  Elva telah mengerti maksud dari perkataan tersebut.  Dan dia merestui pernikahan Michael dan Nanda.
Dia yakin, Michael juga akan merestuinya saat dia menemukan kebahagiaannya sendiri.  Di masa mendatang.


0 comments:

Post a Comment